Aku
mencintai keindahan. Aku juga mencintai kesempurnaan. Akulah orang perfeksionis
itu.
Kak,
kutulis surat ini atas dasar permintaanmu. Kalau kamu tanya, apakah aku menulis
karena terpaksa? Tentu, aku akan menjawabnya
tidak. Aku butuh waktu untuk memahamimu, tidak saja tahu akan
dirimu. Pun, aku butuh rangkaian huruf untuk mencipta kata menjadi kalimat,
kalimat menjadi kisah, dan kisah menjadi satu satunya sejarah.
Kakak
kaya ilmu tentang Islam, mantap. Aku senang bisa mengenalmu lebih dekat dari
lima sentimeter. Semoga, esok akan ada waktu kita berjumpa untuk saling berdiskusi
dan berbagi pikiran.
Maaf, tulisan ini kusebutlah surat, supaya ada balasan darimu.
Mungkin surat ini terkesan biasa. Seperti ya
surat-surat anak SD baru mengenal yang namanya cinta monyet. Ya benar adanya.
Aku cinta, kamu yang monyetnya. Dan aku,
mencintai monyet itu. Hahaha.
Kak,
mungkin surat ini tidak akan selegendaris surat-surat Kartini kepada orang
Belanda. Juga, tidak
seromantis surat Kahlil Gibran, lebih tepatnya syair kepada kekasihnya, May
Ziyadah. Pula, surat cinta Al-Ghazali. Surat-surat
itu sudah aku gasak habis.
Perihal
cinta, Kak, aku banyak belajar dari Al-Ghazali. Buku Ihya Ulumuddin telah
membongkar klasifikasi cinta yang penting untuk kau ketahui. Pertama, cinta karena
faktor internal. Hmm, sederhananya cinta fisik, Kak. Kedua, cinta karena harta,
ketiga, cinta karena Allah. Cinta ini tidak lagi memandang siapa dan bagaimana.
Baginya cinta adalah anugerah dari-Nya. Dan keempat, cinta hanya dan karena
Allah. Cinta keempat ini hanya
mampu dimiliki orang-orang sufi.
Orang
sufi, dari kisah yang aku baca di buku Memilih Jomblo karya Husein Muhammad dia
tidak lagi butuh cinta (lawan jenis). Fokus hidupnya adalah bekerja dan
berkarya. Cintanya hanya satu kepada Sang Khaliq. Mereka percaya cinta dari-Nya sumber segalanya.
Orang sufi, enggan untuk menduakan cinta-Nya.
Di buku itu, aku mengenal Rabi’ah Al-‘Adawiyah Al-Bashriyyah. Rabi’ah tak menikah dan tak ingin menikah dengan
laki-laki siapa pun. Ia menolak laki-laki yang datang kepadanya, sekaya,
sebesar, dan setinggi apa pun keilmuan dan kehebatan laki-laki itu. Seluruh
hidupnya diliputi oleh gairah cinta kepada Tuhan, tak ada yang lain dan tak
ingin yang lain. Hari-harinya
disibukan untuk menyebut nama-nama-Nya, memuji-Nya, mensucikan-Nya, dan
merindukan-Nya. Malam-malamnya dihabiskan untuk menjalin keintiman bersama-Nya.
Hingga ia menjadi cinta Tuhan sepanjang sejarah.
Di buku itu pula, aku berjumpa dengan Khadijah Bint Sahnun, Kak. Perempuan Tunisia ini memilih tidak menikah.
Ia begitu terpikat pada pekerjaan intelektual, menyebarkan ilmu pengetahuan dan melakukan advokasi-advokasi kemanusiaan. Kak, semoga nanti kau seperti
perempuan ini, senantiasa menyebarkan ilmu yang kamu miliki. Jika kamu bersedia,
aku dukung 100 persen.
Jadi ingat kepada Bapakku yang
di rumah, Kak. Ahh, aku sangat rindu dengannya. Nasihatnya, kultumnya, dan
pencerahan dari segala masalah yang ada. Bapak sering mengajakku untuk
berdiskusi. Bapak sering menceritakan tentang Rasulullah kepadaku.
Yah, karena aku tahu Bapak
gila baca, ketika aku pulang pasti memberikan hadiah buku. Terakhir kali
pulang, kuberikan beberapa buku: Sirah Nabawiyah, Sejarah Kabah, dan buku-buku
tema ke-Islaman, dan buku kumpulan khutbah Jumuah. Doaku, semoga kelak Kakak
mampu menjadi orang hebat untuk keluarga. Aamiin.
Ngomong-ngomong, terima kasih
ya sudah ada sampai hari ini. Aku senang kita sekali waktu menyempatkan waktu
untuk sekadar berkirim pesan. Semoga Kakak di sana sehat. Jangan lupa bahagia
ya.
Kak, kamu kan lebih tahu jauh
ya tentang ke-Islaman. Bolehlah kali waktu dibagikan padaku. Aku suka ilmu
baru, ya untung-untung kan kita bisa membuka ruang diskusi, Kak. Ya, semoga ada
waktu untuk itu.
Kak, aku telah memasuki
ruangan yang beku, Kak. Di sini aku kedinginan. Tidak ada seorang pun yang baik
memberiku jaket ataupun sehelai benang untuk menghangatkan. Kunikmati hari-hari
dengan kedinginan, hingga aku benar terbiasa dengan rasa dingin.
Namun, Kakak tahu, di sebuah
gerbong kereta, kudipertemukan seseorang yang sedang memakai jaket berwarna
merah dengan garis-garis berwarna biru. Dia begitu sombong. Begitu menjelajahi
kursi-kursi di dalam kereta, orang itu tampak tertidur dengan pulas. Aku
melihatnya, Kak. Hasilnya nol, dan aku tetap kedinginan. Ya semoga perasaan itu
segera sirna, dan terbitlah matahari untuk menghangatkan.
Perihal sensitifitas yang kamu
tanyakan semalam itu, Kak akan kujawab.
Seseorang telah mengatakan
bahwa orang yang menggeluti dunia literasi, sensifitasnya akan naik. Ia mudah
emosi, perasaannya gampang tersentuh oleh apapun. Utamanya perihal sesuatu yang
dapat dilihat oleh mata.
Terkait sensitifitas, awalnya
aku tidak percaya. Dan, aku percaya diri saja tidak akan terjadi padaku karena
aku terkesan orang yang acuh untuk beberapa hal. Nyatanya, aku terjangkit
penyakit itu. Aku, Kak untuk saat ini mudah sensitif. Emosiku naik turun, yah
mungkin karena aku banyak membaca, jadi banyak tahu.
Dari sini aku dapat
menyimpulkan, banyak tahu banyak tidak baik, dan tidak tahu apa-apa lebih tidak
baik. Baiknya, ya sedang-sedang saja.
Sedikit kuberi titik terang,
bahwa ada makna di balik senyuman. Ada senyum karena bahagia, senyum karena
menerima, senyum karena mengalah, senyum karena ya sudahlah, dan makna senyum
lainnya.
Aku belajar interaksi
simbolik. Aku mendalami teori itu hingga mengelupas. Bahwa ada simbol-simbol
dalam komunikasi yang dilakukan seseorang, baik itu lisan maupun tulis. Seperti
yang kujelaskan di atas, bahwa simbol senyum itu bermakna banyak. Aku juga tahu
tentang simbol verbal dan non-verbal. Dan, kini aku dapat membaca dari simbol
yang kamu berikan.
Maaf, aku yang mudah sensitif.
Tapi, aku tidak pernah menyesali itu. Bagiku adalah anugerah. Sebab, dalam
sebuah buku Sastra dan Kekuasaan yang dieditori Sudiro Satoto ada pembahasan
bahwa indera penulis, sastrawan, penyair, atau profesi apapun akan bertambah.
Dampaknya ia akan mudah sensitif terhadap suatu hal. Dan semua itu adalah
sebuah kewajaran. Hal itu terjadi karena signal kepekaan dan ketanggapannya
telah naik kelas.
Dari pembahasan itu, aku jadi
berkaca tentang diriku, Kak. Mengapa aku jadi begini. Aku sudah menemukan
jawabannya, karena terlalu banyak lintasan di otak. Kalau saja lintasan itu
berenergi positif baik saja. Namun, ada dari ribuan lintasan itu tentang
keparadoksan dan keironian hidup. Ya, itulah yang bisa kuterima.
Hmm, Kak mungkin itu yang bisa
kusampaikan di tulisan kali ini. Aku mau istirahat. Capek. Usai kerja, langsung
menulis ini. Sekali lagi, maaf aku yang sering sensitif. Mungkin karena
anugerah wanita ya, yang diberi 1 akan 9 perasaan.
Oke. Cukup dulu ya, aku tidak
mau bahas lagi. Oh iya, tentang semalam itu, sensitifitas rasa akan menolak
keras, perihal tulisanmu saja yang membuatku emosi. Ada kesalahan dalam
tulisanmu menuliskan lema “silakan”. Benarnya tidak ada huruf “h”.
Hehehe, maaf ya. Orang bahasa
sih, jadi tahu tulisan salah bawaannya ingin membenarkan. Maaf lo ya Kak. Aku
tidak bermaksud mau pintar di sini. Tapi, indahnya kita saling mengoreksi satu
sama lain.
Ya, cukup dulu, aku takut Mas
Fendik cemburu. Meski aku tahu, dia hanya ada dalam tulisanku.
Salamku, aku rindu datangmu.
Suci Ayu Latifah
15.04.2020
Komentar
Posting Komentar