Langsung ke konten utama

Eksistensi Cinta dan Filosofi Kesetiaan



 
Pelangi melingkar di langit Aceh. Keindahannya terbit usai hujan badai. 29 tahun kota ini dirundung duka.

Hari Mulai Terang adalah novel sejarah konflik Aceh pada musim politik Soeharto. Novel ini berbeda dengan novel-novel Arafat sebelumnya. Kali ini, pengarang tidak lagi bercerita tentang kepedihan dan kepiluan rakyat Aceh. 

Di puncak tahun perdamaian, kegiatan perekonomian dan perkumpulan sosial perlahan membaik. Budaya salat tarawih dan tadarus kembali meramaikan bulan Ramadhan. Berbeda pada tahun-tahun pembantaian seperti di novel Lolong Anjing di Bulan, tidak ada kegiatan sosial keagamaan. Malah-malah satu hari sebelum Ramadhan, tentara mengumpulkan rakyat di depan masjid. Mereka disiksa di bawah terik musim kemarau. Ada di antara mereka daun telinganya dipotong. Para perempuan disuruh berjongkok hingga terkencing-kencing. 

Arafat Nur adalah penulis sejarah Aceh dari berbagai sudut pandang penceritaan. Kelihaiannya mendetailkan cerita—menarasikan peristiwa amat baik. Ia mampu memporakporandakan kejiwaan pembaca melalui diksi yang apik. Tiada yang cacat dalam bercerita, sehingga rasa pilu turut mengalir dalam lorong jiwa pembaca.

Buku ini hadir serupa matahari. Pengarang Lampuki ini mengabarkan kebaikan. Pertama, tidak ada lagi pertingkaian antara kelompok pemberontak Aceh dan tentara Indonesia. Kedua, kehidupan sosial Aceh perlahan mulai membaik. Ketiga, tentara Indonesia bekerja sama dengan masyarakat Aceh untuk menumbuhkan kehidupan yang baik. Dan, keempat adalah kembalinya kisah sepasang cinta yang sempat terpisah.

Disuguhkan secara berbeda, Hari Mulai Terang berkisah percintaan dua manusia yang sempat terpisah. Adalah Lela dan Khalil. Kebahagian atas cinta itu tertunda karena sebuah tuduhan pada Khalil. Ganilah penyebabnya. Kakak Lela mengabarkan pada tentara bahwa Khalil telah membantu perjuangan pejuang. Hukuman 15 tahun penjara akhirnya diterima.

Inilah eksistensi cinta dan filosofi kesetiaan dimulai. Cinta Lela tetaplah pada Khalil. Ia menunggu sampai kekasihnya kembali.

Sepeninggal Khalil, Lela menjaga diri dan cintanya. Ia tidak menerima cinta dari siapapun, termasuk Marwan dan Leman. Kedua laki-laki itu menyukai Lela dan hendak menikahi Lela. Namun, Lela menolak dengan alasan belum siap untuk menikah dan berkeluarga.

Eksistensi cinta, mengajarkan kita bagaimana meletakkan dan memandang cinta sebagai perisai kehidupan. Sebagaimana dikutip Ibnul Qayyim dalam Ad-Dā’ wa’d-Dawā bahwa cinta itu:

Cinta dapat meringankan yang berat,
melembutkan jiwa,
membersihkan hati yang keruh,
mendatangkan ketenangan perbuatan yang mulia, 

Cinta mampu membuat penakut menjadi pemberani,
mencuci akal yang bodoh,
membentangkan telapak tangan yang bakhil,
merendahkan ketinggian raja-raja,

menaklukan moral yang telah liar,
menjadi pendamping bagi mereka yang sendirian,
menjadi teman setia bagi mereka yang tidak memiliki teman setia.

Terlepas pada eksistensi cinta terhadap sesama, novel ini haus berfilsafat tentang realitas kehidupan. Bahwa karya sastra senantiasa dekat dengan kenyataan yang telah ditafsirkan.

Penulis dengan rasa ketanahlahiran Aceh ini, mengungkap sebuah pemikiran atas dasar empirisme dan kritiisme sejarah konflik Aceh. Dampak kekerasan dan ketakadilan membuat buruk kota Aceh. Dari bidang apa pun kondisi ini berdampak. Katakanlah, bidang pendidikan tidak ada anak muda berpendidikan. Anak-anak diajarkan perang dan bertani. 

Kemudian, pada bidang perekonomian. Aceh, terkenal dengan kekayaan alamnya—kebun, minyak, gas alam, dan lainnya. Realitanya, rakyat miskin. Tidak banyak yang bisa makan dari hasil panen. Harga jual di pasar murah. Belum lagi, kalau tanaman mereka terserang hama. Sementara itu, bidang politik dan hukum adalah ketakseimbangan kekuasaan. Orang-orang yang terlibat pada pemerintahan bertindak secara otoritas. Hukum berlaku pada rakyat kecil. 

Sekali lagi, seumpama matahari, buku ini berkisah lain. Hadir sebagai relaksasi dan terapi jiwa. Sejenak menikmati kisah cinta yang berakhir pada hubungan serius. Eksistensi cinta mengajarkan manusia untuk berpikir tentang hakikat cinta—mencintai, dicintai, dan saling mencintai.

Judul             : Hari Mulai Terang
Penulis          : Arafat Nur
Penerbit        : TERAKATA
Tahun terbit  : Februari 2020
Tebal buku    : 170 halaman
ISBN            : 978-602-5457-31-9
Peresensi      : Suci Ayu Latifah


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...