Langsung ke konten utama

Reportase: Sanksi Literasi



Bukan zamannya lagi menerapkan hukuman fisik bagi pelajar maupun mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Seperti pandangan Skinner, tokoh belajar behavioristik mengemukakan jika mengaplikasikan hukuman fisik kepada pembelajar cenderung memberikan dampak. Baik dampak yang berlangsung sementara maupun jangka panjang.

Teori belajar behavioristik merupakan metode pembelajaran perubahan sikap atau tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus (S) dan respon (R). Secara harfiah, hukuman fisik bukanlah salah satu hukuman yang mendidik. 

Seperti yang diterapkan Suprapto, dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo. Selasa (6/12), di ruang 102, sembilan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2015 melakukan pelanggaran masuk ruang kuliah lebih dari 30 menit.

Menyikapi hal itu, dosen pengampu mata kuliah Korespondensi itu, memberikan hukuman membaca puisi berantai secara spontan. Tema puisi dibebaskan sesuai kemampuan dan keinginan pelanggar. Menurut Suprapto, hukuman membaca pusisi diberikan berdasarkan jurusan yang mereka (pelanggar) tempuh saat ini. Dengan maksud lain, dapat dijadikan sebagai proses latihan mahasiswa jurusan bahasa Indonesia dalam pembuatan dan pembacaan puisi.

Tema puisi yang dipilih adalah bunga. Di awali bait//hitam dan putih bunga mawar berduri/ menusuk jantung ini// Kemudian bait kedua //ini/inilah kurasa duri mawar merobek jantung paksa// Bait kedua //paksa dan kutarik pelan duri mawar dengan lirih// Seperti itulah kiranya lirik puisi yang dibacakan. Hingga di akhir bait ke-9 //hati terasa terpenjara dalam duri mawar hitam//

Hukuman hari itu, tidak sekadar hukuman biasa. Terlebihnya, menciptakan dan meningkatkan kreatifitas mahasiswa terkait puisi. Sebab, mau tak mau pada semester lima akan ada mata kuliah kajian puisi.

 Uniknya, mahasiswa yang semula malu berbicarapun menjadi angkat bicara. Pasalnya, tak mungkin pelanggar akan berdiri dihadapan 30 mahasiswa lain di depan kelas. Pasti sangat memalukan.

Begitu pembaca puisi usai, Suprapto mengungkapkan terkait hukuman bagi mahasiswa yang terlambat lebih dari 30 menit akan diberlakukan setiap kali pertemuan. 

“Siapa yang terlambat, harus siap mendapatkan hukuman. Entah berpuisi, bernyanyi, berpantun, stand up, atau lainnya,”ujar Suprapto.


*Tulisan di atas pernah termuat di Harian Surya, edisi 13 Desember 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...