“Minal aidzin wal
faidzin. Mohon maaf lahir dan batin.”
Kutipan
di atas bukan lagi kata-kata baru di telinga kita. Masyarakat kita, khususnya
yang beragama islam pastilah mengenal betul dengan kutipan tersebut. Kehidupan
masyarakat, khususnya beragama islam, pasti pernah bahkan sering mendengar
kutipan itu dilafalkan, tepatnya di bulan syawal (lebaran). Kutipan yang
sederhana sebenarnya, akan tetapi menyimpan makna yang begitu besar. Makna dari
kutipan itu tidak semata-mata dilafalkan dengan lisan, melainkan diikuti pula
tindakan dengan kerendahan hati –saling memaafkan segala kesalahan dan
kekhilafan antar muslim.
Begitu
mendengar kutipan di atas, saya teringat sebuah kebudayaan masyarakat kita.
Bulan syawal atau bulan lebaran biasa masyarakat menyebutnya, identik dengan
ucapan mohon maaf atas kesalahan dan kekhilafan kepada sesama di satu tahun
sebelumnya. Mereka saling berjabat tangan, berpelukan, bahkan sampai meneteskan
air mata karena begitu menyadari bertumpuk-tumpuk dosa yang telah mereka
lakukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Di
samping budaya saling memaafkan itu, ada salah satu budaya yang paling menonjol
di masyarakat kita. Budaya tersebut adalah budaya memakai baju baru.
Sebenarnya, tidak tahu sejak kapan budaya ini berlangsung. Akan tetapi
kepercayaan masyarakat dengan budaya membeli dan memakai baju baru sudah
melekat dan membudaya kuat. Seolah-olah budaya tersebut merupakan rukun wajib
layaknya shalat fardhu. Perbedaannya kalau shalat mendapat pahala dari Allah,
sedangkan budaya memakai baju baru mendapat sanjungan atau pujian dari sesama. Fenomenal
yang menggemaskan.
Pada
dasarnya, budaya memakai baju baru bukanlah persoalan besar yang seharusnya
dibahas. Akan tetapi, begitu membaca
kutipan Austin Phelps, seorang
Congregational Menteri dan Pendidik Amerika, saya tertarik untuk membahasnya.
Kutipan itu berbunyi seperti ini: “Pakai baju lama dan beli buku baru.”
Usai
membaca kutipan tersebut, ada dua pertanyaan besar dalam diri saya. Pertanyaan
pertama: bagaimana jika budaya memakai baju baru diubah menjadi memakai baju
lama. Pertanyaan kedua: bagaimana jika budaya membeli baju baru diubah menjadi
budaya membeli buku baru.
Dua
pertanyaan di atas akan saya bahas dalam artikel ini. Pertama, budaya memakai baju baru diubah menjadi memakai baju lama.
Hakikatnya budaya memakai baju baru di bulan syawal merupakan budaya yang absurd menurut saya. Mengapa harus di
bulan syawal kita memakai baju baru. Bagaimana dengan bulan-bulan lainnya.
Dalam persoalan ini, saya berinisiatf untuk mengubah pandangan masyarakat
mengenai memakai baju baru di bulan syawal. Dalam Undang-Undang RI tidak ada
suatu peraturan yang menekankan untuk memakai baju baru di bulan syawal. Begitu
pula dengan aturan islam, tidak ada ajaran seperti itu.
Coba
perhatikan zamannya Rasulullah, tidak ada budaya semacam itu. Justru yang
mereka tonjolkan di bulan syawal adalah saling bersilahturahmi dan berjabat
tangan saling memaafkan. Tidak seperti di zaman kita. Justru yang menonjol
adalah budaya memakai baju baru. Efek dari budaya tersebut berdampak besar bagi
mereka yang berada di perekonomian bawah. Mereka yang sebenarnya tidak mampu
membeli baju, dengan bersusah payah mengumpulkan uang untuk membeli baju guna
dipakai saat bulan syawal. Jika kita mau berpikir logis, tidak perlu kita
memakai baju baru, toh kalau baju lama pun masih bisa dikenakan. Lebih baik
uang ditabung untuk keperluan lain. Pada realitanya kalau kita jeli, ada
keperluan lain yang lebih penting atau kita sebut kebutuhan primer. Salah
satunya adalah makanan pokok sehari-hari, misal beras, jagung, gandum, ataupun
sagu.
Untuk
itu, dalam sebuah pemaknaan luas, tidak ada suatu penilaian terhadap baju baru
atau baju lama. Keduanya sama saja, hanya berbeda dalam kualitas barangnya.
Sayang, upaya mengubah pandangan masyarakat dalam hal ini amatlah sulit. Karena
budaya ini sudah melekat lama, bahkan menjadi kewajiban khusus selain saling
memaafkan itu tadi.
Kedua,
budaya membeli baju baru diubah menjadi buku baru. Sebenarnya membeli baju baru
adalah hak setiap orang untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikis. Tidak ada
yang mengharuskan untuk tidak atau jangan membeli baju baru. Apabila hal ini
terjadi, maka kita melakukan suatu pelanggaran besar, yaitu merampas hak asasi
manusia (HAM). Akan tetapi, dalam hal ini tidak ada salahnya jika sesekali
budaya membeli baju baru diubah menjadi budaya membeli buku baru.
Pada
dasarnya keduanya adalah sama-sama kebutuhan manusia. Namun, berbeda di lihat
berdasarkan kegunaan dan manfaatnya. Membeli baju baru berguna untuk memberikan
tampilan berbeda pada tubuh, sedang manfaatnya adalah mempercantik diri.
Membeli buku baru berguna untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, sedang
manfaatnya mempertajam keilmuan.
Dalam
kehidupan sosial, kedua objek tersebut sama pentingnya. Namun dalam konsep
pemaknaan hidup, buku baru lebih menguntungkan dibanding baju baru. Mengapa hal
ini terjadi? Karena (i) kekuatan buku lebih dahsyat dibandingkan kekuatan baju,
(ii) buku berpotensi mengubah pandangan sosial, (iii) manfaat buku jauh lebih
unggul dibanding baju, (iv) buku dapat membawa kita keliling dunia, (v) buku
memberikan ruang kebebasan, (vi) buku rusak tetap bernilai, baju rusak tak
ternilai, (vii) buku menunjukkan jati diri, baju menunjukkan harga diri, (viii)
buku mengubah peradaban, baju mengubah perkarakteran, (ix) buku adalah jendela
dunia, baju adalah jendela fasion,
dan (x) buku gerbang menuju masa depan, baju gerbang menuju masa sekarang.
Ingat!
Henry David Thoreau, Walden pernah mengungkapkan bahwa, “Buku adalah harta
karun kesejahteraan dunia dan warisan terbaik bagi generasi muda dan
bangsa-bangsa.” Untuk itu, mulai berpikirlah apa yang dapat kita lakukan dalam
mensejahterakan dunia. Yuk, ciptakan budaya baru dengan pakai baju lama, beli
buku baru!
*Tulisan di atas pernah termuat di Republika, 4
Desember 2016.
Komentar
Posting Komentar