Langsung ke konten utama

Literasi Gaya Hidup Keluarga


Kata ‘merdeka’ berarti bebas dari bentuk penjajahan. Nampaknya, bukanlah sebutan bagi Indonesia. Nahasnya, dari dulu hingga sekarang negara kita masih dijajah atau berada di bawah kekuasaan negara lain. jika dulu mereka menjajah kekayaan kita, untuk saat ini mereka menjajah gaya hidup kita.
Contoh kasus, rata-rata setiap rumah di Indonesia memakai produk luar negeri yang dinilai praktis dan ekonomis. Misalnya televisi. Pemanjaan lewat media elektronik impor ini, membuat masyarakat betah seharian di depan tv. Contohnya anak-anak, tiba di hari Minggu, usai bangun tidur, langsung di depan tv, makan pun sambil menonton tv. Ketika pulang sekolah, kegiatan mereka sama—di depan tv melihat acara-acara siaran dari berbagai stasiun tv. Memang, tidak semua buruk, juga tidak semua baik tontonan yang ada di tv. Namun, bila sampai lupa waktu, tentunya akan berdampak buruk.
Anak-anak lupa waktu belajar, sehingga banyak dijumpai anak yang mendadak mendapat nilai merah atau tinggal kelas. Tentunya, fenomena keroposnya pendidikan, bukanlah harapan kita. Untuk itulah, dalam meminimalisir pemanjaan produk impor bagi masyarakat Indonesia, khususnya pada anak dibutuhkannya peran orang tua secara totalitas.
Orang tua sebagai orang terdekat diharapkan selalu mengawasi, juga sesekali menegur anak apabila melakukan kesalahan atau pelanggaran. Orang tua juga memiliki peran penuh membatasi penggunaan alat elektronik agar anak tidak ketergantungan.
Salah satu media untuk mengalihkan perhatian anak terhadap tv adalah buku bacaan Beruntung mereka masih belia, lebih baik orang tua mengenalkan buku. Baik itu buku cerita, buku bergambar, atau buku pengetahuan. Pendekatan jitu anak terhadap buku dapat dilakukan lewat jalan dongeng. Sebelum tidur, hendaknya orang tua menyempatkan diri membacakan cerita-cerita yang memiliki nilai-nilai kehidupan kepada anak. Secara perlahan, jika budaya dongeng ini dilakukan rutin, lambat laun dengan sendirinya anak akan akrab dengan buku.
Anak pun sesering mungkin diajak pergi ke toko buku. Anak diberikan kesempatan memilih buku sendiri, agar merasa memiliki kebebasan mengekspresikan dirinya--tertarik akan buku apa. Tanpa disadari, nanti akan terbangun jiwa yang suka dan cinta terhadap buku. Jika orang tua berinisiatif mengubah gaya hidup anak dari yang suka menonton tv menjadi suka membaca buku, maka tidak akan lama lagi negara kita dipenuhi dengan anak-anak yang sehat—pandai dan cerdas dalam berpikir.
Sebenarnya, boleh saja anak menonton tv. Namun waktu di depan tv, haruslah dibatasi. Jika pun tidak, orang tua harus tahu tontonan apa yang cocok untuk anaknya guna membantu proses berpikir. Sebab, siaran di stasiun tv kita memiliki beragam acara. Mulai dari berita, travelling, sinetron, kartun, gosip, dan lainnya. Dalam hal ini, jika orang tua tidak paham dan mengerti maka otak anak akan mengalami pemberontakan. Parahnya, ditakutkan sikap anak akan mencontoh sesuai apa yang mereka lihat di televisi. Misal ada sebuah tayangan anak kecil yang makan sambil berjalan. Maka anak perlahan akan mengikuti gaya tersebut.
Akhirnya, membangun kemerdekaan anak, dari produk impor hendaklah orang tua mencoba memberikan menu baik kepada anak secara rutin. Dengan pola kebiasaan baik, perlahan anak akan merasa senang, dekat, dan mengakrabi pola tersebut. Tak lupa orang tua pun memberikan kemerdekaan atau kebebasan bagi anak untuk berpendapat dan berargumentasi secara logis. Kemudian, tugas orang tua adalah mengarahkan, juga membenarkan pemikiran-pemikiran anak.
Jika dilakukan, hal ini akan berdampak kuatnya pemikiran anak. Tentu saja pemikiran yang positif guna melawan dan memerangi sesuatu yang tidak pada wajarnya. Ditambah pula, gaya hidup anak akan menjadi lebih baik guna masa depannya. Semoga!

*Tulisan di atas pernah termuat di Radar Ponorogo, edisi 18 September 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...