Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (8)


Hai, Mas Fendik.

Aku menulis surat ini di dalam ruangan yang dipenuhi dengan buku-buku. Di tembok terdapat rak buku. Ruangan bagian tengah telah berjajar delapan rak buku membuat dua shaf barisan. Rak ini berlantai dua. Di lantai itu, ada tumpukan buku berjajar rapi, beberapa tumpukan klipping koran sejak tahun 90-an hingga 2017.

Sebelumnya, aku perkenalkan dulu ruangan yang menumbuhkan semangat dalam menggeluti dunia literasi. Adalah sebuah ruang yang diberi nama rumah buku. Di rumah itu ada macam-macam buku. Kalau Mas ke sini bisa membeli atau sekadar membaca-baca saja.

Sejak pandemi tiba di Indonesia, aku banyak menghabiskan waktu di ruangan ini. Aku membaca, menulis, dan berdiskusi tentang apa saja. Kegiatan di luar rumah libur. Belanja pun libur, ada toko terdekat. Kebetulan semua kebutuhan pribadi ada di sana. Semua aktifitas dilakukan via online, termasuk agenda kajian buku.

Tahun 2020 sudah berjalan di bulan keempat. 2019 bulan Oktober aku telah resmi lulus. Di gedung Graha Saraswati pesta itu digelar. Setelah ini apa yang harus aku lakukan, jodoh atau karier?
Seorang wartawan Radar Ponorogo menodongku dengan pertanyaan demikian itu. Aku tergagap, seolah aliran darah dalam tubuhku berhenti seketika. Tubuhku mendadak kaku. Kujawablah, setelah menarik napas kesekian kali.

“Karier,” jawabku singkat.

“Guru atau wartawan?” kembali aku ditodong pertanyaan. Aku kalap.

Sesungguhnya, kedua profesi itu sejurus dengan apa yang telah aku tekuni saat ini. Guru menulis, sedangkan wartawan tentu menulis menjadi kewajiban. Kembali, aku mengatur napas dan kemudian tidak memberi jawaban. Aku hanya bercerita mengalir, sehingga wartawati itu menyimpulkan ke mana aku setelah lulus.

Guru atau wartawan. Semuanya aku suka. Kalau disuruh memilih aku ingin menjadi guru yang memiliki kemampuan menulis baik. Juga, wartawan yang kelak menjadi guru pula. Seperti yang dialami sahabatku. Dulu dia adalah guru, ya guru sukarelawan di Bawean. Sekarang dia menjadi wartawan.

Ada pula cerita, dulu wartawan, kini beralih ke penulis lepas. Karya-karyanya condong ke novel. Katakanlah Oky Madasari, Seno Gumira Ajidarma, Sirikit Syah, Arafat Nur, dan masih banyak lagi.
Jadi, kalau disuruh milih aku ingin memiliki semuanya. Mengingat zaman kecil dulu keinginan besarku menjadi seorang guru—guru yang senantiasa berbagi ilmu kepada semua orang. Guru bagiku adalah sosok yang mulia. Dia seperti Ibu, memberi tanpa mengharap kembali. Doanya, semoga kelak anak didiknya bisa lebih darinya. Mulia sekali kan?

Mas Fendik, sebelum pesta kelulusan digelar aku didatangi dua orang lelaki dan satu perempuan. Semuanya aku kenal, kecuali lelaki berbaju hitam berperawakan tinggi. Lelaki itu memakai celana jins, bajunya lengan pendek. Dia berkaca mata. Ehm, kelihatannya dia cerdas. Hehehe, konsepsi ini terlalu membekas dalam paradigma pikiranku. Orang yang memakai kaca mata cenderung cerdas.
Oke Mas, kukenalkan padamu tentang siapa ketiga orang itu. Adalah seorang wartawan dari Radar Madiun. Kedatangannya memiliki tujuan cukup banyak: (1) silaturahmi dengan Bapak, (2) ingin tahu tentang aku, (3) menyampaikan tawaran kerja wartawati padaku, (4) memperjelas kerja sama dengan kampus, (5) klarifikasi kerja sama peliputan wisuda, dan (6) merancang kegiatan mendatang bertema literasi. 

Tentang aku, Bapak meminta supaya aku berpikir matang. Apakah menerima atau menolak. Semua dikembalikan padaku. 

Aku menolak dengan berbagai pertimbangan, bahwa aku ada janji mengerjakan penelitian. Di sisi lain, karena butuh kesiapan mental dan fisik. Kau tahukan, fisikku bisa dibilang lemah. Di satu sisi, pekerjaan wartawan bukanlah suatu yang mudah. Kalau dibandingkan dengan guru tentu santai guru. Namun, yang namanya pekerjaan mana ada yang enak. Semua punya tuntutan masing-masing. Kecuali pekerjaan tidur.

Dari keluarga pula, tidak begitu menyetujui apabila aku mengambil tawaran itu. Mas, sebenarnya ini suatu momen yang langka. Halnya cinta Mas, bagaimana ketika ada orang datang memintamu untuk. Tentu seseorang sudah tahu informasi tentang orang yang dituju. Bahkan, dia siap dengan segala kekurangannya untuk menerima. Suatu yang langka. Namun, apa yang bisa diperbuat. Semua kembali pada objeknya kan.

Sadar, dengan kesadaran betul wartawan adalah keinginanku semenjak kuliah. Ingin sekali aku terbenam dalam profesi penuh tantangan itu. namun, begitu ada orang yang menawarkan, ditolak. Bukan karena tidak mau, sekali lagi bukan. Lebih pada kesiapan segala risiko. Butuh kekuatan dari segi mental dan fisik. Semua harus dipersiapkan.
 
Mas, jika kau menjadi aku apa yang kamu lakukan?

Aku yakin, antara menerima atau menolak itu sama-sama beratnya. Menerima berarti kesediaan dengan segala risiko yang kelak akan dihadapi. Menolak berarti memtus harapan, kesempatan emas yang kadang tidak datang dua kali.

Sebelum dan akhirnya, aku menolak. Tawaran itu selalu menghantui, belum lagi komunikasi dengan salah satu wartawan itu. Satu memintaku untuk menerima karena memang itu dari cita-cita. Wartawan satunya lagi, lebih condong untuk menerima, namun sesekali dia memberi nasihat bahwa profesi guru lebih menjamin. Kemudian, wartawan terakhir tidak ada komunikasi karena tidak memiliki kontakku. 

Memilih. Memilih itu suatu keadaan yang sulit Mas. Terlebih aku ini wanita. Katanya, langkah wanita lebih kecil daripada laki-laki. Untuk memutuskan suatu hal, wanita banyak pertimbangan. Memikirkan ini, itu akhirnya menggantung. Berbeda dengan lelaki. Ia lebih mudah untuk memutuskan, karena perasaannya tidak terlalu ikut campur.

Wanita, ya wanita.

O ya, tentang pilihan ini sudah kujatuhkan, pikiranku untuk saat ini adalah pengembangan diri. Memompa potensi diri, memberikan kekuatan yang kelak bisa dijual. Doakan Mas, aku kuat melakukan ini.

Pandemi, membuatku lebih fokus terhadap dunia literasi. Membaca dan membaca. Beberapa buku yang kubeli dan belum kubaca, kini sudah kugasak habis. Tibalah menulis! Menulis dan menulis, mengeluarkan unek-unek, menyampaikan ide-ide, dan mencetuskan solusi tepat terhadap masalah. 

Tentu, ditulisan aku bertindak seperti motivator—mencari masalah dan mengungkap solusi sebagai penyelesai. Wah, keren juga. Aku bertambah dewasa dan jangkar keliaran pikiran semakin terbuka.
Aku senang bisa mengenal dunia ini. Beruntunglah, keputusasaan ketika itu tidak mengarah pada sesuatu yang dinilai negatif. Pelarianku adalah membaca dan mengarang bebas. Iya, aku mengarang. Awalnya itu dibuku tulis sekolah, sampai dimarahi oleh ibu. Buku sekolah dibuat coret-coret.

Mas Fendik, terima kasih sudah menjadi satu bagian dari jiwa sepi ini. Menulis adalah pekerjaan orang kesepian. Dia berbicara dengan pikirannya dalam tulisan. Entah untuk dipublikasikan atau dijadikan koleksi sendiri.

Di sana, jangan lupa tetap membaca ya. Ada banyak buku baru ke-Islaman yang harus segera kau baca. Aku yakin, kau pasti ingin membaca semuanya. 

Akhirnya, salam literasi, Mas Fendik terkasih. Maaf segera kututup surat ini.

Salam cerah hati dan pikir!

Suci Ayu Latifah
29.04.2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...