Langsung ke konten utama

Feature Sosok: Sempat Kehilangan Suara, Akhirnya Masuk Grand Final



Napas lega, juga senyum tak percaya masih terpancar dari raut wajah Hera (23), Kamis (30/10/2019). Setelah berjuang masuk seleksi 30 besar, ia mampu menembus 10 besar.
Niat mendaftar diri dalam pemilihan duta wisata Ponorogo, tidak pernah terpikirkan. Namun, karena kepercayaan pihak kampus kepadanya, pemilik nama Hera Trisiana Andamsari mencoba mendaftar dan mengikuti tahap seleksi Kakang Senduk Ponorogo 2019 yang dihelat Dinas Pariwisata Ponorogo.

“Saya tidak sendiri. Ada enam teman kampus yang juga ikut mendaftar,” cerita mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo itu.

Lolos mengalahkan 217 peserta, Hera sempat minder lantaran banyak peserta tingkat menengah atas. Beruntunglah dukungan dari kampus juga teman-temannya tak pernah henti. Justru menjadi kesempatan mahasiswi hobi travelling ini menunjukkan kemampuannya untuk menjadi duta wisata Ponorogo.

Luwes, santai, dan memantik juri, Hera menunjukkan keahliannya berbicara di depan umum. Pengalaman menjadi MC sejak duduk di bangku menengah atas sangat mendukung dalam ajang promosi wisata Ponorogo.

Kali itu Hera mempresentasikan Gunung Pringgitan Kecamatan Slahung. Di sana (Pringgitan, Red), diterangkan Hera terdapat eksotis Ponorogo yang menakjubkan. Kalau berkenan naik gunung pada malam hari, gadis sulung dari tiga saudara ini menceritakan pendaki akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa. Gemerlap lampu kota seperti kunang-kunang bertebaran. Langit nampak lebih dekat sehingga pandangan bintang dan bulan serasa hanya sejengkal.

“Saya langsung ke sana dan menikmati eksotis Pringgitan secara nyata,” bebernya.

Di ajang tes talenta 30 besar, gadis kelahiran 1996 ini menampilkan pembacaan puisi. Hera membacakan puisi karya Nabila Fayyaza Naja berjudul Reog Ponorogo Sang Pemberani.

Sempat hampir putus asa lantaran kehilangan suara, semangat Hera menjadi duta pariwisata tidak surut. Hera terserang radang tenggorokan, hingga batuk, dan suara hilang. Segera Hera mengambil kencur di dapur rumahnya, lalu mengunyah. Harap suaranya segera kembali dan latihan membaca puisi untuk masuk ke 10 besar.

“Kata Ibu kencur mampu membuat suara lebih jernih. Saya makan sambil merem-melek karena rasanya tidak enak,” terang Hera pertama kali makan kencur mentah.

Bersyukur masuk di babak grand final 10 besar, Hera siap mempromosikan wisata yang ada di Ponorogo. Menggali potensi tempat wisata supaya lebih dikenal dan dikunjungi wisatawan.

“Ponorogo akan menjadi surganya wisatawan. Semoga!” pungkas Hera.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...