Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (6)


CATATAN:
Sebelum membaca, minumlah segelas air terlebih dahulu. Kemudian, atur napas. Bacalah dengan santai. Jangan emosi. Kalau kamu hanyut, maaf seribu maaf untuk tulisan kali ini.
*
Mas Fendik berkoko. Aku baru saja membuat sambal pecel sebagai menu sahur. Maaf ya kalau surat malam ini beraroma sambal pedas-manis, bercampur masam keringat. Hehehe. 

Saat ini, lintasan di otak cukup tenang. Satu per satu telah larut. Namun, gejolak diri belum bisa dibilang tenang. Ada seseorang yang membuat marah, tapi tidak mungkin aku memarahinya. Ada pula, seseorang yang teramat menjengkelkan, tapi ya bagaimana lagi. Senyumin saja.

Untuk seorang gadis, pukul 22.30 bisa dibilang malam. Untuk aku itu mah masih sore. Begadang menjadi rutinitas yang menyenangkan. Sembari menikmati aroma kesepian kuisi dengan berbagai kegiatan yang produktif dan kadang malas-malas. Kalau hati lagi baik, aku isi dengan membaca atau menulis.

Malam, aku sering menghitungi suara tokek di pohon mangga di depan rumah. Malam pula, aku menunggu suara kokok ayam tetangga, jika sudah terdengar maka jam hampir dini hari. Ayam itu, sering mengeluarkan kaingan. Suaranya memikik malam, seolah membelah kegelapan.

Aku tidak sendirian menghabiskan waktu malam. Ada dua teman yang juga suka begadang. Kami biasa berdiskusi tentang suatu hal; atau sekadar bercerita, ataupun menonton film bersama. Tak jarang pula, kami membahas agenda esok hari. Ya, sebuah rutinitas anak rumahan yang terkadang amat menjenuhkan. Aku rindu suasana luar rumah yang akrab dengan dekadensi moral, meski kadang sakit melihatnya. Ya, cari anginlah. Ambil positifnya saja. Apa? Ya ada deh pokoknya, hiburan. Begitu.

Mas Fendik, malam ini di luar amat sepi. Ahh, sebab pandemi di perumahan jarang ada suara motor lewat. Tidak pun pandemi, orang-orang keluar rumah hanya untuk bekerja, belanja, ke masjid, atau sekadar ke rumah tetangga, itu pun jarang sekali kujumpai.

Malam sedikit panas-dingin, Mas, aku baru saja membaca buku  Jurnalisme Sastrawi. Sebuah buku menarik yang diterbitkan Yayasan Pantau tahun 2005. Buku itu rekomendasi dari salah satu temanku menulis yang tinggal di Sumenep. Aku senang berteman dengannya. Kebetulan kami memiliki kesukaan sama, yaitu menulis. Dan, yang mengejutkan teman lelakiku itu adalah mantan wartawan. 

Sekali, kami pernah bertemu dan bertatap muka. Dia tinggal di rumah sini sekitar tiga atau empat hari. Di sela-sela rutinitas rumah dan giat pribadi, kami sering melakukan diskusi. Berbagi pengalaman tentang menulis, membaca buku bersama, kemudian mendiskusikan buku. Kami juga bercerita tentang pengalaman kuliah. Saat ini, dia sedang menyelesaikan kuliahnya s-2 dan kehidupan pondoknya, sekaligus kerja di sebuah media online konservasi.

Penyair, bisa kubilang dia penyair muda. Ya suka membaca dan menulis puisi. Sering ikut kajian puisi pula. Setelah pertemuan itu, kutemukan hobi penggila pada lawan jenis. Kalau Seno punya Alina, dia punya Sri, dan aku punya kamu, Mas. Kami hobi mengirim surat kepada sosok idola. 

Sosok yang tidak kami kenali. Sosok itu teramat abstrak, sehingga kami bisa berimajinasi liar tentang sosok itu. Kami sering berpuisi dengan liris yang manis. Kami memberi nyawa di setiap kata. Sebuah kata yang mengantarkan kami pada ruang yang tidak ada ujungnya. Kami suka bermain-main di sana.
Ehh, kok aku jadi bercerita tentang hobi gila ini Mas. Maaf, kembali pada buku saja ya. Sebelumnya, aku hendak mengabarkan kalau penelitianku sudah selesai. Kira-kira ada sekitar 400-an halaman. Alhamdulillah, aku amanah. 

Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Di dalam buku itu ada delapan judul tulisan, sekaligus delapan penulis dari beberapa wartawan di Indonesia. Ada Chik Rini, Agus Sopian, Linda Christanty, Coen Husain Pontoh, Alfian Hamzah, Eriyanto, Budi Setiyono, dan Andreas Harsono. 

Mas tahu, mereka orang-orang hebat pada bidangnya. Sebagaimana pekerjaannya mencari, memburu, meliput, dan mengabarkan sesuatu pada khalayak umum. Aku baru ngeh kehidupan wartawan dari buku ini. Tantangannya adalah masyarakat. Kalau wartawan memberitakan sesuatu yang kurang tepat atau sampai menyinggung seseorang, hmm tamatlah riwayatnya. Mereka bisa dicabut dari profesinya atau nyawanya menjadi buronan.

Chik Rini adalah dua dari wartawan berjenis perempuan di buku itu. Dia seorang wartawan harian Analisa, Medan. Dalam buku setebal 362 halaman,  ia menuliskan tentang peritiwa Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1976-2005. Ia memotret pada peristiwa di Simpang Kraft. Chik Rini memotret Aceh dari para saksi mata di kejadian itu. Ia mewawancarai sesepuh lingkungan, masyarakat, anak-anak, juga beberapa orang yang dia temui. 

Ketertarikan Rini untuk menguak tentang Aceh, bermula dari naskah Hirosima karya John Hersey. Kemudian, dia berpikir keras isu apa yang dapat dituangkan ke dalam karya yang serupa. Terpikirlah, untuk menggali sebuah pembunuhan tragis, sadis, dan miris di Aceh. Tepatnya di sebuah Simpang Kraft atau dikenal dengan Simpang KKA. Kalau dicari di internet yang muncul penyebutan terakhir.
Peristiwa Simpang Kraft itu, diberilah judul Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft. Mengapa kegilaan? Di situ aku menyimpulkan karena banyak fenomena sosial yang paradoks, ironi, dan beraroma kekerasan yang amat sangat memilukan. 

Aku terhanyut, menyukai caranya bercerita. Bahasanya yang sederhana, lugas, komunikatif, dan deskriptif berhasil membuat telaga jebol. Bukan karena kejadian itu diceritakan dengan detail, tetapi ia mampu bercerita dengan menyentuh hati nurani pembaca. Tentang perjuangan wartawan mencari dan meliput berita, kekerasan yang diterima kelompok Gerakan Acheh, massa, dan masyarakat, serta nilai-nilai kehidupan: kasih sayang, kerja sama, peduli sosial, bersahabat, dan masih banyak lainnya.

Penembakan dan pembunuhan, peristiwa 3 Mei 1999 berhasil dituliskan berbasis data dan waktu. Diulas hingga 45 halaman banyak hal yang kudapat. Dari sudut pandang wartawan. Bagaimana meliput berita di Simpang Kraft bukanlah suatu tempat yang menyenangkan dan menghibur. Justru, wartawan yang ke sana sama halnya mencari mati. 

Kerusuhan tidak bisa disibak membuat nyali naik turun. Butuh trik jitu supaya selamat. Sebagaimana keempat wartawan dari RCTI dan Azhari, wartawan dari media Antara, Medan. Mundur dengan cepat, maju dengan tepat. Wartawan seperti masuk di kawasan pabrik sirup. Di jalan itu, sirup-sirup tumpah. Rasanya bukan seperti sirup marjan, sarang sari, kurnia, tjampolay, ABC, atau lainnya. Melainkan sirup manusia. 

Wartawan Mas, membawa kebenaran dalam hal pemberitaan. Kalau salah mengeluarkan berita mereka berhadapan dengan masyarakat. Perihal kebenaran, aku mampu membaca dari keempat wartawan yang ditugasi dari stasiun televisi RCTI. Mereka adalah Imam, Fipin, Ali, dan Umar. Keempat wartawan itu adalah lelaki pemberani, tangguh, dan cerdas. Salah satu di antaranya, termasuk Imam pernah meliput kejadian kerusuhan di Timor-Timor. Kejadian di sana tidak kalah gila dengan di Simpang Kraft.

Mereka sempat bermasalah dengan masyarakat Mas. Hal itu terjadi karena masyarakat menganggap bahwa mereka telah mengeluarkan pemberitaan yang salah terkait jumlah korban di peristiwa itu. Dengan tegas dan tenang, Imam pun menjelaskan pada pria yang mengenakan taliban. Bahwa ia mendapati data secara langsung mendatangi rumah sakit yang dijadikan rujukan korban. Para wartawan mengambil data dengan hati-hati, begitu pula ketika menulis. Sampai-sampai Imam mengamali trauma akut. Ia mengaku sering diikuti oleh bayang-bayang korban peluru menyasar dan tangis anak-anak kecil minta tolong. Ia ingat betul, saat menemukan korban anak kecil yang kakinya bolong, anak itu adalah bocah yang memberikan air minum kepadanya.

Tentang laki-laki yang protes di rumah sakit Cut Mutia tadi, Mas disebut-sebutlah teungku. Dalam bahasa Indonesia adalah guru mengaji, ahli agama, ustad. Beruntunglah, kesalahpaham itu segera usai. Wartawan selalu memegang erat kode etik jurnalis, kebenaran itu utama. Mengeluarkan berita bohong sama artinya mencari masalah. Kalau sudah begitu terimalah risikonya. 

Namun, pada zaman Orde Baru, kebenaran berita itu dikesampingkan. Semua informasi diatur oleh pemerintah. Wartawan menerima press release dari pemerintah. Hal itu dirasakan benar oleh wartawan Seno. Kala itu ia diminta untuk meliput di Timor-Timor. Ia adalah wartawan senior, salah satu tabloid ibukota, Jakarta Jakarta (JJ).

Orde Baru yang berkuasa pemerintah, semuanya. Hingga pada kebenaran berita yang ditulis Seno atas dasar press releasi, wawancara dari saksi mata, dan melihat langsung kejadian membuatnya kehilangan pekerjaan. Ia dihukum dengan dikeluarkan dari wartawan. Sebab itulah, ia membuat beberapa buku sebagai katarsis atas ketidakadilan dan kedudukan kebenaran bagi mata dunia.

Perihal berita tersebut, adalah dari stasiun TVRI bukan RCTI. Keempat wartawan senior itu tidak mungkin melakukan kebohongan, Mas. Jika memang bermaksud demikian, untuk apa mereka berususah payah, berkorban terjun langsung ke lapangan melihat korban-korban penembakan; seorang anak yang telinganya bolong sebelah dan kepalanya pecah terisi air; laki-laki berlimpahan darah; masyarakat kehilangan anggota tubuhnya; seseorang anak kecil yang otaknya berhamburan di jalan; para perempuan yang mati terlindas militer dan merintih kesakitan karena terkena peluru menyasar; seorang gadis perempuan di sebuah rumah yang tertembak karena salah sasaran; melihat mayat berserakan di jalan dan rumah sakit  Cut Mutia; melihat dan merekam seseorang yang sakaratul maut, dan masih banyak lagi, Mas.

Ngeri, sungguh ngeri rasanya. Kejadian itu serupa peristiwa di Santa Cruz. Sebuah pemakaman orang kristen di Timor-Timor. Di sana Mas, juga terjadi rentetan tembakan dari militer Indonesia terhadap demonstran. Sudah pasti, banyak korban yang berjatuhan. Tentang peristiwa Santa Cruz aku membaca dari buku Seno Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, kumpulan cerpen Saksi Mata, dan trilogi novel fenomenal Jazz, Parfum, dan Insiden.

Kemudian, ada lagi pelajaran paradoks dan ironi yang kutemui. Bahwa di tengah kegilaan peristiwa Simpang Mawak ada sebuah fenomena ironi. Rini menuliskan seorang wartawan Imam bertemu dengan lelaki yang memakai celana berwarna putih. Celana itu penuh dengan darah. Tubuhnya yang kurus seakan tak kuat menopang badannya yang lemah. Lelaki itu memerosotkan diri di pinggir jalan. Tepatnya di sebuah pintu depan toko. Imam trenyuh melihat lelaki itu. 

Imam mendekati, hendak menolong lelaki itu kemudian menggendongnya di mobil ambulans. Namun apa yang terjadi, Mas. Ternyata lelaki itu pura-pura. Warna merah di celananya bukanlah darah, entah apa, pewarna bisa saja kan. Gila. Sungguh gila lelaki itu. 

Lebih gila lagi, begitu Imam hendak berteriak ada sekitar sepuluh orang lain berlarian mengikuti lelaki somplak itu. mereka bersengkongkol memperkeruh situasi. Ternyata, ada sebagian dari mereka melakukan aksi dengan melumuri badannya dengan darah para korban tembak. Begitu ada seseorang yang menolongnya, dengan sigap orang itu akan membunuh orang itu. 

Gila. Mereka sinting, tidak waras. Di tengah rintihan orang dan mayat bertumpuk juga muncul sebuah keparadoksan lagi. Puluhan mayat ditumpuk di pinggir jalan. Di antara tumpukan itu ada seorang anak kecil dengan keadaan mengenaskan, berlumuran darah, tubuhnya tidak menyatu dan kepalanya pecah, Mas. Siapa yang tahu, tiba anak kecil itu didekati adalah bukanlah manusia. Akan tetapi, boneka yang didramatisasi seperti manusia. Sungguh, mungkin inilah kegilaan yang Rini maksudkan Mas.

Ahh, ngeri. Fenomena Orde Baru sungguh menyedihkan. Peristiwa di tanah air silih berganti. Semua beraroma kekerasan. Semoga tidak ada pertemuan di tahun itu, Mas. Aku tidak ingin. 

Hufftt, mengulas  tulisan Chik Rini membuat kepalaku pusing. Aku teramat dalam masuk ke dalam tulisan itu. Hingga rasa mual pun menjalar. Tidak. Kuhentikan saja tentang kisah ini, Mas. Kalau Mas ingin membaca, bisa mencari buku langka itu di beberapa toko buku besar. di toko buku kecil jarang ada. Karena buku itu tidak diterbitkan lagi. Atau bisa membaca versi online. Ada seseorang yang mengetik ulang tulisan itu dan diposting di blognya.

Tentang buku itu, ada juga tulisan lain yang berkisah tentang Aceh. Adalah Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan, tulisan Alfian Hamzah. Judul itu juga termasuk dari rekomendasi dari temanku, Hamimi. Semoga, tulisan Alfian tidak semengerikan dan gila dari Rini. Sekilas sih aku membaca tipis-tipis. Semogalah lebih santai dan tidak menguras pikiran dan emosi.

Eeh, Mas, kusudahi dulu ya suratku kali ini. Kembali, pikiranku terasa terkuras seperti habis bekerja. Rasanya tubuhku ikut sakit begitu menyeritakan peristiwa Simpang Karft. Kali lain, aku akan bercerita tentang keseharianku dalam tulisan santai ini. Maaf, jika tulisanku berpengaruh terhadapmu.

Sehat selalu terkasih. Jangan lupa bahagia ya!

Salam dari seseorang yang mencintamu dari jauh!

Suci Ayu Latifah
24.04.2020 23:41WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...