Langsung ke konten utama

Feature Kuliner: Dawet Jabung Ponorogo


Ponorogo adalah kota sejarah, yakni sebuah cerita Dewi Sanggalangit mengadakan sayembara. Barang siapa yang bisa membuat pertunjukan yang belum pernah ada, dengan 140 ekor kuda kembar dilengkapi binatang berkepala dua dapat meminangnya. Akhirnya, sayembara itu berhasil dimenangkan Prabu Kelana Sewandana, dengan membuat pertunjukan reog.

Tak hanya itu, begitu penulis melewati Desa Jabung, (20/11) terdapat pemandangan yang menarik mata. Sepanjang jalan dari Perempatan Jabung kita disajikan beberapa warung kecil dengan spanduk tertulis ‘Dawet Jabung’.

Dawet, minuman ini mungkin sudah biasa di masyarakat kita. Namun, dawet jabung yang ada di Desa Jabung ini memiliki daya tarik yang berbeda. Nama yang diambil dari asal desa, mampu menjadi sorotan masyarakat dari berbagai kota, termasuk Madiun, Magetan, Wonogiri hingga Kota pojok Jawa Timur. 

“Rasanya memang beda dengan dawet-dawet umumnya. Dan uniknya, nama minuman ini sesuai dengan desanya, Desa Jabung,” ungkap salah satu pembeli rombongan dari Tulungagung.

Satu mangkok dawet jabung dijual dengan harga murah meriah, Rp. 2.500. Kombinasi dawet jabung berupa, cendol (makanan dari pati garut), ketan merah, gempol (makanan dari tepung beras berbentuk bulat), bubur sum-sum (makanan dari tepung beras), ditambah potongan nangka sebagai ciri khas untuk mempercantik dan menambah cita rasa.  

Warung dawet jabung, setiap hari selalu ramai dengan pembeli dari berbagai kota. Mulai dari pembeli yang mampir karena kehausan, ada juga karena penasaran cita rasanya, dan pembeli yang ketagihan. Siapapun yang melakukan perjalanan dan kebetulan melewati kawasan dawet jabung, pasti melakukan ritual menjamu dahulu. 

Tidak disangkal lagi, dawet jabung selain memberikan cita rasa yang berbeda, serta harga yang ditawarkan ramah di kantong, tidak salah jika disebut minuman khas Ponorogo. 

Jadi, tidak ada alasan lagi untuk tidak berkunjung di warung dawet jabung. Salah satunya warung dawet Bu Yati yang menerima pemesanan dengan lokasi depan pasar Gandu, Jabung, Ponorogo.

Nah, tunggu apalagi? Jika kalian bingung liburan akhir pekan. 

Berkunjung saja di Kota Ponorogo karena nikmatnya dawet jabung siap melelehkan lidah.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 1 Desember 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...