Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (4)


Mas Fendik, aku hendak menulis sesuatu pada surat ini. Tapi, ketakberaturan pikiran dan emosi membuatku tidak bisa menuliskan sesuatu yang dapat dibaca.

Aku tidak tahu hal apa yang sedang aku pikirkan, sehingga tidak bisa tidur. Badanku terasa lelah dan letih. Mata ini mengantuk, tapi enggan untuk tertidur.

Segala upaya, sudah aku lakukan untuk mengistirahatkan semua lintasan dalam otak, tapi malam itu aku mengalami kegagalan. Serupa berjalan di sebuah tempat yang tidak ada ujungnya. Aku dituntun oleh sebuah cahaya. Aku berjalan mengikuti cahaya itu. Mas, aku tidak tahu ada di mana sekarang. Keadaan teramat sepi. Sedihnya, aku tidak mengenali diriku.

Mas, ada apa denganku? Apakah kamu pernah mengalami kejadian seperti ini. Ohh,
Dua hari, aku sibuk menata buku, bongkar-pasang buku. Aku senang, tapi ada hal yang membuatku jengkel—kesia-siaan dalam pekerjaan. Ada sesuatu yang sia-sia. Bagaimana dulu aku teramat berhati-hati, namun akhirnya ya semua sama. Apaan ini, Mas. Aku merasa bahwa yang aku lakukan waktu itu sekadar mengisi waktu daripada tidak.

Ahh bodo amat!

Mas, sudah kutemukan buku yang hendak aku cari. Buku itu ada rujukan dari Mas Hamimi, sahabat menulis yang tinggal di Sumenep. Buku itu berjudul Jurnalisme Sastrawi.
Di buku itu ada dua liputan naratif wartawan yang menarik untuk aku baca. Katanya, ada kaitanya dengan penelitian. Yaitu, tentang sejarah Aceh pada masa Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Mas, segera ingin kubaca buku itu, mumpung semangatku berkobar-kobar. Aku suka ilmu baru Mas, tapi tak jarang aku menuliskan ke dalam catatan. Tidak semua buku yang kubaca aku catat. Ya, setan malas telah menyergap jika aku sudah seperti itu.

Tapi kalau sudah semangat, hmm buku satu bisa jadi beberapa tulisan. Seperti yang aku hasilkan selama mengerjakan penelitian. Novel Lolong Anjing di Bulan menjadi ide 3 judul esai, dan beberapa surat untukmu, Mas.

Ya, Mas. Doakan semangatku tetap berseri-seri ya. Aku ingin menunjukkan aku bisa dan mampu. Aku yakin, sebenarnya aku bisa, hanya saja banyak dalih dalam diriku.

Mas, sudah sulu ya suratku ini. Aku kesulitan merangkai kata. Lintasan di otak serupa benang. Doakan aku kuat ya, Mas supaya bisa mengirimkan surat kepadamu.

Suci Ayu Latifah
21.04.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...