Langsung ke konten utama

Feature Sosok: Eni Kusuma Bukan (Mantan) TKW Biasa


Uang bisa cepat habis, kalau ilmu tidak. Itu dituturkan Eni Kusuma (39), mantan tenaga kerja wanita (TKW) asal Banyuwangi saat berbagi pengalaman di Sekolah Literasi Gratis (SLG) di STKIP PGRI Ponorogo, Minggu (18/12/2016) lalu. 

“Uang bukan jailangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar,” canda Eni Kusuma yang menjadi TKW selama enam tahun (2001-2007) di Hongkong karena memang harus berburu uang.

Namun, Eni Kusuma juga meyakini, uang tidak bisa menjamin kehidupan dan masa depan seseorang. Eni pun membandingkan dengan kekayaan ilmu.

Menurutnya, butuh dua syarat untuk memiliki kekayaan ilmu, yaitu niat dan yakin. Niat memeroleh ilmu, memahami, merenungkan, dan yakin untuk mengamalkannya.

Ilmu itu luas, berserakan di mana-mana. Ilmu bergerak, tidak diam di tempat. Menurut Eni Kusuma, sampai matahari terbit di ufuk barat pun, ilmu tidak akan habis. Ilmu justru bertambah dan berkembang. Ilmu juga beragam tergantung sudut pandang penikmat ilmu.

Misalnya, ilmu tentang makhluk hidup. Dilihat dari sudut pandang biologi, makhluk hidup meliputi manusia, hewan, tumbuhan, dan lainnya. Berbeda sudut pandang geografi, makhluk hidup tak hanya manusia, hewan, atau tumbuhan tapi semua yang ada di alam, termasuk planet dan benda langit.

Eni Kusuma memang tidak seperti TKW lainnya. Uang gajian dari majikan, ia simpan, bukan digunakan untuk belanja atau jalan-jalan. Ia memanfaatkan gajinya untuk membeli buku, karena semenjak SMA ia suka membaca buku. 

“Di Hongkong, saya sering pergi ke perpustakaan dan toko buku. Saya jarang jalan-jalan, pernah dulu sekali ke Victoria Park,” ungkap Eni Kusuma, lugu.

Tak heran, tukar pengalaman literasi ala Eni Kusuma membuat peserta SLG hari itu memancing banyak pertanyaan peserta. Seperti Siti Rahmawati, pelajar SMA Hudaya Ponorogo yang penasaran dengan cara Eni Kusuma menulis di sela-sela waktunya menjadi TKW.

Ternyata Eni Kusuma harus menulis di bawah selimut dengan penerangan cahaya hanphone karena lampu kamar harus dimatikan di malam hari. Atau, ketika bekerja dan tiba-tiba ada ide, ia menuliskannya di kertas dan diselipkan di kolong kulkas untuk diambil kembali di malam hari.

“Karena majikan saya keras. Jadi kalau nulis seperti anak main petak umpet,” kisah Eni Kusuma yang akhirnya bisa membukukan buku motivasi Anda Luar Biasa dan Mitra Kerja Tanpa Pamrih.

*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, 28 Desember 2016.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...