Langsung ke konten utama

Tahun 2017 Harapan Indonesia; Berliterasi




Ada sebuah fenomena luar biasa yang sempat menggetarkan bumi sepanjang empat bulan belakangan ini. Bukan fenomena seperti halnya gunung meletus, tsunami ataupun longsor barangkali orang menyebutnya. Melainkan sebuah getaran maha dahsyat yang bertitik pusat di kota Ponorogo, Jawa Timur. Sebuah fenomena yang bisa dikatakan langka dan mungkin jika dilakukan survey di seluruh Indonesia, hanya ada satu, dan satu-satunya.

Fenomenal itu, sempat menjadi momok atau bahan pembicaraan berbagai kalangan media. Mulai dari media sosial, media cetak maupun media elektronik. Fenomenal tersebut bermuara karena adanya tingkat keprihatinan dan kepedulian masyarakat terhadap masa depan Ponorogo. Lebih jauhnya, masa depan negara. 

Rata-rata kepekaan dan kesadaran dalam rangka meningkatkan mutu negara, dirasa sangatlah rendah. Dengan demikian, berbekal kegigihan, keuletan, dan ketlatenan yang luar biasa, fenomena itu kini mendapatkan apresiasi dari berbagai  golongan, seperti professor, gubernur, seniman, sastrawan, guru, hingga golongan kecil, seperti pelajar.

Kampus kecil berlabel swasta telah mendirikan sebuah gerakan sekolah literasi, dengan  latar belakang peduli terhadap masa depan bangsa. Khususnya, mereka calon generasi muda yang akan meneruskan cita-cita bangsa. Pemberdayaan generasi muda sebagai tonggak kehidupan bangsa, secara umum harus didampingi, dipupuk, kemudian diarahkan sejak awal.

Potret Generasi Indonesia
Sebenarnya bukan persoalan terlambat. Akan tetapi, secara lahiriyah lebih maksimal, jika di antara mereka sejak dini diberikan semacam bumbu-bumbu yang mendukung bagi keberlangsungan hidup bangsa, sehingga nampak tingkat kematangan sosialnya baik. Misalnya, sejak kecil dikenalkan dengan budaya  membaca-menulis, sopan santun, tata krama atau lain sebagainya. Dengan adanya penataran semacam itu akan menjadi bekal yang baik terhadap sikap dan tingkah laku seseorang. 

Pemberdayaan tersebut dianjurkan sebelum generasi muda terkontaminasi dengan bumbu-bumbu baru yang menggolbal, sehingga dengan mudah kita dapat membentuk kepribadian mereka sesuai dengan harapan, cita-cita dan tujuan bangsa sejatinya. 

Berbeda ketika kita membubuhi mereka, sudah dikatakan remaja misalnya. Respon dan hasil pemikiran mereka akan terlihat jauh berbeda—tidak dalam (dangkal). Kematangan mereka secara umum sudah terkontaminasi. Seakan-akan ketika muncul ideologi baru terkesan sulit untuk dicerna dan dipahami dalam kehidupan sosial manusia.

Namun, kenyataan tersebut juga tidak dapat disamaratakan. Tidak semua generasi muda memiliki tingkat respon yang sama. Mereka yang sedari awal dibekali dan diarahkan secara baik, tingkat kematangan sosialnya lebih mudah ditata.

Lain halnya dengan mereka yang terkesan biasa-biasa saja atau di bawah rata-rata. Secara umum, untuk membentuk kematangan sosial—kepedulian, keprihatinan, dan kesadaran diri jauh dibutuhkan proses dan perlakuan yang khusus. Untuk itu, solusi terbaik dalam permasalahan tersebut dapat diatasi dengan mengenalkan (sosialisasi), kemudian membubuhi, dan mengarahkan calon generasi bangsa sedini mungkin. Sebelum akal dan budi mereka terkontaminasi. 

Sesungguhnya tidak semua hal itu beraroma negatif. Pada umumnya ada dua sisi yang saling melengkapi, yaitu sisi positif dan sisi negatif. Namun, sangat disayangkan jika yang masuk dalam perkarakteran pemuda, yakni hal-hal yang bersifat negatif, sehingga kemungkinan besar berdampak pada kerugian, kelaknya.

Kembali berbicara fenomenal dahsyat berupa gerakan sekolah literasi di atas. Kampus dengan branding “kampus literasi” tersebut adalah sebuah perguruan tinggi swasta, tepatnya di kota Ponorogo. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI PONOROGO adalah salah satu kampus yang turut turun tangan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak tanggung-tanggung memerdayakan masyarakat untuk bergerak mencintai dunia baca-tulis, atau biasa disebut literasi.

Gerakan yang sudah berjalan empat bulan sejak bulan September, mampu memprovokasi masyarakat Ponorogo dan sekitarnya dalam kesadaran berliterasi. Dilengkapi sosok-sosok inspiratif yang didatangkan setiap minggunya di Sekolah Literasi Gratis (SLG) itu. Di antaranya mereka berprofesi sebagai professor, doktor, sastrawan, seniman, motivator, guru, dan wartawan menjadi bukti semangat dan kerja keras menuntun generasi muda, generasi bangsa, generasi cerdas yang memiliki pengetahuan luas dan berakal budi baik, terutama untuk dirinya dan bangsa Indonesia.

Gerakan literasi sebagai gerakan menyambut tahun 2017 merupakan gerakan yang sangat baik. Mengingat masyarakat Indonesia memiliki mental yang mengerikan. Mental mengeluh, mental gelisah, dan mental khawatir. Secara umum, mental masyarakat Indonesia 60% tergolong mental lemah. Terbukti, kasus-kasus di media sosial banyak yang memosting status-status beraroma kegelisahan diri. Atau mungkin, status saling menghujat sesama, membully, bahkan parahnya saling lempar prasangka-prasangka buruk.

Literasi Vietnam
Inilah yang membedakan masyarakat Indonesia dengan masyarakat di negara-negara tetangga. Sebut saja, di Vietnam. Negara ini pernah mengalami konflik perang saudara berkepanjangan, dan saat ini sudah lebih dulu menyadari pentingnya mereformasi dunia pendidikan melalui membaca—bagian dari literasi. Melalui metode gerakan masyarakat mengumpulkan donasi dan buku, serta menyebarkan melalui pendirian perpustakaan di seluruh pelosok negara.

Dengan demikian, kita dapat berkaca dari negara Vietnam melalui gerakan kesadaran dan kepekaan membentengi diri derasnya arus globalisasi. Untuk itu, dalam rangka menyambut tahun 2017, sudah waktunya kita membuka lebar-lebar mata dan hati kita untuk keberlangsungan bangsa Indonesia, yakni dengan menanamkan kepedulian terhadap generasi muda sebagai tonggak penerus bangsa.
Saatnya Indonesia bangkit, 2017 di depan mata!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...