Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (7)


Jeeeng, jeng . . .
Hai.
Hmm.
Tuing . . . tuingg tuinkerbell.

Mas, selamat datang di tanggal 26 April ya. Yuk ke tanah lapang! 

Masih kamu simpankan kaca pembesar itu dan beberapa kertas untuk bereksperimen?

Aku ingin memastikan terik tahun ini masih sama seperti tahun-tahun lalu. Aku percaya, panasnya masih sama. Meski anomali cuaca tak beraturan. Kan keyakinan itu harus dibangun ya. Seperti ... ets, kali ini aku akan berhenti berpuitis kepadamu. Nanti aku siapkan stopwatch untuk memastikan di menit ke berapa energi matahari mampu membakar kertas. 

Tanggal 26 April cerah. Aku baru saja mengeceknya langsung ketika membersihkan sampah di halaman rumah. 

Langit membiru bersih. Tidak ada awan yang sekadar mondar-mandir di sana. Beburung bekerjaran, rupanya mereka juga senang dengan cuaca hari ini. Pun aku. Waw, aku senang, senang sekali tanggal ini cerah. Kembali, kulihat masa depan kita di atas sana. Ya cerah. Hehehe.

Mas, aku berterima kasih kepadamu. Kau amat sabar menjelaskan padaku, waktu itu, kamu masih ingatkan bahwa kaca pembesar yang biasa kita buat mainan itu dapat membakar kertas. Sejak itu, ketika tidak ada korek api, aku senang bermain-main dengan ini. Pergi ke tanah lapang atau halaman rumah di bawah terik matahari. Kemudian, meletakkan selembar kertas di tanah.

Butuh kesabaran, ya tentu itu kan yang dianjurkan guru agama Islam kita saat duduk di sekolah dasar. Orang hidup harus sabar.  Proses perjalanan hidup satu per satu dijajaki. Kalau kamu sabar, kelak akan memetik buah dari kesabaran itu.

Ya, aku sabar kok. Sabar untuk menerima balasan surat darimu, setelah puluhan aku kirimkan. Sumpah deh, aku sabar seperti menunggu kertas itu terbakar. Kemudian, menimbulkan asap membumbung. 

Hmm, terlalu berlebihan kelihatannya. Kan hanya kertas, bukan tumpukan kertas. Jadi. asapnya ya biasa. Cukup membuat kita terbatuk-batuk kecil. 

Tentang ini, aku pernah mendalami dalam pelajaran Fisika. Aku suka pelajaran Fisika meski kadang tidak terlalu bisa untuk mengerjakan soal. Aku baru tahu, ternyata kaca pembesar memiliki lensa cembung. Salah satu manfaatnya untuk melihat benda kecil menjadi terlihat besar dan jelas. Bayangan yang tercipta adalah maya, tegak, dan diperbesar.

Pantas saja, panas matahari yang jauh di sana bisa dengan cepat membakar kertas. Lensa dari kaca pembesar bekerja secara baik. Ia mendekatkan yang jauh. Lensa bertindak memfokuskan cahaya yang datang, sehingga energi panasnya mudah kita dapati.

Di bagian tengah lensa yang tebal itu energi matahari berkumpul. Kalau aku membayangkan, seolah-olah energi matahari disedot oleh lensa. Hasilnya, ya tak lama begitu kertas terbakar. 

Begitu kan Mas? Aku masih ingat kok penjelasan dari guru Fisikaku. Meski tidak sempat praktik. Terima kasih, kamu mengajakku praktik terlebih dulu, tanpa tahu teori. Aku kamu pintar juga. Kamu seperti Newton. Telah menciptakan sebuah temuan yang menarik dan menyenangkan.
Bagaimana Mas, apakah kamu sudah siap untuk bereksperimen lagi? 

Kali ini aku usul ya, kertas diganti dengan perapian rumput atau daun. Sudah kusiapkan semuanya. Kebetulan dedaunan kering tadi belum aku buang ke tempat sampah. Bisa kan itu kita manfaatkan. Sebab, dari guru Fisikaku mengatakan, bahwa daun, ranting, kertas, kapas, rumput kering bisa dijadikan bahan eksperimen.

Oke Mas, aku tunggu di tanah lapang ya. Di tempat biasa kita melepaskan ion-ion dalam tubuh, kemudian saling bertatapan. Kali ini, cukup kita bereksperimen saja. Bulan puasa. Baiknya kita menjaga tatapan mata, supaya tidak timbul nafsu.

Jika kamu kurang berkenan dengan usulan tadi. Bisa kok, dengan senang hati kembali pada kertas atau kamu memiliki benda lain. Aku rasa nanti pengetahuan dan wawasan kita akan bertambah apabila mencoba dengan benda lain. Hehehe, asalkan jangan aku yang dijadikan objek karena tidak pun kena lensa, rasanya sudah terbakar. Hohoho.

Sampai berjumpa di tanah lapang, terkasih Mas Fendik berkoko.

Suci Ayu Latifah
26.04.2020



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...