Ada sebuah fenomena luar biasa yang sempat
menggetarkan bumi sepanjang empat bulan belakangan ini. Bukan fenomena seperti
halnya gunung meletus, tsunami ataupun longsor barangkali orang menyebutnya.
Melainkan sebuah getaran maha dahsyat yang bertitik pusat di kota Ponorogo,
Jawa Timur. Sebuah fenomena yang bisa dikatakan langka dan mungkin jika
dilakukan survey di seluruh Indonesia, hanya ada satu, dan satu-satunya.
Fenomenal itu, sempat menjadi momok atau bahan
pembicaraan berbagai kalangan media. Mulai dari media sosial, media cetak
maupun media elektronik. Fenomenal tersebut bermuara karena adanya tingkat keprihatinan
dan kepedulian masyarakat terhadap masa depan Ponorogo. Lebih jauhnya, masa
depan negara.
Rata-rata kepekaan dan kesadaran dalam rangka
meningkatkan mutu negara, dirasa sangatlah rendah. Dengan demikian, berbekal
kegigihan, keuletan, dan ketlatenan yang luar biasa, fenomena itu kini
mendapatkan apresiasi dari berbagai golongan,
seperti professor, gubernur, seniman, sastrawan, guru, hingga golongan kecil,
seperti pelajar.
Kampus kecil berlabel swasta telah mendirikan sebuah
gerakan sekolah literasi, dengan latar belakang
peduli terhadap masa depan bangsa. Khususnya, mereka calon generasi muda yang
akan meneruskan cita-cita bangsa. Pemberdayaan generasi muda sebagai tonggak
kehidupan bangsa, secara umum harus didampingi, dipupuk, kemudian diarahkan
sejak awal.
Potret
Generasi Indonesia
Sebenarnya bukan persoalan terlambat. Akan tetapi, secara
lahiriyah lebih maksimal, jika di antara mereka sejak dini diberikan semacam
bumbu-bumbu yang mendukung bagi keberlangsungan hidup bangsa, sehingga nampak tingkat
kematangan sosialnya baik. Misalnya, sejak kecil dikenalkan dengan budaya membaca-menulis, sopan santun, tata krama atau
lain sebagainya. Dengan adanya penataran semacam itu akan menjadi bekal yang
baik terhadap sikap dan tingkah laku seseorang.
Pemberdayaan tersebut dianjurkan sebelum generasi
muda terkontaminasi dengan bumbu-bumbu baru yang menggolbal, sehingga dengan
mudah kita dapat membentuk kepribadian mereka sesuai dengan harapan, cita-cita
dan tujuan bangsa sejatinya.
Berbeda ketika kita membubuhi mereka, sudah
dikatakan remaja misalnya. Respon dan hasil pemikiran mereka akan terlihat jauh
berbeda—tidak dalam (dangkal). Kematangan mereka secara umum sudah
terkontaminasi. Seakan-akan ketika muncul ideologi baru terkesan sulit untuk
dicerna dan dipahami dalam kehidupan sosial manusia.
Namun, kenyataan tersebut juga tidak dapat
disamaratakan. Tidak semua generasi muda memiliki tingkat respon yang sama.
Mereka yang sedari awal dibekali dan diarahkan secara baik, tingkat kematangan
sosialnya lebih mudah ditata.
Lain halnya dengan mereka yang terkesan biasa-biasa saja
atau di bawah rata-rata. Secara umum, untuk membentuk kematangan sosial—kepedulian,
keprihatinan, dan kesadaran diri jauh dibutuhkan proses dan perlakuan yang
khusus. Untuk itu, solusi terbaik dalam permasalahan tersebut dapat diatasi
dengan mengenalkan (sosialisasi), kemudian membubuhi, dan mengarahkan calon
generasi bangsa sedini mungkin. Sebelum akal dan budi mereka terkontaminasi.
Sesungguhnya tidak semua hal itu beraroma negatif.
Pada umumnya ada dua sisi yang saling melengkapi, yaitu sisi positif dan sisi
negatif. Namun, sangat disayangkan jika yang masuk dalam perkarakteran pemuda, yakni
hal-hal yang bersifat negatif, sehingga kemungkinan besar berdampak pada
kerugian, kelaknya.
Kembali berbicara fenomenal dahsyat berupa gerakan sekolah
literasi di atas. Kampus dengan branding “kampus literasi” tersebut adalah
sebuah perguruan tinggi swasta, tepatnya di kota Ponorogo. Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI PONOROGO adalah salah satu kampus
yang turut turun tangan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak tanggung-tanggung memerdayakan
masyarakat untuk bergerak mencintai dunia baca-tulis, atau biasa disebut
literasi.
Gerakan yang sudah berjalan empat bulan sejak bulan
September, mampu memprovokasi masyarakat Ponorogo dan sekitarnya dalam
kesadaran berliterasi. Dilengkapi sosok-sosok inspiratif yang didatangkan
setiap minggunya di Sekolah Literasi Gratis (SLG) itu. Di antaranya mereka berprofesi
sebagai professor, doktor, sastrawan, seniman, motivator, guru, dan wartawan menjadi
bukti semangat dan kerja keras menuntun generasi muda, generasi bangsa,
generasi cerdas yang memiliki pengetahuan luas dan berakal budi baik, terutama
untuk dirinya dan bangsa Indonesia.
Gerakan literasi sebagai gerakan menyambut tahun
2017 merupakan gerakan yang sangat baik. Mengingat masyarakat Indonesia
memiliki mental yang mengerikan. Mental mengeluh, mental gelisah, dan mental
khawatir. Secara umum, mental masyarakat Indonesia 60% tergolong mental lemah.
Terbukti, kasus-kasus di media sosial banyak yang memosting status-status
beraroma kegelisahan diri. Atau mungkin, status saling menghujat sesama,
membully, bahkan parahnya saling lempar prasangka-prasangka buruk.
Literasi
Vietnam
Inilah yang membedakan masyarakat Indonesia dengan
masyarakat di negara-negara tetangga. Sebut saja, di Vietnam. Negara ini pernah
mengalami konflik perang saudara berkepanjangan, dan saat ini sudah lebih dulu
menyadari pentingnya mereformasi dunia pendidikan melalui membaca—bagian dari
literasi. Melalui metode gerakan masyarakat mengumpulkan donasi dan buku, serta
menyebarkan melalui pendirian perpustakaan di seluruh pelosok negara.
Dengan demikian, kita dapat berkaca dari negara
Vietnam melalui gerakan kesadaran dan kepekaan membentengi diri derasnya arus
globalisasi. Untuk itu, dalam rangka menyambut tahun 2017, sudah waktunya kita
membuka lebar-lebar mata dan hati kita untuk keberlangsungan bangsa Indonesia, yakni
dengan menanamkan kepedulian terhadap generasi muda sebagai tonggak penerus
bangsa.
Saatnya Indonesia bangkit, 2017 di depan mata!
Komentar
Posting Komentar