Senja adalah waktu yang
tepat untuk mengenangmu, Mas. Namun, begitu ingatan itu berputaran aku tidak
bisa menuliskan surat untukmu. Dua hari lagi adalah tanggal 26 April. Biasanya
di tanggal itu kita merayakan suatu momen yang berharga. Berjemur di bawah terik
matahari sambil sesekali bereksperimen membakar kertas.
Mas Fendik terkasih, di
bawah terik matahari menjadi sesuatu yang amat menyenangkan untuk manatap
wajahmu, tanpa bergumam. Ada ribuan rindu yang melelah dari kepala. Pori-poriku
berembun, Mas. Kau tahu, di saat seperti itu kita telah kehilangan ion-ion
dalam tubuh. Dan, kita hanya mampu memanfaatkan waktu sekadar bertatapan.
Aku menyukai musim
panas, ketika kita duduk di sebuah perapian. Menciumi bau jalan dengan
debu-debu yang berkeliaran. Aroma itu masuk dalam penciuman kita. Seketika,
kamu mengambil langkah, kemudian memetik sebuah awan. Katamu, awam adalah
jiwamu. Tiada tapi berasa. Ohh, Mas
Fendik terkasih, aku masih menggenggam awan itu hingga senja di tanggal 23
April.
Menyesali waktu sesungguhnya
pekerjaan orang bodoh. Hanya orang-orang bodoh yang terus menggerutu masa lalu.
Padahal ia tahu, bahwa waktu tidak dapat kembali. Seperti orang hendak menunggu
tibanya pukul 13.00. Tentu tidak akan datang kan. Hanya ada 1-12 pada jam
dinding.
... terkasih. Senja
keemasan, menyimpan gelombang rindu. Keemasannya adalah harapan untuk kembali
pagi, menyusun senyuman. Aku menyukai musim panas, ketika kamu memberi senyum.
Kita saling melemah di antara rumputan menghijau. Memetik awan, kemudian kamu
memintaku untuk menyimpan ke dalam tas.
Awan itu telah
terkumpul. Ketika musim panas tiba, mereka saling berdialog, hendak menciptakan
sebuah keajaiban perihal melepasmu.
Awan-awan itu membuat
perkumpulan. Teramat berisik ketika musim panas tiba, dan sebentar kemudian
mereka luruh menciptakan hujan untuk menenggelamkanmu, Mas.
Aku menyukai musim
panas, dan membenci musim hujan tanpa kau bertanya, mengapa bisa.
Suci Ayu Latifah
24.02.2020
Komentar
Posting Komentar