Selamat
pagi, siang, dan malam, Mas Fendik. Bagaimana kabarmu di sana? Semoga di tengah
pandemi ini, kau tetap patuh—senantiasa
bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
Seketika
menulis ini, hatiku sedikit gemerusuh.
Akhirnya, supaya tidak lupa mengirim surat untukmu, kuputarlah sebuah lagu
penyejuk hati—sebuah syair doa Abu Nawas, I’tiraf. Musik religi itu
menggetarkan. Aku menyukai larik lirisnya yang beraroma religius. Pelantunnya
juga menyejukkan, seorang lelaki dengan memakai baju koko dengan khas kopyah
atau peci di kepalanya. Hmm, aku jadi ingat kamu, Mas.
Mas,
maaf. Aku sudah lama tidak berkabar padamu. Bukan aku lupa akan dirimu. Seperti
sebuah kata yang pernah kuucapkan dulu, bahwa cintaku memang abstrak, tapi
ragaku konkret untukmu.
Sudah
sekitar empat bulan ini, aku disibukkan untuk mengerjakan penelitian. Sudah sekitar empat bulan juga, aku terlihat kaku.
Mungkin terbawa aroma tulisanku yang ilmiah, harus menggunakan bahasa baku. Terlebih,
tetiba aku kembali pada tulisan esai dan opini. Rasanya, tidak saja bahasa
tulisku yang terkesan kaku. Tapi, juga sikapku kepadamu.
Maaf,
supaya kau bisa memahamiku, tidak saja tahu, akan aku ceritakan tentang sesuatu
yang membuatku sedikit berubah ini. Ya, tentu perihal penelitian yang sedang
aku kerjakan.
Pagi
hingga sore hari, aku memelototi layar monitor. Telepon genggam aku tinggal di
rumah, karena aku tidak mau ketika bekerja diganggu oleh ringtone panggilan
atau pesan masuk. Ya, selain untuk menjaga semangat menulis, sedikit aku
mengurangi komunikasi dengan siapapun. Eitss, kok jadi ngomongin ini ya, Mas.
Kembali saja ya, pada tujuan utama.
Objek
penelitian yang kugunakan adalah
sebuah novel menarik yang sarat dengan kekerasan. Lolong Anjing di Bulan, judulnya.
Karya seorang penulis Aceh, Arafat Nur. Aku
sudah bertemu dengannya langsung. Bahkan, aku sudah bersilahturahmi ke
rumahnya. Dia sekarang tinggal di Ponorogo. Istrinya masih sangat muda lo Mas.
Usianya sekitar 25 tahun, sedangkan dianya berusia hampir 50. Ya itulah cinta
Mas, mana memandang umur ya.
Kalau
saja kau ada di sini Mas,
sekadar menemuiku untuk sebentar waktu saja, akan kupertemukan dengan penulis novel ini. Sayangnya, waktu
telah melumpuhkanmu. Harap, smeoga akan datang waktu setelah kiamat nanti yang
mampu mengembalikan dirimu.
Novel
itu terbitan Universitas Sanata Darma Yogyakarta tahun 2018 yang lalu. Awal membaca baru di bab
1, aku teramat bingung
dengan gaya penceritaannya. Seakan aku sedang membaca buku sejarah yang erat
dengan tanggal, insiden, dan peristiwa.
Di
buku itu, kalau kamu tahu Mas,
aku ditodongkan sebuah ingatan tentang pelajarann
sejarah dan geografi. Ada gambar peta perihal latar
cerita novel itu. Hmm, aku tidak bisa membacanya. Bukan karena aku anak IPA.
Tapi, alangkah menyedihkan warna tulisan itu sedikit pudar.
Hmm,
Lolong Anjing di Bulan sesungguhnya sebuah novel sejarah Aceh yang telah
bercerita tentang kerusuhan Aceh dengan negara kita, ya Indonesia. Kerusuhan
itu berlangsung tahun 1976 dan berakhir 2005, ya sekitar 29 tahun. Di tahun itu Mas, aku belum lahir. Ibuku
juga belum ada. Mungkin kamu sedikit tahu tentang insiden itu, tapi izinkanlah
aku bercerita ya dari yang aku tahu setelah membaca dan menganalisis novel
tersebut.
10.000
orang lebih tewas dalam kerusuhan itu,
Mas. Aku tidak
bisa membayangkan, mayat-mayat mereka berjatuhan di jalanan ketika terjadi
penembakan, penculikan, dan penyiksanaan. Seketika, hati nuraniku berontak. Aku bisa
merasakan bagaimana kondisi kejiwaan
masyarakat Aceh pada saat itu. Bagaimana anak-anak yang harusnya bisa menikmati masa kecilnya, tentang orang
tua yang harusnya tenang saat bekerja, dan orang tua yang damai menghabiskan
masa hidupnya.
Aku
beruntung Mas bisa bersekolah hingga perguruan tinggi. Banyak ilmu,
pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang kudapat. Berbeda dengan anak-anak
Aceh pada masa itu. kalau Tuhan mengizinkan aku bertemu dengan mereka
(kemungkinan sudah berusia tua), tentu yang ada diingatannya hanyalah kekerasan
dan ancaman. Mas, aku bisa merasakan bagaimana psikologinya. Ingatannya penuh
dengan kenangan pahit dan memilukan.
Jujur,
seakan ketika membaca, aku terlibat langsung pada cerita. Aku duduk sebagai
pengamat yang tidak bisa dilihat dan dikenali para pemberontak dan tentara
pemerintah. Aku bisa berada di mana saja yang kumau. Aku bisa memaki-maki
pemerintah tanpa membuat mereka marah.
Kalau
aku hidup dan ditinggal di masa itu, mungkin kenangan hidupku sama seperti
tokoh Nazir, keluarganya, dan masyarakat Aceh. Untuk aku, wanita, di masa itu
hanya ada dua kemungkinan nasib. Yaitu kalau tidak dinodai tentara ya mati.
Kalau disuruh memilih, lebih baik aku mati daripada menyerahkan kehormatanku
kepadanya. Tentu, itu akan menjadi sebuah penyesalan karena kamu belum
memilikinya.
Aceh
itu daerah yang kaya raya, Mas. Tapi ironisnya rakyat miskin dan melarat. Mereka
itu punya kebun dan ladang yang luas. Di sana ada tumbuhan palawija,
buah-buahan, pepohonan di tanam. Namun, mereka tidak bisa menikmati hasilnya.
Mereka menanam, tapi pemerintahlah yang memakan. Sungguh, di mana letak
kemanusiaan orang-orang itu. Saking pintarnya ya Mas, mereka terlihat bodoh.
Mereka itu lebih najis dibanding anjing sekalipun.
Benar,
gaya penceritaan yang detail, kronologis, sistematis, naratif, dan deskriptif
mampu membawaku pada suasana cerita. Aku bisa begitu marah dan mengumpat seketika.
Aku rasa kamu juga demikian, kalau mau membaca buku ini. Kamu akan menemukan
kehidupan yang paradoks dan ironi.
Kalau
aku punya daya seperti tokoh Nazir, pasti jiwa
kemanusiaanku akan berontak. Bodo amat, aku tidak peduli, tentara akan
menembakku, lalu menyiksaku, dan membunuh, mengambil jantungku seperti tokoh
Muha. Atau seperti tokoh Yasin, yang tubuhnya diikat di belakang truk. Lalu
diseret hingga dua kilometer. Hmm, kamu tahu Mas, apa yang terjadi pada Yasin.
Tengkorak kepalanya terlihat, tidak ada daging di sana. Tubuhnya luka,
tulang-tulangnya menonjol keluar. Ahh, sadis sekali.
Novel
itu setebal 366 halaman. Selesai baca dua hari. Sebenarnya, seharipun selesai,
tetapi aku benar tak kuasa membacanya langsung habis. Berbeda ketika aku
membaca novel Seumpama Matahari karya
Arafat juga. Novel itu selesai kubaca 4 jam.
Untuk saat ini, aku sedang
merampungkan Percikan Darah di Bunga karya
Arafat. Sedikit cerita, yaitu berkisah tentang dua orang gadis Meulu dan Dhira yang masing-masing mencintai seorang lelaki. Lelaki itu adalah Ahmadun, seorang guru mengaji di kampung. Meulu adalah santri yang mencintai ustadnya.
Meulu adalah gadis kampung yang biasa, cantik dan polos. Kulitnya sawo matang seperti Aldita, teman kerja. Sementara, Dhira adalah gadis mandiri, cantik, berjilbab yang sedang bekerja di bidang hukum. Dia bersama temannya mengurusi hukum kemanusiaan. Sebagaimana yang teralami Meulu.
Pemerkosaan Meulu yang dilakukan oleh kelompok serdadu, Dhiralah yang mengurus.
Cerita itu Meulu berakhir, bahwa ia kembali di perkosa tentara dan kemudian dibunuh. Ia dan Ibunya tewas secara bersamaan. Demikian pula, cerita Dhira berakhir saat benih-benih cintanya tumbuh, dia di sergap oleh tawanan tentara. Apa yang dilakukan tentara kepada gadis itu tidak begitu terceritakan. Dhira tewas di jalan usai jalan-jalan dengan Ahmadun.
Percikan darah di bunga adalah kisah cinta atas bintik-bintik darah yang tertoreh pada bunga. Dua gadis itu mencintai bunga. Darah di bunga adalah darah suci cinta Dhira kepada Ahmadun.
Hmm, selebihnya seperti itu Mas ceritanya. Lengkapnya, bolehlah baca sendiri. Aku punya kok novel itu.
Di
novel Lolong Anjing di Bulan, Mas, ada
Nazir. Dialah tokoh episentrum
cerita. Dia berkuasa—bercerita tentang keluarganYa, kegiatan sehari-harinya, kejiwaannya,
kisah asmaranya dengan Zulaiha, dan insiden-indisen yang dia alami.
Nazir
ini, Mas saat perang terjadi
masih anak-anak. Dia duduk di bangku SD. Namun jangan salah, anak sedini itu
sudah dibebani tanggung jawab yang berat. Setiap hari, ada tugas wajib untuk
mengambil air di alur untuk memasak dan minum, tugas membantu Nenek-Kakeknya di
kebun dekat rumah, membantu Ayahnya di ladang, belum lagi tugas sekolah.
Aku
salut, dia mampu melaksanakan. Dia sangat
pemberani. Kalau dia ada di kehidupan nyata, aku ingin bertemunya. Aku
akan berpesan padanya untuk senantiasa
berbakti pada kedua orang tua dan negara. Aku juga akan bertitip pesan supaya
kalau bertemu pemerintah mengingatkan kalau orang-orang di kampungnya telah
banyak membantu negara. Pesawat, bongkahan emas, dan beberapa uang demi
kemajuan Indonesia. Kalau mereka tidak
berkutik, tembak saja. Hahaha.
Aku
jadi ingat, kemarin itu ada siaran di televisi bahwa salah satu orang Aceh yang
turut menyumbang pesawat pertama untuk Indonesia menemui presiden kita. Nyak
Sandang bersama putra ketujuhnya datang ke Istana, beliau menunjukkan salah
satu penghargaan, dan mengajukan beberapa permintaan. Yaitu keinginan naik
haji, penyembuhan katarak, dan pembangunan masjid di kampungnya. Alhamdulillah,
pertemuan itu berbuah baik, Mas. Presiden kita memenuhi permintaannya.
Mas,
tentang cerita ini merupakan sejarah Aceh yang benar terjadi. Namun, karena
novel bersifat fiksi tentu ada ruang-ruang imaji pengarang di dalamnya. Mas
tahu, Mas itu seumpama karya sastra. Lahir dari khayalan dan imajinasiku. Mas
adalah keindahan dalam cerita hidupku. Terima kasih sudah hadir, meski aku tahu
surat-suratku tidak akan kamu balas.
Oh
iya, aku amat produktif seketika mengerjakan penelitian ini. Selain mampu
menganalisis hingga 300 halaman, aku juga telah membuat tiga esai sastra. Satu
di antaranya termuat media. Judulnya, Novel,
Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Dua esai lainnya, berjudul Aku Malu Jadi Manusia dan Novel dan Sejarah Kekerasan.
Mas,
selamat istrahat ya. Sementara, itu yang bisa aku jelaskan tentang perubahanku.
Kamu tidak perlu takut tentang cintaku yang abstrak. Dan, kamu tidak perlu
memikirkan bagaimana membalas surat ini. Aku tahu, kaupun abstrak, sebenarnya.
Salamku,
kamu adalah karya sastra, yang indah dan hidup dalam tulisanku.
Suci
Ayu Latifah
14.04.2020
Komentar
Posting Komentar