Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (5)


Senja adalah waktu yang tepat untuk mengenangmu, Mas. Namun, begitu ingatan itu berputaran aku tidak bisa menuliskan surat untukmu. Dua hari lagi adalah tanggal 26 April. Biasanya di tanggal itu kita merayakan suatu momen yang berharga. Berjemur di bawah terik matahari sambil sesekali bereksperimen membakar kertas. 

Mas Fendik terkasih, di bawah terik matahari menjadi sesuatu yang amat menyenangkan untuk manatap wajahmu, tanpa bergumam. Ada ribuan rindu yang melelah dari kepala. Pori-poriku berembun, Mas. Kau tahu, di saat seperti itu kita telah kehilangan ion-ion dalam tubuh. Dan, kita hanya mampu memanfaatkan waktu sekadar bertatapan.

Aku menyukai musim panas, ketika kita duduk di sebuah perapian. Menciumi bau jalan dengan debu-debu yang berkeliaran. Aroma itu masuk dalam penciuman kita. Seketika, kamu mengambil langkah, kemudian memetik sebuah awan. Katamu, awam adalah jiwamu. Tiada tapi berasa.  Ohh, Mas Fendik terkasih, aku masih menggenggam awan itu hingga senja di tanggal 23 April.

Menyesali waktu sesungguhnya pekerjaan orang bodoh. Hanya orang-orang bodoh yang terus menggerutu masa lalu. Padahal ia tahu, bahwa waktu tidak dapat kembali. Seperti orang hendak menunggu tibanya pukul 13.00. Tentu tidak akan datang kan. Hanya ada 1-12 pada jam dinding.

... terkasih. Senja keemasan, menyimpan gelombang rindu. Keemasannya adalah harapan untuk kembali pagi, menyusun senyuman. Aku menyukai musim panas, ketika kamu memberi senyum. Kita saling melemah di antara rumputan menghijau. Memetik awan, kemudian kamu memintaku untuk menyimpan ke dalam tas. 

Awan itu telah terkumpul. Ketika musim panas tiba, mereka saling berdialog, hendak menciptakan sebuah keajaiban perihal melepasmu.

Awan-awan itu membuat perkumpulan. Teramat berisik ketika musim panas tiba, dan sebentar kemudian mereka luruh menciptakan hujan untuk menenggelamkanmu, Mas.

Aku menyukai musim panas, dan membenci musim hujan tanpa kau bertanya, mengapa bisa.

Suci Ayu Latifah
24.02.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...