Hai, Mas Fendik.
Aku menulis surat ini
di dalam ruangan yang dipenuhi dengan buku-buku. Di tembok terdapat rak buku. Ruangan
bagian tengah telah berjajar delapan rak buku membuat dua shaf barisan. Rak ini
berlantai dua. Di lantai itu, ada tumpukan buku berjajar rapi, beberapa
tumpukan klipping koran sejak tahun 90-an hingga 2017.
Sebelumnya, aku
perkenalkan dulu ruangan yang menumbuhkan semangat dalam menggeluti dunia
literasi. Adalah sebuah ruang yang diberi nama rumah buku. Di rumah itu ada
macam-macam buku. Kalau Mas ke sini bisa membeli atau sekadar membaca-baca
saja.
Sejak pandemi tiba di
Indonesia, aku banyak menghabiskan waktu di ruangan ini. Aku membaca, menulis,
dan berdiskusi tentang apa saja. Kegiatan di luar rumah libur. Belanja pun
libur, ada toko terdekat. Kebetulan semua kebutuhan pribadi ada di sana. Semua
aktifitas dilakukan via online, termasuk agenda kajian buku.
Tahun 2020 sudah
berjalan di bulan keempat. 2019 bulan Oktober aku telah resmi lulus. Di gedung
Graha Saraswati pesta itu digelar. Setelah ini apa yang harus aku lakukan, jodoh
atau karier?
Seorang wartawan Radar
Ponorogo menodongku dengan pertanyaan demikian itu. Aku tergagap, seolah aliran
darah dalam tubuhku berhenti seketika. Tubuhku mendadak kaku. Kujawablah,
setelah menarik napas kesekian kali.
“Karier,” jawabku
singkat.
“Guru atau wartawan?”
kembali aku ditodong pertanyaan. Aku kalap.
Sesungguhnya, kedua
profesi itu sejurus dengan apa yang telah aku tekuni saat ini. Guru menulis,
sedangkan wartawan tentu menulis menjadi kewajiban. Kembali, aku mengatur napas
dan kemudian tidak memberi jawaban. Aku hanya bercerita mengalir, sehingga
wartawati itu menyimpulkan ke mana aku setelah lulus.
Guru atau wartawan.
Semuanya aku suka. Kalau disuruh memilih aku ingin menjadi guru yang memiliki
kemampuan menulis baik. Juga, wartawan yang kelak menjadi guru pula. Seperti
yang dialami sahabatku. Dulu dia adalah guru, ya guru sukarelawan di Bawean.
Sekarang dia menjadi wartawan.
Ada pula cerita, dulu
wartawan, kini beralih ke penulis lepas. Karya-karyanya condong ke novel.
Katakanlah Oky Madasari, Seno Gumira Ajidarma, Sirikit Syah, Arafat Nur, dan
masih banyak lagi.
Jadi, kalau disuruh
milih aku ingin memiliki semuanya. Mengingat zaman kecil dulu keinginan besarku
menjadi seorang guru—guru yang senantiasa berbagi ilmu kepada semua orang. Guru
bagiku adalah sosok yang mulia. Dia seperti Ibu, memberi tanpa mengharap
kembali. Doanya, semoga kelak anak didiknya bisa lebih darinya. Mulia sekali
kan?
Mas Fendik, sebelum
pesta kelulusan digelar aku didatangi dua orang lelaki dan satu perempuan.
Semuanya aku kenal, kecuali lelaki berbaju hitam berperawakan tinggi. Lelaki
itu memakai celana jins, bajunya lengan pendek. Dia berkaca mata. Ehm,
kelihatannya dia cerdas. Hehehe, konsepsi ini terlalu membekas dalam paradigma
pikiranku. Orang yang memakai kaca mata cenderung cerdas.
Oke Mas, kukenalkan
padamu tentang siapa ketiga orang itu. Adalah seorang wartawan dari Radar
Madiun. Kedatangannya memiliki tujuan cukup banyak: (1) silaturahmi dengan
Bapak, (2) ingin tahu tentang aku, (3) menyampaikan tawaran kerja wartawati
padaku, (4) memperjelas kerja sama dengan kampus, (5) klarifikasi kerja sama
peliputan wisuda, dan (6) merancang kegiatan mendatang bertema literasi.
Tentang aku, Bapak
meminta supaya aku berpikir matang. Apakah menerima atau menolak. Semua dikembalikan
padaku.
Aku menolak dengan
berbagai pertimbangan, bahwa aku ada janji mengerjakan penelitian. Di sisi
lain, karena butuh kesiapan mental dan fisik. Kau tahukan, fisikku bisa
dibilang lemah. Di satu sisi, pekerjaan wartawan bukanlah suatu yang mudah.
Kalau dibandingkan dengan guru tentu santai guru. Namun, yang namanya pekerjaan
mana ada yang enak. Semua punya tuntutan masing-masing. Kecuali pekerjaan
tidur.
Dari keluarga pula,
tidak begitu menyetujui apabila aku mengambil tawaran itu. Mas, sebenarnya ini
suatu momen yang langka. Halnya cinta Mas, bagaimana ketika ada orang datang
memintamu untuk. Tentu seseorang sudah tahu informasi tentang orang yang
dituju. Bahkan, dia siap dengan segala kekurangannya untuk menerima. Suatu yang
langka. Namun, apa yang bisa diperbuat. Semua kembali pada objeknya kan.
Sadar, dengan kesadaran
betul wartawan adalah keinginanku semenjak kuliah. Ingin sekali aku terbenam dalam
profesi penuh tantangan itu. namun, begitu ada orang yang menawarkan, ditolak.
Bukan karena tidak mau, sekali lagi bukan. Lebih pada kesiapan segala risiko.
Butuh kekuatan dari segi mental dan fisik. Semua harus dipersiapkan.
Mas, jika kau menjadi
aku apa yang kamu lakukan?
Aku yakin, antara menerima
atau menolak itu sama-sama beratnya. Menerima berarti kesediaan dengan segala
risiko yang kelak akan dihadapi. Menolak berarti memtus harapan, kesempatan
emas yang kadang tidak datang dua kali.
Sebelum dan akhirnya,
aku menolak. Tawaran itu selalu menghantui, belum lagi komunikasi dengan salah
satu wartawan itu. Satu memintaku untuk menerima karena memang itu dari
cita-cita. Wartawan satunya lagi, lebih condong untuk menerima, namun sesekali
dia memberi nasihat bahwa profesi guru lebih menjamin. Kemudian, wartawan
terakhir tidak ada komunikasi karena tidak memiliki kontakku.
Memilih. Memilih itu
suatu keadaan yang sulit Mas. Terlebih aku ini wanita. Katanya, langkah wanita
lebih kecil daripada laki-laki. Untuk memutuskan suatu hal, wanita banyak
pertimbangan. Memikirkan ini, itu akhirnya menggantung. Berbeda dengan lelaki.
Ia lebih mudah untuk memutuskan, karena perasaannya tidak terlalu ikut campur.
Wanita, ya wanita.
O ya, tentang pilihan
ini sudah kujatuhkan, pikiranku untuk saat ini adalah pengembangan diri.
Memompa potensi diri, memberikan kekuatan yang kelak bisa dijual. Doakan Mas,
aku kuat melakukan ini.
Pandemi, membuatku
lebih fokus terhadap dunia literasi. Membaca dan membaca. Beberapa buku yang
kubeli dan belum kubaca, kini sudah kugasak habis. Tibalah menulis! Menulis dan
menulis, mengeluarkan unek-unek, menyampaikan ide-ide, dan mencetuskan solusi
tepat terhadap masalah.
Tentu, ditulisan aku bertindak seperti
motivator—mencari masalah dan mengungkap solusi sebagai penyelesai. Wah, keren
juga. Aku bertambah dewasa dan jangkar keliaran pikiran semakin terbuka.
Aku senang bisa
mengenal dunia ini. Beruntunglah, keputusasaan ketika itu tidak mengarah pada
sesuatu yang dinilai negatif. Pelarianku adalah membaca dan mengarang bebas.
Iya, aku mengarang. Awalnya itu dibuku tulis sekolah, sampai dimarahi oleh ibu.
Buku sekolah dibuat coret-coret.
Mas Fendik, terima
kasih sudah menjadi satu bagian dari jiwa sepi ini. Menulis adalah pekerjaan
orang kesepian. Dia berbicara dengan pikirannya dalam tulisan. Entah untuk
dipublikasikan atau dijadikan koleksi sendiri.
Di sana, jangan lupa
tetap membaca ya. Ada banyak buku baru ke-Islaman yang harus segera kau baca.
Aku yakin, kau pasti ingin membaca semuanya.
Akhirnya, salam
literasi, Mas Fendik terkasih. Maaf segera kututup surat ini.
Salam cerah hati dan
pikir!
Suci Ayu Latifah
29.04.2020
Komentar
Posting Komentar