Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (2)


Hai.

Mas Fendik, kapan engkau menemui aku? rindu ini terus menepi, lagi-lagi menyiksaku. Apakah kau juga begitu?

Aisyah. Itu lagu religi beraroma roman. Adalah sebuah lagu yang menceritakan betapa Aisyah, putri dari Abu Bakar teramat mencintai Rasulullah. Demikian Rasulullah membalas cintanya. Mas Fendik, hingga detik ini kutunggu pernyataan cintamu kepadaku. Sebagaimana Rasulullah kepada Aisyah, istrinya.

Ya, aku menunggu pernyataan itu langsung darimu.

Siang ini Mas, udara teramat panas, padahal matahari malu-malu untuk memperlihatkan diri. Entah, sudah beberapa hari ini udara terasa panas. Laiknya ayam, aku ini sebentar lagi masak. Dan, siap untuk disantap.

Dalam rebahan karena tidak enak badan, kusigap sebuah novel menarik, Percikan Darah di Bunga. Novel itu ditulis oleh Arafat Nur. Pertama kali, novel itu diterbitkan oleh salah satu penerbit di Aceh pada tahun 2005. Kemudian, karena laku keras, diterbitkan lagi pada tahun 2017 oleh basabasi.com

Perihal novel itu, sebenarnya aku sudah membaca sekilas dan beberapa tulisan (resensi) di internet. Siang ini, aku ingin membacanya utuh. Kan sayang ya, sudah beli tapi belum dibaca.
Mas, karya-karya Arafat, termasuk novel ini banyak berkisah tentang Aceh. Di novel Lolong Anjing di Bulan sudah katam. Malah-malah kujadikan objek penelitian. Seumpama Matahari, juga sudah kugasak dalam 4 jam. Ya, karena semangat didukung rasa penasaran terhadap isi, sekali duduk selesai.

Ditambah lagi Mas, gaya penceritaannya mudah dipahami. Bahasa yang digunakan untuk menceritakan dan mendeskripsikan cerita sangat sederhana. Ya, meski penulisnya orang Aceh. Ia enggan menggunakan bahasa Melayu. Penulis menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Alurnya pun mudah diikuti, meski sedikit maju-mundur.

Mas, selanjutnya ada Burung Terbang di Kelam Malam, Lampuki, dan Tanah Merah. Semua sudah kubaca. Kalau Mas ingin tahu bagaimana cerita dalam novel tentu aku akan menceritakan, tanpa syarat. Sungguh, itu akan aku lakukan. Namun, tidak untuk kali ini.

Kali ini, aku akan sedikit bercerita tentang buku Seno Gumira Ajidarma berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Buku itu berukuran kecil, ya ukurannya di bawah kertas a5. Sebenarnya, buku itu sudah lama kuketahui. Namun, aku baru membacanya secara mendalam. Kalau sekilas sih sudah.

Seno, Mas dalam buku itu membongkar informasi yang tumpang tindih terkait peristiwa Timor-Timor. Mas tahu, peristiwa di sana hampir sama dengan apa yang terjadi di Aceh. Ya, perihal kekerasan.

Di timor-Timor Mas, berlangsung sekitar 23 tahun. Semenjak 7 Des 1975 – 31 Okt 1999. Ahh, ngeri pokonya, Mas. Apa yang terjadi di Timor-Timor secara hati-hati diceritakan Seno. Seno, pada masa itu mendapat tugas meliput di sana. Ia tidak sendiri, kok. Ada dua teman lainnya dari tabloid Jakarta Jakarta (JJ).

Sayang sekali, pada masa itu belum ada kebebasan pers. Ya, pada saat pemerintahan Soeharto. Semua media, baik cetak maupun elektronik diberikan batasan dalam hal menginformasikan kepada khalayak. Press release diatur oleh pemerintah. Saat itu, pemerintah berkuasa dalam segala hal. Sebab itulah, terjadi tumpang-tindih informasi.

Ya, Seno, sebagai jurnalis kreatif melakukan wawancara bersama beberapa saksi mata. Informasi dari mereka, dijadikan sebagai bagian dari berita. Kemudian, tambahan ada video tape yang merekam peristiwa itu.

Mas, mungkin ya kamu ingin tahukan tentang peristiwa itu? begitu pula denganku. Ya, aku ingin sekali tahu kebenaran tentang Timor-Timor. Beruntunglah, aku berjumpa dengan buku berharga ini. Aku pula, berdekatan dengan beberapa cerpen-cerpen Seno yang juga berkisah tentang Timor-Timor.

Sekitar 12 cerpen itu sudah dikumpulkan menjadi satu dan diberi judul Saksi Mata. Tentang cerpen itu, pada masa itu dikirimkan di berbagai koran di Indonesia dan termuat. Mas ingin bacakah kumpulan cerpen itu?

Selanjutnya Mas, tentang Timor-Timor juga dikisahkan Seno ke dalam novel Jazz, Parfum, dan Insiden. Novel ini sangat tebal. Isinya ya peristiwa Timor-Timor secara terang-terangan di bongkar. Di novel itu tidak ada lagi sensor.

Secara gamblang, Seno penuh emosi menuliskan, bahwa aparat ABRI melakukan penembakan membabi-buta guna membubarkan kerumunan massa dalam demonstrasi yang mengakibatkan banyak orang tewas. Meski begitu, secara resmi ABRI dan pemerintah RI tidak mengakui adanya peristiwa penembakan tersebut.

Aku bangga Mas dengan Seno. Ia teramat berani meliput waktu itu. Padahal, huuuh, dari tulisannya itu aku merasakan sebuah kejadian yang miris, tragis, dan sadis.

Terlebih, begitu terjadi kerusuhan di pemakaman Santa Cruz, Timor-Timor. Kerusuhan itu, bukanlah sesuatu yang diinginkan dan dikehendaki. Aksi demonstran dan tentara amat menyedihkan. Seno, karena begitu tidak percaya atas peristiwa itu, membuatlah ia sajak yang diberi judul Santa Cruz. Selain itu, tercipta juga sajak Trompet. Sajak itu adalah kisah dari peristiwa Dili di pemakaman Santa Cruz pada 12 November 1991.

Ini Mas, sajaknya.

Trompet

”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Supaya orang-orang yang terbunuh
bangkit lagi dari kematian?
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Supaya mayat-mayat yang dikubur tanpa nisan
menguak tanah yang menguruknya dan
merangkak pelan menuju gubernuran?
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Supaya mereka yang tertembak bisa berjalan
ke gereja dengan tubuh berlubang dan
berdoa dengan darah di mulutnya sehingga
tak ada suara yang terdengar
selain bunyi kebencian?
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Mainkan jazz saja Wynton,
kita tidak bicara politik waktu sarapan.

Dan, kali ini adalah sajak dari Santa Cruz.

Santa Cruz

Aspal itu merah, seperti darah
“Itu sirop,” kata Bapak
Tapi Ibu mencariku dengan gelisah
Aku tak tahu di mana diriku tertembak

5 Januari 1992

Mas, belajar dari peristiwa Timor-Timor dan Aceh, aku berharap tidak akan lagi insiden semacam itu. Aku takut. Oh iya, selain dua daerah itu, juga ada insiden yang timbul dari perseteruan dengan negara sendiri.

Di antaranya ada di daerah Papua dan Maluku. Insiden di dua daerah itu, secara sekilas sudah pernah aku terima. Ya, ada di pelajaran Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan. Ceritanya bagaimana, aku tidak ingat. Esoklah, akan kubaca lagi.

Sebagaimana, orang-orang di daerah insiden Mas, menginginkan ketenangan, kedamaian, dan tentram, begitu pula dengan diriku. Tenang disampingmu, damai bersamamu, dan tentram tak berjarak denganmu.

Mas, jangan biarkan rindu ini meluap dan sia-sia. Ketika kamu datang nanti, yang kutakutkan hanya satu, “Rindu telah menghilang karena terbiasa menepi.”

Terima kasih ya, sudah ada dalam tulisanku. Harapku kamu berkenan membaca surat ini dengan hati berdebar.
Salamku, jangan lupa bahagia!


Suci Ayu Latifah
19.04.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...