Kementerian Pendidikan dan Budaya telah
mengesahkan 267 Warisan Budaya Takbenda (WBTb) tahun 2019. Keputusan tersebut
merupakan bagian dari rangkaian malam Apresiasi Penetapan Warisan Budaya
Takbenda sebagai rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional (PKN), pada 8 Oktober 2019.
Sebelumnya, penetapan WBTb di
Indonesia sudah berjalan sejak tahun 2013. Kemudian, penetapan itu digelar
setiap tahunnya. Indonesia, tahun 2013 ditetapkan sebanyak 77 WBTb. Tahun 2014, jumlahnya meningkat
menjadi 96 WBTb. Tahun 2015, mengalami
peningkatan lagi sebanyak 121 WBTb. Sementara tahun 2016-2017 memiliki jumlah
sama sebanyak 150 WBTb. Dan, di tahun 2018 jumlahnya meningkat lagi menjadi 225
WBTb.
Penambahan jumlah WBTb setiap tahun
ini didukung Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2007 yang mengatur konvensi
perlindungan terhadap Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Hal itu kiranya dapat
terwujud dengan dilatarbelakangi adanya kerja sama baik antara pemerintahan
daerah dan komunitas adat. Adat bersangkutan memiliki tekad untuk menumbuhkan
roh budaya di daerahnya. Mereka menjunjung nilai luhur budaya yang sebenarnya
lama ada. Akan tetapi, belum dikenali eksistensinya. Di sisi lain, semakin
terkuaknya potensi keragaman budaya di setiap daerah.
Oleh karena itu, terbitnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, menjadi momentum guna
memperkuat komitmen bangsa se-tanah air dalam memajukan kebudayaan. Selain itu,
memerluas jangkar budaya supaya antarlintas daerah dapat bekerja sama dengan
baik. Mengingat ragam budaya di jagat nusantara memiliki nilai dan simbol atas
bangsa Indonesia. Contohnya, seni wayang tidak saja dipertunjukkan di tanah
Jawa. Namun, lebih dari itu—di daerah-daerah lainnya.
Pertunjukkan wayang, hakikatnya
sebuah seni yang memiliki nilai dan makna melalui penuturan seorang dalang.
Dibantu dengan iringan musik gamelan dan sinden, seorang dalang bertutur tidak sekadar menceritakan
sejarah para lakon wayang. Terlebih, menyampaikan tentang nilai-nilai
kehidupan, sosial, kemanusiaan, juga pesan kehidupan.
Warisan budaya di atas merupakan contoh dari puluh,
bahkan ribuan budaya tanah air. Tentunya,
masih banyak budaya lain tersebar di seluruh Nusantara. Mulai dari tradisi
kelisanan, musik tradisional, lagu daerah, tarian daerah, hingga pada adat
istiadat. Menariknya, lagu tutur setiap daerah berbeda.
Masyarakat Sunda biasa menyebut
‘nasi’ dengan kata ‘sungu’. Sementara
di Jawa, disebut dengan ‘sekul’.
Berbeda lagi misal di suku Dayak, nasi biasa disebut ‘bari’. Perbedaan penyebutan istilah tersebut, jelas menunjukkan
setiap daerah memiliki bahasa yang disepakati (sifat bahasa arbitrer).
Namun, berjalan kekinian
perkembangan informasi juga teknologi telah mengambil perhatian generasi muda
akan warisan budaya. Anak muda tanah air tidak lagi mencintai budaya lantaran
kalah saing dengan IT. Bahkan, penelitian berbicara sekitar 3.000 budaya di
Indonesia, baik lisan maupun tulis telah dilupa.
Membaca fenomena tersebut, menjadi pekerjaan
rumah (PR) bersama untuk menanggulangi tergusurnya budaya lantaran perkembangan
IT yang kian pesat. Kendati itulah, terbitnya Undang-Undang di atas serujuk
dengan kondisi mutakhir.
Komitmen memajukan dan memperkuat
warisan budaya, secara sadar kita akan berpikir keras tentang bagaimana
memosisikan budaya itu sesuai keberadaan dan fungsinya. Pertanyaannya,
bagaimanakah upaya menjadikan budaya sebagai sesuatu yang penting dikenali dan
dipelajari, terlebih dijaga serta dilestarikan bersama?
Salah satu upaya nyata yang dapat
kita lakukan adalah mendukung penuh pemasukkan kebudayaan lokal atau daerah
dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah. Kewajiban mulok masuk
dalam mata pelajaran kurikulum 13, sesungguhnya upaya mengembangkan potensi
daerah dengan kekhasan dan keunggulan daerah itu sendiri.
Pada proses belajar ini, pelajar
secara waras diajak mengenali, memahami, dan memiliki sikap selaras dengan
aturan dan nilai budaya yang berlaku. Kemudian, pelajar dapat melestarikan dan
mengembangkan potensi di daerahnya untuk menunjang pembangunan nasional.
Keberadaan mulok mengajak generasi
muda untuk mempelajari kebudayaan yang ada di setiap daerah. Tentunya, tanpa
sadar generasi muda akan kehausan mencari informasi supaya dapat mengetahui;
apa itu, mengapa itu, dan bagaimana itu. Alhasil, kebudayaan yang telah dipelajari
dapat dilestarikan, sehingga ada proses regenerasi budaya dalam menjadi
eksistensi budaya itu sendiri.
Di sisi lain, keberadaan mulok
benar mampu mengalihkan dunia pelajar terhadap budaya luar. Seringkali, kita
mendapati budaya luar yang masuk menimbulkan ketimpangan budaya (cultural lag). Oleh karena itu,
pengenalan budaya sendiri sangat dianjurkan sebelum didahului budaya luar. Karenanya,
budaya dapat berperan sebagai pengukuh kekuatan bangsa. Budaya daerah merupakan
jati diri kebudayaan nasional yang melegenda.
Kalau bukan kita, siapa lagi
pewaris budaya Indonesia?
*Tulisan di atas pernah termuat di Duta Masyarakat, edisi 16 Oktober 2019.
Komentar
Posting Komentar