Langsung ke konten utama

Tanah Air dalam Bahasan Kekini





Pembicaraan tentang hukum dan politik tidak akan pernah alpa semenjak kehadirannya. Merekalah secara sadar menyedot perhatian publik. Sementara itu, ada banyak hal yang perlu dipikirkan, diperbaiki, dan diselesaikan terlepas hukum dan politik. Sebutlah pendidikan di Indonesia.

Ketua STKIP PGRI Ponorogo sepakat membudayakan literasi untuk semua kalangan pendidikan. Mulai dari tenaga pendidik hingga pada pendidiknya. Budaya literasi tersebut dituangkan dalam sebuah program kampus ‘Sekolah Literasi Gratis’ yang telah dilaksanakan di tahun 2016-2017 lalu. Dan, di tahun ini terselenggara dengan konsep yang sama—menghadirkan para tokoh literasi yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Serta, muhibah literasi di sekolah-sekolah Ponorogo.

Semangat membangun budaya literasi ini utamanya melibatkan dunia pendidikan secara tidak langsung. Hal itu berkaitan dengan program 15 menit membaca buku sebelum memulai pelajaran. Mengapa budaya literasi ini penting? Mungkinkah literasi mampu mengubah Indonesia semakin berkualitas masyarakatnya?

Riak kehidupan yang mencekam tanah air minggu-minggu ini, hari-hari ini merupakan salah satu dampak dari kurangnya memaknai literasi sebagai pedoman hidup. Seseorang yang melek literasi, tentunya memahami betul hal ini. Karena, menurut Suwardi Endraswara, literasi adalah melek kahanan.
 
Menikmati sederet kasus di Indonesia, baik yang dikabarkan melalui televisi maupun koran membuktikan bahwa masyarakat Indonesia rendah literasi. Tsunami setahun dua kali di Sulawesi, contohnya. Bagaimana perhatian BMKG terhadap peringatan dini bencana, hingga pada bencana menelan banyak korban. Begitupula kasus korupsi. Bukannya surut, tapi semakin merajalela. Tidak saja pejabat, hingga lapisan terbawah tingkat desa.

Dua kasus di atas membuka mata pandang kita bahwasannya kesadaran untuk melihat dan mengamati kahanan (kondisi) tanah air teramat rendah. Di sebelah kiri, banyak orang meninggal karena kelaparan. Anak-anak tidak mampu sekolah karena biaya mahal. Banyak pula, orang tidur di jalan karena tidak miliki tempat tinggal. 

Di sebelah kanan, banyak orang bereuforia akan kekayaan, jabatan, dan status. Orang-orang suka membuang makanan. Orang miliki rumah, kendaraan tidak hanya satu, hingga bertempat tinggal di gedung mewah berbintang. Beberapa kahanan di atas adalah sebagian gambaran dari masyarakat tanah air. Karena inilah pentingnya literasi kemanusiaan diingatkan kembali. Sehingga, orang-orang yang berniat menggelapkan uang misalnya, berpikir jernih menengok kehidupan saudara di bawahnya.

Di sisi lain, polemik mahasiswa menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) merupakan salah satu tindakan akan keresahan masyarakat terhadap sesuatu baru, yang akan dijadikan sebagai acuan aturan di Indonesia. Banyak pasal yang tidak logis, berlebihan, dan merugikan pihak tertentu, sehingga masyarakat Indonesia--mahasiswa meminta untuk merevisi undang-undang. 

Penolakan mahasiswa tersebut menandakan adanya giat literasi untuk kembali mengingatkan, sekaligus menyadarkan lembaga negara bahwa korupsi, misalnya bukanlah masalah biasa. Tersebab, korupsi di kantor-kantor pemerintahan dapat mengakibatkan penyakit kemiskinan di Indonesia tak kunjung sembuh. 

Dalam dunia pendidikan, masalah-masalah yang terjadi dapat dipecahkan tanpa merugikan pihak manapun. Kita patut berkaca pada negara lain, literasi bidang pendidikan begitu diagung-agungkan. Inilah yang membedakan masyarakat Indonesia dengan negara tetangga. Sebut saja, Vietnam. 

Negara ini pernah mengalami konflik perang saudara berkepanjangan, dan saat ini sudah lebih dulu menyadari pentingnya mereformasi dunia pendidikan melalui membaca—bagian dari literasi. Melalui metode gerakan masyarakat mengumpulkan donasi buku, kemudian menyebarkan melalui pendirian perpustakaan di seluruh pelosok negara. 

Ini baru pendidikan literasi sekolah, Vietnam di bidang literasi ekonomi juga tak kalah unggul. Dalam enam bulan pertama 2019, Penanaman Modal Asing (FDI) mencapai US$18,47 miliar dan Produk Domestik Bruto (PDB) mereka tumbuh 6,76% (Alinea, 1/8/2019). Hal itu karena kelompok elit yang bertanggung jawab di bidang ekonomi memiliki sikap agresif.

Tentu ini dapat dijadikan teladan di Indonesia. Kesadaran berliterasi dalam segala bidang guna membangun negara maju dan kompetitif. Sehingga, kasus-kasus perlahan menggelinding karena semua elemen  bersadarkan literasi kemanusiaan dan kepentingan bersama. Dengan begitu, tidak lama lagi tanah air akan lebih baik. Tentunya lagi, korupsi harapnya segera hempas di tanah air tercinta ini. 

Semoga!

*Tulisan di atas pernah termuat di Duta Masyarakat, edisi 10 Oktober 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...