Langsung ke konten utama

Surat Untuk Mas Fendik (1)


Selamat pagi, siang, dan malam, Mas Fendik. Bagaimana kabarmu di sana? Semoga di tengah pandemi ini, kau tetap patuhsenantiasa bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Seketika menulis ini, hatiku sedikit gemerusuh. Akhirnya, supaya tidak lupa mengirim surat untukmu, kuputarlah sebuah lagu penyejuk hati—sebuah syair doa Abu Nawas, I’tiraf. Musik religi itu menggetarkan. Aku menyukai larik lirisnya yang beraroma religius. Pelantunnya juga menyejukkan, seorang lelaki dengan memakai baju koko dengan khas kopyah atau peci di kepalanya. Hmm, aku jadi ingat kamu, Mas.

Mas, maaf. Aku sudah lama tidak berkabar padamu. Bukan aku lupa akan dirimu. Seperti sebuah kata yang pernah kuucapkan dulu, bahwa cintaku memang abstrak, tapi ragaku konkret untukmu.

Sudah sekitar empat bulan ini, aku disibukkan untuk mengerjakan penelitian. Sudah sekitar empat bulan juga, aku terlihat kaku. Mungkin terbawa aroma tulisanku yang ilmiah, harus menggunakan bahasa baku. Terlebih, tetiba aku kembali pada tulisan esai dan opini. Rasanya, tidak saja bahasa tulisku yang terkesan kaku. Tapi, juga sikapku kepadamu. 

Maaf, supaya kau bisa memahamiku, tidak saja tahu, akan aku ceritakan tentang sesuatu yang membuatku sedikit berubah ini. Ya, tentu perihal penelitian yang sedang aku kerjakan.

Pagi hingga sore hari, aku memelototi layar monitor. Telepon genggam aku tinggal di rumah, karena aku tidak mau ketika bekerja diganggu oleh ringtone panggilan atau pesan masuk. Ya, selain untuk menjaga semangat menulis, sedikit aku mengurangi komunikasi dengan siapapun. Eitss, kok jadi ngomongin ini ya, Mas. Kembali saja ya, pada tujuan utama.

Objek penelitian yang kugunakan adalah sebuah novel menarik yang sarat dengan kekerasan. Lolong Anjing di Bulan, judulnya. Karya seorang penulis Aceh, Arafat Nur. Aku sudah bertemu dengannya langsung. Bahkan, aku sudah bersilahturahmi ke rumahnya. Dia sekarang tinggal di Ponorogo. Istrinya masih sangat muda lo Mas. Usianya sekitar 25 tahun, sedangkan dianya berusia hampir 50. Ya itulah cinta Mas, mana memandang umur ya.

Kalau saja kau ada di sini Mas, sekadar menemuiku untuk sebentar waktu saja, akan kupertemukan dengan penulis novel ini. Sayangnya, waktu telah melumpuhkanmu. Harap, smeoga akan datang waktu setelah kiamat nanti yang mampu mengembalikan dirimu. 

Novel itu terbitan Universitas Sanata Darma Yogyakarta tahun 2018 yang lalu. Awal membaca baru di bab 1, aku teramat bingung dengan gaya penceritaannya. Seakan aku sedang membaca buku sejarah yang erat dengan tanggal, insiden, dan peristiwa

Di buku itu, kalau kamu tahu Mas, aku ditodongkan sebuah ingatan tentang pelajarann sejarah dan geografi. Ada gambar peta perihal latar cerita novel itu. Hmm, aku tidak bisa membacanya. Bukan karena aku anak IPA. Tapi, alangkah menyedihkan warna tulisan itu sedikit pudar.

Hmm, Lolong Anjing di Bulan sesungguhnya sebuah novel sejarah Aceh yang telah bercerita tentang kerusuhan Aceh dengan negara kita, ya Indonesia. Kerusuhan itu berlangsung tahun 1976 dan berakhir 2005, ya sekitar 29 tahun. Di tahun itu Mas, aku belum lahir. Ibuku juga belum ada. Mungkin kamu sedikit tahu tentang insiden itu, tapi izinkanlah aku bercerita ya dari yang aku tahu setelah membaca dan menganalisis novel tersebut.

10.000 orang lebih tewas dalam kerusuhan itu, Mas. Aku tidak bisa membayangkan, mayat-mayat mereka berjatuhan di jalanan ketika terjadi penembakan, penculikan, dan penyiksanaan. Seketika, hati nuraniku berontak. Aku bisa merasakan bagaimana kondisi kejiwaan masyarakat Aceh pada saat itu. Bagaimana anak-anak yang harusnya bisa menikmati masa kecilnya, tentang orang tua yang harusnya tenang saat bekerja, dan orang tua yang damai menghabiskan masa hidupnya.

Aku beruntung Mas bisa bersekolah hingga perguruan tinggi. Banyak ilmu, pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang kudapat. Berbeda dengan anak-anak Aceh pada masa itu. kalau Tuhan mengizinkan aku bertemu dengan mereka (kemungkinan sudah berusia tua), tentu yang ada diingatannya hanyalah kekerasan dan ancaman. Mas, aku bisa merasakan bagaimana psikologinya. Ingatannya penuh dengan kenangan pahit dan memilukan. 

Jujur, seakan ketika membaca, aku terlibat langsung pada cerita. Aku duduk sebagai pengamat yang tidak bisa dilihat dan dikenali para pemberontak dan tentara pemerintah. Aku bisa berada di mana saja yang kumau. Aku bisa memaki-maki pemerintah tanpa membuat mereka marah. 

Kalau aku hidup dan ditinggal di masa itu, mungkin kenangan hidupku sama seperti tokoh Nazir, keluarganya, dan masyarakat Aceh. Untuk aku, wanita, di masa itu hanya ada dua kemungkinan nasib. Yaitu kalau tidak dinodai tentara ya mati. Kalau disuruh memilih, lebih baik aku mati daripada menyerahkan kehormatanku kepadanya. Tentu, itu akan menjadi sebuah penyesalan karena kamu belum memilikinya. 

Aceh itu daerah yang kaya raya, Mas. Tapi ironisnya rakyat miskin dan melarat. Mereka itu punya kebun dan ladang yang luas. Di sana ada tumbuhan palawija, buah-buahan, pepohonan di tanam. Namun, mereka tidak bisa menikmati hasilnya. Mereka menanam, tapi pemerintahlah yang memakan. Sungguh, di mana letak kemanusiaan orang-orang itu. Saking pintarnya ya Mas, mereka terlihat bodoh. Mereka itu lebih najis dibanding anjing sekalipun. 

Benar, gaya penceritaan yang detail, kronologis, sistematis, naratif, dan deskriptif mampu membawaku pada suasana cerita. Aku bisa begitu marah dan mengumpat seketika. Aku rasa kamu juga demikian, kalau mau membaca buku ini. Kamu akan menemukan kehidupan yang paradoks dan ironi.

Kalau aku punya daya seperti tokoh Nazir, pasti jiwa kemanusiaanku akan berontak. Bodo amat, aku tidak peduli, tentara akan menembakku, lalu menyiksaku, dan membunuh, mengambil jantungku seperti tokoh Muha. Atau seperti tokoh Yasin, yang tubuhnya diikat di belakang truk. Lalu diseret hingga dua kilometer. Hmm, kamu tahu Mas, apa yang terjadi pada Yasin. Tengkorak kepalanya terlihat, tidak ada daging di sana. Tubuhnya luka, tulang-tulangnya menonjol keluar. Ahh, sadis sekali.

Novel itu setebal 366 halaman. Selesai baca dua hari. Sebenarnya, seharipun selesai, tetapi aku benar tak kuasa membacanya langsung habis. Berbeda ketika aku membaca novel Seumpama Matahari karya Arafat juga. Novel itu selesai kubaca 4 jam. 

Untuk saat ini, aku sedang merampungkan Percikan Darah di Bunga karya Arafat. Sedikit cerita, yaitu berkisah tentang dua orang gadis Meulu dan Dhira yang masing-masing mencintai seorang lelaki. Lelaki itu adalah Ahmadun, seorang guru mengaji di kampung. Meulu adalah santri yang mencintai ustadnya. 

Meulu adalah gadis kampung yang biasa, cantik dan polos. Kulitnya sawo matang seperti Aldita, teman kerja. Sementara, Dhira adalah gadis mandiri, cantik, berjilbab yang sedang bekerja di bidang hukum. Dia bersama temannya mengurusi hukum kemanusiaan. Sebagaimana yang teralami Meulu. 
Pemerkosaan Meulu yang dilakukan oleh kelompok serdadu, Dhiralah yang mengurus. 

Cerita itu Meulu berakhir, bahwa ia kembali di perkosa tentara dan kemudian dibunuh. Ia dan Ibunya tewas secara bersamaan. Demikian pula, cerita Dhira berakhir saat benih-benih cintanya tumbuh, dia di sergap oleh tawanan tentara. Apa yang dilakukan tentara kepada gadis itu tidak begitu terceritakan. Dhira tewas di jalan usai jalan-jalan dengan Ahmadun.

Percikan darah di bunga adalah kisah cinta atas bintik-bintik darah yang tertoreh pada bunga. Dua gadis itu mencintai bunga. Darah di bunga adalah darah suci cinta Dhira kepada Ahmadun.
Hmm, selebihnya seperti itu Mas ceritanya. Lengkapnya, bolehlah baca sendiri. Aku punya kok novel itu.
Di novel Lolong Anjing di Bulan, Mas, ada Nazir. Dialah tokoh episentrum cerita. Dia berkuasa—bercerita tentang keluarganYa, kegiatan sehari-harinya, kejiwaannya, kisah asmaranya dengan Zulaiha, dan insiden-indisen yang dia alami. 

Nazir ini, Mas saat perang terjadi masih anak-anak. Dia duduk di bangku SD. Namun jangan salah, anak sedini itu sudah dibebani tanggung jawab yang berat. Setiap hari, ada tugas wajib untuk mengambil air di alur untuk memasak dan minum, tugas membantu Nenek-Kakeknya di kebun dekat rumah, membantu Ayahnya di ladang, belum lagi tugas sekolah. 

Aku salut, dia mampu melaksanakan. Dia sangat pemberani. Kalau dia ada di kehidupan nyata, aku ingin bertemunya. Aku akan berpesan padanya untuk senantiasa berbakti pada kedua orang tua dan negara. Aku juga akan bertitip pesan supaya kalau bertemu pemerintah mengingatkan kalau orang-orang di kampungnya telah banyak membantu negara. Pesawat, bongkahan emas, dan beberapa uang demi kemajuan Indonesia. Kalau mereka tidak berkutik, tembak saja. Hahaha.

Aku jadi ingat, kemarin itu ada siaran di televisi bahwa salah satu orang Aceh yang turut menyumbang pesawat pertama untuk Indonesia menemui presiden kita. Nyak Sandang bersama putra ketujuhnya datang ke Istana, beliau menunjukkan salah satu penghargaan, dan mengajukan beberapa permintaan. Yaitu keinginan naik haji, penyembuhan katarak, dan pembangunan masjid di kampungnya. Alhamdulillah, pertemuan itu berbuah baik, Mas. Presiden kita memenuhi permintaannya.

Mas, tentang cerita ini merupakan sejarah Aceh yang benar terjadi. Namun, karena novel bersifat fiksi tentu ada ruang-ruang imaji pengarang di dalamnya. Mas tahu, Mas itu seumpama karya sastra. Lahir dari khayalan dan imajinasiku. Mas adalah keindahan dalam cerita hidupku. Terima kasih sudah hadir, meski aku tahu surat-suratku tidak akan kamu balas.

Oh iya, aku amat produktif seketika mengerjakan penelitian ini. Selain mampu menganalisis hingga 300 halaman, aku juga telah membuat tiga esai sastra. Satu di antaranya termuat media. Judulnya, Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Dua esai lainnya, berjudul Aku Malu Jadi Manusia dan Novel dan Sejarah Kekerasan.

Mas, selamat istrahat ya. Sementara, itu yang bisa aku jelaskan tentang perubahanku. Kamu tidak perlu takut tentang cintaku yang abstrak. Dan, kamu tidak perlu memikirkan bagaimana membalas surat ini. Aku tahu, kaupun abstrak, sebenarnya.

Salamku, kamu adalah karya sastra, yang indah dan hidup dalam tulisanku.

Suci Ayu Latifah
14.04.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...