Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2020

Surat untuk Mas Fendik (8)

Hai, Mas Fendik. Aku menulis surat ini di dalam ruangan yang dipenuhi dengan buku-buku. Di tembok terdapat rak buku. Ruangan bagian tengah telah berjajar delapan rak buku membuat dua shaf barisan. Rak ini berlantai dua. Di lantai itu, ada tumpukan buku berjajar rapi, beberapa tumpukan klipping koran sejak tahun 90-an hingga 2017. Sebelumnya, aku perkenalkan dulu ruangan yang menumbuhkan semangat dalam menggeluti dunia literasi. Adalah sebuah ruang yang diberi nama rumah buku. Di rumah itu ada macam-macam buku. Kalau Mas ke sini bisa membeli atau sekadar membaca-baca saja. Sejak pandemi tiba di Indonesia, aku banyak menghabiskan waktu di ruangan ini. Aku membaca, menulis, dan berdiskusi tentang apa saja. Kegiatan di luar rumah libur. Belanja pun libur, ada toko terdekat. Kebetulan semua kebutuhan pribadi ada di sana. Semua aktifitas dilakukan via online, termasuk agenda kajian buku. Tahun 2020 sudah berjalan di bulan keempat. 2019 bulan Oktober aku telah resmi lulus. ...

Surat untuk Mas Fendik (7)

Jeeeng, jeng . . . Hai. Hmm. Tuing . . . tuingg tuinkerbell. Mas, selamat datang di tanggal 26 April ya. Yuk ke tanah lapang!  Masih kamu simpankan kaca pembesar itu dan beberapa kertas untuk bereksperimen? Aku ingin memastikan terik tahun ini masih sama seperti tahun-tahun lalu. Aku percaya, panasnya masih sama. Meski anomali cuaca tak beraturan. Kan keyakinan itu harus dibangun ya. Seperti ... ets, kali ini aku akan berhenti berpuitis kepadamu. Nanti aku siapkan stopwatch untuk memastikan di menit ke berapa energi matahari mampu membakar kertas.  Tanggal 26 April cerah. Aku baru saja mengeceknya langsung ketika membersihkan sampah di halaman rumah.  Langit membiru bersih. Tidak ada awan yang sekadar mondar-mandir di sana. Beburung bekerjaran, rupanya mereka juga senang dengan cuaca hari ini. Pun aku. Waw, aku senang, senang sekali tanggal ini cerah. Kembali, kulihat masa depan kita di atas sana. Ya cerah. Hehehe. Mas, aku berterima kasih...

Surat untuk Mas Fendik (6)

CATATAN: Sebelum membaca, minumlah segelas air terlebih dahulu. Kemudian, atur napas. Bacalah dengan santai. Jangan emosi. Kalau kamu hanyut, maaf seribu maaf untuk tulisan kali ini. * Mas Fendik berkoko. Aku baru saja membuat sambal pecel sebagai menu sahur. Maaf ya kalau surat malam ini beraroma sambal pedas-manis, bercampur masam keringat. Hehehe.  Saat ini, lintasan di otak cukup tenang. Satu per satu telah larut. Namun, gejolak diri belum bisa dibilang tenang. Ada seseorang yang membuat marah, tapi tidak mungkin aku memarahinya. Ada pula, seseorang yang teramat menjengkelkan, tapi ya bagaimana lagi. Senyumin saja. Untuk seorang gadis, pukul 22.30 bisa dibilang malam. Untuk aku itu mah masih sore. Begadang menjadi rutinitas yang menyenangkan. Sembari menikmati aroma kesepian kuisi dengan berbagai kegiatan yang produktif dan kadang malas-malas. Kalau hati lagi baik, aku isi dengan membaca atau menulis. Malam, aku sering menghitungi suara tokek di pohon mangg...

Surat untuk Mas Fendik (5)

Senja adalah waktu yang tepat untuk mengenangmu, Mas. Namun, begitu ingatan itu berputaran aku tidak bisa menuliskan surat untukmu. Dua hari lagi adalah tanggal 26 April. Biasanya di tanggal itu kita merayakan suatu momen yang berharga. Berjemur di bawah terik matahari sambil sesekali bereksperimen membakar kertas.  Mas Fendik terkasih, di bawah terik matahari menjadi sesuatu yang amat menyenangkan untuk manatap wajahmu, tanpa bergumam. Ada ribuan rindu yang melelah dari kepala. Pori-poriku berembun, Mas. Kau tahu, di saat seperti itu kita telah kehilangan ion-ion dalam tubuh. Dan, kita hanya mampu memanfaatkan waktu sekadar bertatapan. Aku menyukai musim panas, ketika kita duduk di sebuah perapian. Menciumi bau jalan dengan debu-debu yang berkeliaran. Aroma itu masuk dalam penciuman kita. Seketika, kamu mengambil langkah, kemudian memetik sebuah awan. Katamu, awam adalah jiwamu. Tiada tapi berasa.   Ohh, Mas Fendik terkasih, aku masih menggenggam awan itu hingga se...