Popularitas
media sosial hingga tahun 2017 masih akan terus melonjak. Media sosial bukan
lagi menjadi media komunikasi antarindividu atau kelompok. Namun “dunia kedua”
dan sumber informasi. Semua informasi dapat diakses dengan mudah lantaran
kecanggihan teknologi dan infomatika. Imbasnya, mulai dari suhu politik, hukum
hingga berujung konflik dan ketegangan sosial akan mewarnai dunia.
Media
sosial atau medsos, di era
digitalisasi tak ubahnya seperti senjata tajam. Di satu sisi, dapat digunakan
sebagai jalan kebaikan, seperti menjalin silahturahmi, berbagi ilmu, dan
penelusuran informasi. Di sisi lain, digunakan sebagai jalan keburukan, seperti
yang terjadi di tahun ayam api ini. Indonesia 2017 tengah diserang badai besar
yang datang dari pelbagai sudut, salah satunya adalah beredarnya ujaran
kebencian atau hoaks. Kegelisahan masyarakat, mulai terasa begitu informasi
baru bersifat bohong yang dibawa sekelompok manusia tak bertanggung jawab sangat
tak diuntungkan.
Berita
hoaks sangat dengan mudah tersebar luas di media sosial. Memang, saat update status atau memposting sesuatu
tidak ada darah yang tertumpah, seperti pedang menusuk tubuh. Tetapi coba
perhatikan, tidak jarang status atau pemberitaan yang tayang di medsos berbau
ujaran kebencian, caci maki, pembully-an
hingga perseteruan telah memantik provokasi, konflik, dan pertingkaian
antarkelompok masyarakat. Bahayanya, mereka yang tidak sadar diri bisa saja
bertindak bodoh, seperti pembunuhan. Karenanya, sebagai masyarakat digital,
kita harus membatasi dalam mengonsumsi media. Setidaknya, manfaatkan media
seperlunya saja. Selain itu, ketika memposting sesuatu hendaknya dipikirkan
keamanan. Sebab, maraknya berita bohongan tersebut jangan sampai kita pun masuk
dalam daftar pelaku tindak tercela itu.
Kita
patut mengakui, keberadaan medsos saat ini memang sangat mumpuni guna mendapat
informasi baru dengan cepat dan praktis. Sayangnya, masyarakat kita dengan
segala latar belakang sosial dirasa kurang bijak dalam memosisikan medsos. Data
menunjukkan, menurut Internet Live States
2016, Indonesia menduduki posisi ke-12 di dunia sekitar 53 juta pengguna
internet. Adapun posisi pertama adalah Tiongkok (700 juta), India (462 juta),
Inggris (286 juta), Brazil (139 juta), dan Jepang (115 juta).
Sementara,
menurut We Are Social, lembaga survei
London, mencatat 88 juta pengguna internet di Indonesia 2016, dari 3,25 miliar
sedunia. Mengingat meningkat 21% itu, kita sebagai pengguna haruslah menjadi
penikmat yang cerdas. Artinya, mampu menggunakan seperlunya saja. Tidak sebagai
ajang gaya-gayaan atau sarana penyebaran informasi yang tidak bermanfaat. Hal
ini ditekankan, tujuannya agar persatuan dan kesatuan antarkelompok masyarakat
tetap terjaga. Tidak ada permusuhan, pertingkaian, hingga pembantaian satu sama
lain. Munculnya fenomenal-sensasional berupa berita hoaks dapat dijadikan tolak
ukur individu terkait tingkat kepedulian dan kesadaran antarsesama.
Tak
salah jika kita belajar dari nasehat orang Jawa, “Ambuncang reretuning jagad” artinya membuang kotoran dunia. Yakni,
mencoba mengatasi permasalahan-permasalahan sosial dan menghilangkan segala hal
yang membuat rusaknya kesejahteraan masyarakat.
Kita
tahu, Indonesia adalah negara yang luas dengan beragam suku, ras, agama, dan
etnis. Namun, kita juga harus tahu ada semboyan Bhinneka Tunggal Ika di antara
kita, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Setiap perbedaan antarindividu itu
lumrah, karena manusia memiliki pemikiran yang berbeda-beda.
Untuk itu, guna
melawan dan memerangi konflik yang tengah mengguncang kedamaian dan kerukunan
bangsa, kita wajib bersatu padu, saling bahu membahu. Hendaklah kita maju
bersama, bermetafor menjadi manusia cerdas dalam menyikapi ketegangan dunia.
Anti Hoax Salam Damai!
Komentar
Posting Komentar