Langsung ke konten utama

Lagu Berdamai dengan Alam


Hai, apa kabar? Dua hari selepas bangun tidur, aku merasa tidak enak pada tubuh. Rutinitas harian membuatku lelah, ditambah katakanlah sedikit ada yang mengganggu perasaan. 

Wanita, ia dibekali satu akal dan sembilan perasaan. Jangan salahkan kalau wanita-wanita ini banyak baper. Namun, jangan bangga. Kemarin 2/7 aku membaca sebuah kanal berita online sinyalponorogo.com.  Media itu memberitakan bahwa seorang lelaki berusia 50 tahun memilih gantung diri karena depresi ditinggal mati isterinya. 

Turut berbelasungkawa atas kematian lelaki atas nama Senen. Lelaki itu tinggal di kampungku, Pangkal Sawoo sana. Oh ya, dari postingan ada kalimat yang menimbulkan pertanyaan, “Semoga husnul khotimah!”

‘husnul khotimah’ menurutku tidak pas dikenakan pada kasus di atas. Husnul khotimah bukannya berarti orang yang mati dalam keadaan terbaik. Pertanyaannya, apakah kematian bunuh diri bisa dikatakan terbaik? Sesungguhnya, lema ‘baik’ yang mendapatkan imbuhan kata awal ter- ini memiliki makna dan arti luas, seperti apa?

Terlepas dari pertanyaan yang sesungguhnya membuatku pilu, tiba-tiba terlintas pikiran atas riset pengalaman pribadi dan orang lain, ditambah kasus di atas. Bilamana sakitnya fisik jika dilihat dampaknya tidak amat parah dan fatal dibandingkan sakitnya batin. 

Sederhananya, luka tersayat pisau diolesi minyak tawon cepat sembuh, atau melepuh karena terkena percikan air panas, diolesi salep bioplacenton akan baik-baik saja, tidak membekas, atau bisa juga diolesi kecap atau odol (pasta gigi). 

Kalau Ibuku, solusi terdekat diolesi kecap. Ibu selalu menyarankan untuk tidak disiram air dingin karena dapat merusak jaringan kulit dan membuat luka semakin dalam. Mengapa bisa, karena terjadi perubahan suhu yang berbeda.

Ngomong-ngomong, ilmiah sekali ya Ibuku. Ibu laiknya guru biologi yang banyak tahu beberapa persoalan, termasuk tentang luka. Lainnya ya ada lagi, kejadian itu yang paling mengena. Sebab, kodratnya perempuan Jawa rutinitas hariannya disibukkan masalah dapur. Meski bukan suatu kewajiban menurut agama, tetapi budaya Jawa, wanita itu kamar, dapur, sumur. 

Jadi ingat puisi Darmanto Jatman berjudul Isteri. Bagaimana sosok isteri, kedudukan dan posisinya, hak dan martabat hidup, kewajiban hingga eksistensinya di mata seorang suami. Kalau ingin tahu tentang puisi itu, bisa dicari di mesin pencari google. Mbah Google akan menuntunmu ke sana dengan senang hati.

Hari Selasa, masih dalam rutinitas seperti hari-hari sebelumnya—Senin, Sabtu, Jumat, Kamis, Rabu, dan Selasa. Mengapa Minggu tidak ada? Tersebab Minggu adalah hari yang istimewa untuk tidak mengetik suatu hal—ehh sebuah proyek besar berupa penelitian. Ya, itulah kegiatanku ketik-mengetik. Minggu, jadwal berkebun. Ditambah tiap sore hari, sekadar menyirami taman sayuran.
Di penelitian kedua ini aku akan mengangkat makna filosofis literasi berdasarkan tinjauan enam dimensi Gerakan Literasi Nasional. Dimensi-dimensi itu di antaranya ada baca-tulis, numerasi, sains, digital, finansial, dan budaya dan kewargaan. Objek kali ini, lagi-lagi novel Arafat Nur dengan judul Bayang Suram Pelangi.

Nampaknya akulah peneliti pertama. Sejauh ini, belum kujumpai orang yang meneliti novel ini. Berbeda dengan novel yang diteliti dua temanku, Tempat Paling Sunyi dan Burung Terbang di Kelam Malam. Dua novel itu sudah ramai di google scholar. Mungkin saja karena terbitan 2018 jadi belum ada yang meneliti, atau memang karena ketidaksanggupan meneliti novel setebal 384 halaman. Hehehe.

Aku bisa memahami beberapa kasus peneliti memang menghindari novel berat yang dilihat dari: (1) tebal halaman, (2) tema cerita, (3) penceritaan yang sulit dipahami, seperti novel terjemahan, dan alasan-alasan lain.

Oke, kali ini aku tidak akan membahas tentang penelitian. Kita santai saja. Bermain-main pada keilmuan alam yang dekat dengan kita.

Di tulisan kali ini aku hendak bercerita tentang daun kelor. Apakah kamu tahu daun kelor? Jika tahu, tentu di sekitarmu ada tumbuhan itu. Barangkali, kamu malah-malah pernah mengonsumsinya untuk sayuran.

Sekitar pukul 08.00 WIB, Bapak menebang sedikit dahan dan ranting pohon kelor milik tetangga. Ia memisahkan daun yang muda dan tua. Dipoteki dari rantingnya.  Batang antingnya, sebagian disisihkan untuk ditanam.

Bapak bilang, tumbuhan berkhasiat—obat dari segala obat. Ya, beberapa orang di kampung memanfaatkan daun ini obat. Salah satu khasiat yang kutahu adalah untuk mengobati orang meninggal. Maksud aku bukan obat untuk membuatnya hidup kembali. Namun, lebih pada obat penangkal dan penghilang ilmu gaib yang dimiliki oleh seseorang. Masyarakat menyebutnya sebagai jimat.

Daun kelor diikutsertakan saat pemandian jenazah. Selain kembang boreh, daun kelor turut mengisi bak berisikan air.

Kelor oh kelor, ternyata banyak khasiatnya. Pantas saja banyak yang menanam. Kelor tumbuh di mana-mana. Cara menanamnya mudah. Dia cocok tumbuh di daerah tropis, seperti Indonesia. 

Hampir setiap rumah di kampungku menanam tumbuhan ini. Kebanyakan ya untuk sayuran. Biasanya ditumis, dimasak sayur asam. Hal mengejutkan di sebuah kota tertentu ada yang menyediakan menu makanan dengan olahan daun ini. Aku tahu di daerah kelahiran teman, Ida Bhoa, kota Flores. 

Bapak pernah ke sana, masuk ke restauran itu dan menikmati beberapa sajian daun kelor. Persoalan rasa biasa saja, seperti sayuran pada umumnya. Hanya saja, baunya dapat dikenali ketika masih mentah.

Dicium dari baunya, daun ini mirip sekali dengan aroma obat antibiotik—Amoxicillin. Aromanya menyengat, aku tidak begitu menyukai baunya. Bau daun kelor lebih terasa pada daun yang masih muda, sementara daun yang agak tua dan sudah tua tidak begitu terasa.

Oh ya, tentang kelor baik dimakan sebagai sayuran untuk wanita. Utamanya ibu-ibu yang sedang menyusui. Kandungan gizi yang terdapat dalam kelor dapat membantu produksi ASI. Beberapa Ibu muda mengonsumsi daun ini di awal menyusui. Ampuh, ASI-nya melimpah. Si bayi jadi tenang.

Khasiatnya ampuh, tumbuhnya mudah, dan potensi menambah oksigen di bumi, ditanamlah tumbuhan ini di kebun. Ya, hari ini aku menanamnya. Semoga bisa tumbuh sehat, lebat, dan berkhasiat untuk kehidupan.

Alam, berdamai dengannya—mencinta, melestarikan, dan menjaganya. Adalah upaya menyemai kehidupan asri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...