Langsung ke konten utama

Surat untuk Tuan Korona


Selamat pagi Tuan Korona. Sampai manakah perkembangbiakanmu saat ini? aku harap ketika kebutuhanmu terpenuhi segera hengkang dari tanah air. Aku tidak ingin negeriku terus berduka.
Korona, aku tahu, kamu sebenarnya virus yang baik. Kamu salah satu ciptaan Tuhan.

Korona, kukabarkan padamu, bahwa kita diberi anugerah untuk hidup. Kamu berhak hidup sebagaimana kehidupanmu. Dan, manusia berhak hidup atas kehidupannya.

Aku mohon kepadamu untuk tidak lagi mencari inang di tubuh manusia. Kami takut kehilangan saudara, teman, dan kerabat. Kalau kamu butuh makanan, cobalah cari makanan lain. Jangan pada manusia.

Korona, aku tahu memang manusia di zaman sekarang banyak berdusta atas dirinya sendiri dan orang lain. Orang-orang elit semena-mena, aku tahu. Pemimpin, saling mengejar status dan kedudukan, aku tahu. Orang kaya, banyak yang lupa atas penderitaannya, aku tahu.

Aku juga tahu, tidak pun kujelaskan, kamu sudah tahu tentang tabiat manusia era ini.

Jika kamu tahu, Korona. Sebenarnya, manusia itu semuanya baik. Manusia lahir dalam keadaan fitrah. Mereka memiliki hati nurani yang suci. Mereka memiliki otak untuk berpikir. Namun, aku tahu, bahwa sebagian otak pandai mereka sering kali dimanfaatkan untuk membodohi orang lain.
Sesungguhnya, agama telah mengajarkan tentang kebaikan. Baik kepada sesamanya, tumbuhan, hewan, hingga makhluk sekecil kamu.

Ya, Korona. Kalau kamu lapar makanlah orang-orang yang demikian itu. Supaya mereka merasakan betapa hidup bukanlah suatu ajang untuk kepentingan diri. Bunuh saja mereka yang tidak lagi memiliki hati kemanusiaan.

Korona, kemarin siang, aku mendapat kabar tentang tetangga, sekaligus kerabat bahwa ia telah meninggal. Aku tidak tahu persis apa yang teralami oleh tetanggaku itu. Tetapi, dari tanda-tanda itu adalah kamu. Mungkin teman kamu mampir dan hidup di tubuhnya.

Dia baru saja dari kota yang disebut zona merah—Jakarta. Hingga harinya dijemput Tuhan sudah sekitar 20 hari. Dia sudah isolasi sesuai prosedur pemerintah, sudah dites dan cek juga. Tapi hasilnya baik-baik saja.

Korona, coba kamu tanyakan kepada saudaramu, apakah itu ulah dari salah satu mereka? Jika ia, kamu salah orang, Korona. Dia baik, bekerja untuk keluarganya—memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia termasuk orang golongan bawah. Karena itu, dia bekerja.

Begitu kamu mampir di tubuhmu, kamu tidak bereaksi. Apa maksudmu? Apakah kamu menyukai orang ini? Jika demikian, mengapa kamu membuatnya sakit, sesak napas, demam hingga beberapa hari, dan tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Coba jelaskan padaku, Korona. Aku tahu kamu sebenarnya kehidupan yang baik. Kamu butuh sesuatu untuk hidup, sama seperti manusia.

Semisal jika karena kamu, ya Korona. Tolong segera hentikan ulahmu. Atau, bolehlah kau mengambil dari nutrisi kami, tapi jangan membuat sakit. Boleh saja, lakukan dengan syarat itu.
Di tanah air, banyak orang yang panik dan was-was. Mereka yang berkesadaran lebih memilih tinggal di rumah, mengurangi pertemuan, menjaga imunitas tubuhnya, dan senantiasa memakai masker ketika keluar, serta mencuci tangannya menggunakan sabun.

Kau tahu, Korona, ada sebagian orang yang kuat menjalani hari-hari di rumah. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Kami—orang-orang di tanah air rezekinya banyak di luar rumah. Di kantor, sekolah, perusahaan, pabrik, jalan, dan masih banyak lagi.

Tolonglah, kamu hentikan ulahmu ini ya. Dari pandemi ini, banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan, Korona. Kalau sudah begitu aku takut kejadian di tahun-tahun lalu kembali. Karena kelaparan banyak orang yang menjarah sesamanya. Mereka merampok, merampas, dan membunuh. Itu, hingga detik ini sudah terjadi di beberapa kota. Terlebih, mereka—Napi malah-malah dibebaskan.
Aku tidak habis pikir dengan pemerintah. Di tengah pandemi ini mengapa orang yang di dalam justru di keluarkan. Sedangkan, orang-orang yang di beraktifitas di luar dianjurkan supaya di rumah saja. Sungguh, fenomena apa ini, Korona.

Korona, ya Korona yang baik. Ini adalah surat untukmu. Dari hati, aku tidak menyalahkanmu 100%. Ada kalanya di sebeleh hati, kamu menghentikan aktifitas para koruptur, orang pengejar status dan jabatan, dan beberapa orang yang tidak memiliki hati kemanusiaan. Dan, kamu telah membuka hati orang-orang yang berlebihan harta untuk sedikit menyumbangkan untuk saudara yang membutuhkan. Ya, untuk kali ini aku mendukungmu.

Tetapi, ya Korona yang baik. Dampakmu bagi kami yang hidup di desa, serba kekurangan amat menyedihkan. Kami hari ini, memikirkan kebutuhan esok. Dan hari esok, kami memikirkan kebutuhan seminggu akan datang. Korona, rupanya kamu telah mengajarkan betapa apa yang kita miliki saat ini sangat berharga.

Korona, ketika kamu membaca surat ini, tolonglah baca dengan hati. Sumpah, atas kehadiranmu di tanah air, khususnya ada kala baik dan buruknya. Tapi, aku mohon dengan sangat segeralah hengkang dari tanah air. Izinkanlah kami kembali beraktifitas seperti biasa. Ada kehidupan yang perlu kami perjuangkan—tentang masa depan.

Sementara, inilah surat kecilku, Korona. Korona yang baik, dengarlah permintaanku!

Suci Ayu Latifah
21.04.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...