Misal
Indonesia itu ibarat tubuh, adalah negara kritis akan sistem imun yang bertugas
melindungi dan menyerang benda-benda asing di tubuh. Bila sistem imun kuat,
tubuh tidak mudah terserang penyakit, dan sebaliknya. Begitupula Indonesia,
jika sistem pertahanan kokoh, maka negara dapat berdiri tegak.
Metafora
ini, tepat divisualisasikan untuk negara kita. Masih ingatkah, beberapa hari
lalu, Indonesia sedang dihadapkan persoalan yang cukup menegangkan. Adalah soal
penggunaan dana haji untuk sektor infrastruktur yang disampaikan Presiden Joko
Widodo itu, ternyata menuai kontroversi. Mulai dari jamaah haji, pemerintah,
hingga calon jamaah haji. Pasalnya, sesuai aturan bimbingan ibadah haji, uang
tabungan para jamaah digunakan untuk keperluan haji, bukan untuk
keperluan-keperluan di luar haji. Akan tetapi, jika pihak pemerintah
menghendaki peralihan dana sementara sebesar, maka sebaiknya pemerintah harus
memberikan jaminan berupa asuransi kepada jamaah haji agar uang mereka aman
atas kendali pemerintah.
Selanjutnya,
belum usai persoalan tersebut, muncul lagi hal baru yang sama-sama menegangkan.
Persoalan itu menyerang kekebalan negara di bidang pendidikan, yakni menyoal
semakin mahalnya pendidikan sekolah SMA dan SMK pasca peralihan kewenangan dari
Kabupaten ke Provinsi. Hadirnya UU No. 23 Tahun 2014 memantik kontroversi dari berbagai pihak.
Dari
persoalan di atas, jelas menahu, bilamana kesalahan di awal adalah dari pihak
pembuat undang-undang. Sebab anggota DPR tidak tahu dan paham terkait kondisi
yang ada di pendidikan Indonesia saat ini. Kendatipun, sebagai benang merah
persoalan itu, sebaiknya DPR agar melakukan revisi UU Otonomi Daerah. Jika itu
tidak segera direalisasikan tidak terjadi kekeroposan pendidikan tingkat
menengah.
Efek
mahalnya uang masuk sekolah dan SPP dirasakan masyarakat luas. Pertama, efek
lembaga sekolah. Beberapa sekolah tingkat menengah kesulitan mencari murid agar
terpenuhinya ruangan kelas. Bila dihadapkan dalam suatu pilihan, anak lebih
memilih bekerja yang menghasilkan uang, dibanding sekolah yang hanya bisa
membuang-buang waktu dan menghabiskan uang.
Kedua,
orang tua murid. Rata-rata mata pencaharian masyarakat adalah agraris. Mereka
menggarap lahan yang dimiliki guna menopang--hidupnya, termasuk kebutuhan
pendidikan, misal membayar SPP, iuran, dan kebutuhan sekolah lainnya. Dengan
perekonomian yang menggantungkan hasil panen, misal, mahalnya pendidikan
menjadi tuntutan hidup yang teramat mengerikan. Nahasnya, apabila ditambah
hasil panen petani mengalami kerusakan, yang dikarenakan perubahan cuaca yang
tidak stabil, serangan hama, kekurangan air, atau bahkan korban bencana alam,
misal banjir atau longsor.
Ketiga,
efek terhadap siswa. Lulusan pendidikan tingkat pertama, banyak yang merasa
kebingungan dalam hal memilih sekolah. Hal itu, didapati semua pendidikan
menengah mahal, terlebih pendidikan menengah SMK yang banyak praktik kejuruan. Tentu saja, mereka akan
mengeluarkan uang lagi.
Dari
ketiga efek mahalnya pendidikan itu, kini sudah saatnya anggota DPR sebagai
pembuat undang-undang dibutuhkan pendidikan berliterasi. Tidak saja sekadar
membuat dan merancang undang-undang, DPR sebelum bertindak dan mengesahkan
sesuatu harus melakukan observasi lapangan terlebih dahulu. Yaitu mengetahui
kondisi lapangan; apa yang dibutuhkan lapangan; juga tindakan apa yang tepat
untuk dilakukan.
Tentu
saja, konsep literasi yang berkenaan tentang proses pemahaman juga pemaknaan
ini wajib pula dimengerti oleh anggota DRP. Sebab, tidak saja berdampak pada
persoalan tingkat provinsi, namun dampak itu juga dirasakan lembaga terkait,
hingga pada elemen-elemen pendidikan, seperti siswa dan orang tua.
Akhirnya,
pendidikan adalah pemutus mata rantai kemiskinan. Pendidikan pulalah jembatan
menuju masa depan. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan, hendaklah berkaca
pada kondisi pendidikan sekarang ini. Pasalnya, jika salah dalam peraturan
pendidikan misalnya, maka akan berdampak pula pada proses mencapai tujuan dan
cita-cita pendidikan, yaitu sebagai penerus kemakmuran bangsa. Sebab, anak
bangsa tanpa pendidikan tidak jadi apa-apa. Tentu saja, itu bukanlah harapan
bangsa.
*Tulisan di atas pernah termuat di Radar
Ponorogo,
edisi 16 September
2017.
Komentar
Posting Komentar