CATATAN:
Sebelum membaca, minumlah segelas
air terlebih dahulu. Kemudian, atur napas. Bacalah dengan santai. Jangan emosi.
Kalau kamu hanyut, maaf seribu maaf untuk tulisan kali ini.
*
Mas Fendik berkoko. Aku
baru saja membuat sambal pecel sebagai menu sahur. Maaf ya kalau surat malam
ini beraroma sambal pedas-manis, bercampur masam keringat. Hehehe.
Saat ini, lintasan di
otak cukup tenang. Satu per satu telah larut. Namun, gejolak diri belum bisa
dibilang tenang. Ada seseorang yang membuat marah, tapi tidak mungkin aku
memarahinya. Ada pula, seseorang yang teramat menjengkelkan, tapi ya bagaimana
lagi. Senyumin saja.
Untuk seorang gadis,
pukul 22.30 bisa dibilang malam. Untuk aku itu mah masih sore. Begadang menjadi
rutinitas yang menyenangkan. Sembari menikmati aroma kesepian kuisi dengan
berbagai kegiatan yang produktif dan kadang malas-malas. Kalau hati lagi baik,
aku isi dengan membaca atau menulis.
Malam, aku sering
menghitungi suara tokek di pohon mangga di depan rumah. Malam pula, aku
menunggu suara kokok ayam tetangga, jika sudah terdengar maka jam hampir dini
hari. Ayam itu, sering mengeluarkan kaingan. Suaranya memikik malam, seolah
membelah kegelapan.
Aku tidak sendirian
menghabiskan waktu malam. Ada dua teman yang juga suka begadang. Kami biasa berdiskusi
tentang suatu hal; atau sekadar bercerita, ataupun menonton film bersama. Tak
jarang pula, kami membahas agenda esok hari. Ya, sebuah rutinitas anak rumahan
yang terkadang amat menjenuhkan. Aku rindu suasana luar rumah yang akrab dengan
dekadensi moral, meski kadang sakit melihatnya. Ya, cari anginlah. Ambil
positifnya saja. Apa? Ya ada deh pokoknya, hiburan. Begitu.
Mas Fendik, malam ini
di luar amat sepi. Ahh, sebab pandemi di perumahan jarang ada suara motor
lewat. Tidak pun pandemi, orang-orang keluar rumah hanya untuk bekerja,
belanja, ke masjid, atau sekadar ke rumah tetangga, itu pun jarang sekali
kujumpai.
Malam sedikit
panas-dingin, Mas, aku baru saja membaca buku Jurnalisme
Sastrawi. Sebuah buku menarik yang diterbitkan Yayasan Pantau tahun 2005.
Buku itu rekomendasi dari salah satu temanku menulis yang tinggal di Sumenep.
Aku senang berteman dengannya. Kebetulan kami memiliki kesukaan sama, yaitu
menulis. Dan, yang mengejutkan teman lelakiku itu adalah mantan wartawan.
Sekali, kami pernah
bertemu dan bertatap muka. Dia tinggal di rumah sini sekitar tiga atau empat
hari. Di sela-sela rutinitas rumah dan giat pribadi, kami sering melakukan
diskusi. Berbagi pengalaman tentang menulis, membaca buku bersama, kemudian
mendiskusikan buku. Kami juga bercerita tentang pengalaman kuliah. Saat ini,
dia sedang menyelesaikan kuliahnya s-2 dan kehidupan pondoknya, sekaligus kerja
di sebuah media online konservasi.
Penyair, bisa kubilang
dia penyair muda. Ya suka membaca dan menulis puisi. Sering ikut kajian puisi
pula. Setelah pertemuan itu, kutemukan hobi penggila pada lawan jenis. Kalau
Seno punya Alina, dia punya Sri, dan aku punya kamu, Mas. Kami hobi mengirim
surat kepada sosok idola.
Sosok yang tidak kami kenali. Sosok itu teramat
abstrak, sehingga kami bisa berimajinasi liar tentang sosok itu. Kami sering
berpuisi dengan liris yang manis. Kami memberi nyawa di setiap kata. Sebuah
kata yang mengantarkan kami pada ruang yang tidak ada ujungnya. Kami suka
bermain-main di sana.
Ehh, kok aku jadi bercerita
tentang hobi gila ini Mas. Maaf, kembali pada buku saja ya. Sebelumnya, aku
hendak mengabarkan kalau penelitianku sudah selesai. Kira-kira ada sekitar
400-an halaman. Alhamdulillah, aku amanah.
Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan
Memikat. Di dalam buku itu ada
delapan judul tulisan, sekaligus delapan penulis dari beberapa wartawan di
Indonesia. Ada Chik Rini, Agus Sopian, Linda Christanty, Coen Husain Pontoh,
Alfian Hamzah, Eriyanto, Budi Setiyono, dan Andreas Harsono.
Mas tahu, mereka
orang-orang hebat pada bidangnya. Sebagaimana pekerjaannya mencari, memburu,
meliput, dan mengabarkan sesuatu pada khalayak umum. Aku baru ngeh kehidupan
wartawan dari buku ini. Tantangannya adalah masyarakat. Kalau wartawan
memberitakan sesuatu yang kurang tepat atau sampai menyinggung seseorang, hmm
tamatlah riwayatnya. Mereka bisa dicabut dari profesinya atau nyawanya menjadi
buronan.
Chik Rini adalah dua
dari wartawan berjenis perempuan di buku itu. Dia seorang wartawan harian Analisa, Medan. Dalam buku setebal 362
halaman, ia menuliskan tentang peritiwa
Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1976-2005. Ia memotret pada peristiwa di
Simpang Kraft. Chik Rini memotret Aceh dari para saksi mata di kejadian itu. Ia
mewawancarai sesepuh lingkungan, masyarakat, anak-anak, juga beberapa orang
yang dia temui.
Ketertarikan Rini untuk
menguak tentang Aceh, bermula dari naskah Hirosima
karya John Hersey. Kemudian, dia berpikir keras isu apa yang dapat
dituangkan ke dalam karya yang serupa. Terpikirlah, untuk menggali sebuah
pembunuhan tragis, sadis, dan miris di Aceh. Tepatnya di sebuah Simpang Kraft
atau dikenal dengan Simpang KKA. Kalau dicari di internet yang muncul
penyebutan terakhir.
Peristiwa Simpang Kraft
itu, diberilah judul Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft. Mengapa kegilaan? Di situ aku menyimpulkan karena banyak
fenomena sosial yang paradoks, ironi, dan beraroma kekerasan yang amat sangat
memilukan.
Aku terhanyut, menyukai
caranya bercerita. Bahasanya yang sederhana, lugas, komunikatif, dan deskriptif
berhasil membuat telaga jebol. Bukan karena kejadian itu diceritakan dengan detail,
tetapi ia mampu bercerita dengan menyentuh hati nurani pembaca. Tentang
perjuangan wartawan mencari dan meliput berita, kekerasan yang diterima
kelompok Gerakan Acheh, massa, dan masyarakat, serta nilai-nilai kehidupan:
kasih sayang, kerja sama, peduli sosial, bersahabat, dan masih banyak lainnya.
Penembakan dan
pembunuhan, peristiwa 3 Mei 1999 berhasil dituliskan berbasis data dan waktu.
Diulas hingga 45 halaman banyak hal yang kudapat. Dari sudut pandang wartawan.
Bagaimana meliput berita di Simpang Kraft bukanlah suatu tempat yang
menyenangkan dan menghibur. Justru, wartawan yang ke sana sama halnya mencari
mati.
Kerusuhan tidak bisa
disibak membuat nyali naik turun. Butuh trik jitu supaya selamat. Sebagaimana
keempat wartawan dari RCTI dan Azhari, wartawan dari media Antara, Medan. Mundur
dengan cepat, maju dengan tepat. Wartawan seperti masuk di kawasan pabrik
sirup. Di jalan itu, sirup-sirup tumpah. Rasanya bukan seperti sirup marjan,
sarang sari, kurnia, tjampolay, ABC, atau lainnya. Melainkan sirup manusia.
Wartawan Mas, membawa
kebenaran dalam hal pemberitaan. Kalau salah mengeluarkan berita mereka
berhadapan dengan masyarakat. Perihal kebenaran, aku mampu membaca dari keempat
wartawan yang ditugasi dari stasiun televisi RCTI. Mereka adalah Imam, Fipin,
Ali, dan Umar. Keempat wartawan itu adalah lelaki pemberani, tangguh, dan
cerdas. Salah satu di antaranya, termasuk Imam pernah meliput kejadian
kerusuhan di Timor-Timor. Kejadian di sana tidak kalah gila dengan di Simpang
Kraft.
Mereka sempat
bermasalah dengan masyarakat Mas. Hal itu terjadi karena masyarakat menganggap
bahwa mereka telah mengeluarkan pemberitaan yang salah terkait jumlah korban di
peristiwa itu. Dengan tegas dan tenang, Imam pun menjelaskan pada pria yang
mengenakan taliban. Bahwa ia mendapati data secara langsung mendatangi rumah
sakit yang dijadikan rujukan korban. Para wartawan mengambil data dengan
hati-hati, begitu pula ketika menulis. Sampai-sampai Imam mengamali trauma
akut. Ia mengaku sering diikuti oleh bayang-bayang korban peluru menyasar dan
tangis anak-anak kecil minta tolong. Ia ingat betul, saat menemukan korban anak
kecil yang kakinya bolong, anak itu adalah bocah yang memberikan air minum kepadanya.
Tentang laki-laki yang
protes di rumah sakit Cut Mutia tadi, Mas disebut-sebutlah teungku. Dalam bahasa Indonesia adalah guru mengaji, ahli agama,
ustad. Beruntunglah, kesalahpaham itu segera usai. Wartawan selalu memegang
erat kode etik jurnalis, kebenaran itu utama. Mengeluarkan berita bohong sama
artinya mencari masalah. Kalau sudah begitu terimalah risikonya.
Namun, pada zaman Orde
Baru, kebenaran berita itu dikesampingkan. Semua informasi diatur oleh
pemerintah. Wartawan menerima press
release dari pemerintah. Hal itu dirasakan benar oleh wartawan Seno. Kala
itu ia diminta untuk meliput di Timor-Timor. Ia adalah wartawan senior, salah
satu tabloid ibukota, Jakarta Jakarta (JJ).
Orde Baru yang berkuasa
pemerintah, semuanya. Hingga pada kebenaran berita yang ditulis Seno atas dasar
press releasi, wawancara dari saksi
mata, dan melihat langsung kejadian membuatnya kehilangan pekerjaan. Ia dihukum
dengan dikeluarkan dari wartawan. Sebab itulah, ia membuat beberapa buku
sebagai katarsis atas ketidakadilan dan kedudukan kebenaran bagi mata dunia.
Perihal berita
tersebut, adalah dari stasiun TVRI bukan RCTI. Keempat wartawan senior itu
tidak mungkin melakukan kebohongan, Mas. Jika memang bermaksud demikian, untuk
apa mereka berususah payah, berkorban terjun langsung ke lapangan melihat
korban-korban penembakan; seorang anak yang telinganya bolong sebelah dan
kepalanya pecah terisi air; laki-laki berlimpahan darah; masyarakat kehilangan
anggota tubuhnya; seseorang anak kecil yang otaknya berhamburan di jalan; para
perempuan yang mati terlindas militer dan merintih kesakitan karena terkena
peluru menyasar; seorang gadis perempuan di sebuah rumah yang tertembak karena
salah sasaran; melihat mayat berserakan di jalan dan rumah sakit Cut Mutia; melihat dan merekam seseorang yang
sakaratul maut, dan masih banyak lagi, Mas.
Ngeri, sungguh ngeri
rasanya. Kejadian itu serupa peristiwa di Santa Cruz. Sebuah pemakaman orang
kristen di Timor-Timor. Di sana Mas, juga terjadi rentetan tembakan dari
militer Indonesia terhadap demonstran. Sudah pasti, banyak korban yang
berjatuhan. Tentang peristiwa Santa Cruz aku membaca dari buku Seno Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus
Bicara, kumpulan cerpen Saksi Mata,
dan trilogi novel fenomenal Jazz, Parfum,
dan Insiden.
Kemudian, ada lagi
pelajaran paradoks dan ironi yang kutemui. Bahwa di tengah kegilaan peristiwa
Simpang Mawak ada sebuah fenomena ironi. Rini menuliskan seorang wartawan Imam
bertemu dengan lelaki yang memakai celana berwarna putih. Celana itu penuh
dengan darah. Tubuhnya yang kurus seakan tak kuat menopang badannya yang lemah.
Lelaki itu memerosotkan diri di pinggir jalan. Tepatnya di sebuah pintu depan
toko. Imam trenyuh melihat lelaki itu.
Imam mendekati, hendak
menolong lelaki itu kemudian menggendongnya di mobil ambulans. Namun apa yang
terjadi, Mas. Ternyata lelaki itu pura-pura. Warna merah di celananya bukanlah
darah, entah apa, pewarna bisa saja kan. Gila. Sungguh gila lelaki itu.
Lebih gila lagi, begitu
Imam hendak berteriak ada sekitar sepuluh orang lain berlarian mengikuti lelaki
somplak itu. mereka bersengkongkol memperkeruh situasi. Ternyata, ada sebagian
dari mereka melakukan aksi dengan melumuri badannya dengan darah para korban
tembak. Begitu ada seseorang yang menolongnya, dengan sigap orang itu akan
membunuh orang itu.
Gila. Mereka sinting,
tidak waras. Di tengah rintihan orang dan mayat bertumpuk juga muncul sebuah
keparadoksan lagi. Puluhan mayat ditumpuk di pinggir jalan. Di antara tumpukan
itu ada seorang anak kecil dengan keadaan mengenaskan, berlumuran darah,
tubuhnya tidak menyatu dan kepalanya pecah, Mas. Siapa yang tahu, tiba anak
kecil itu didekati adalah bukanlah manusia. Akan tetapi, boneka yang
didramatisasi seperti manusia. Sungguh, mungkin inilah kegilaan yang Rini
maksudkan Mas.
Ahh, ngeri. Fenomena
Orde Baru sungguh menyedihkan. Peristiwa di tanah air silih berganti. Semua
beraroma kekerasan. Semoga tidak ada pertemuan di tahun itu, Mas. Aku tidak
ingin.
Hufftt, mengulas tulisan Chik Rini membuat kepalaku pusing.
Aku teramat dalam masuk ke dalam tulisan itu. Hingga rasa mual pun menjalar.
Tidak. Kuhentikan saja tentang kisah ini, Mas. Kalau Mas ingin membaca, bisa
mencari buku langka itu di beberapa toko buku besar. di toko buku kecil jarang
ada. Karena buku itu tidak diterbitkan lagi. Atau bisa membaca versi online.
Ada seseorang yang mengetik ulang tulisan itu dan diposting di blognya.
Tentang buku itu, ada
juga tulisan lain yang berkisah tentang Aceh. Adalah Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan, tulisan Alfian Hamzah. Judul itu juga termasuk dari
rekomendasi dari temanku, Hamimi. Semoga, tulisan Alfian tidak semengerikan dan
gila dari Rini. Sekilas sih aku membaca tipis-tipis. Semogalah lebih santai dan
tidak menguras pikiran dan emosi.
Eeh, Mas, kusudahi dulu
ya suratku kali ini. Kembali, pikiranku terasa terkuras seperti habis bekerja.
Rasanya tubuhku ikut sakit begitu menyeritakan peristiwa Simpang Karft. Kali
lain, aku akan bercerita tentang keseharianku dalam tulisan santai ini. Maaf,
jika tulisanku berpengaruh terhadapmu.
Sehat selalu terkasih. Jangan lupa
bahagia ya!
Salam dari seseorang
yang mencintamu dari jauh!
Suci Ayu Latifah
24.04.2020 23:41WIB
Komentar
Posting Komentar