Langsung ke konten utama

Pikiran yang Memengaruhi Emosi


Ciptakan langkah terbaikmu mulai hari Senin, hingga berjumpa di hari Senin lagi.

Selamat hari Senin bagi kalian yang melaksanakan upacara bendera, sebelum wabah ini dimulai. Selamat pula, untuk kita yang tidak lagi merayakan momen semacam itu. Kangen? Pernah sekali waktu mampir.

Seorang teman pagi-pagi curhat kepadaku. Tanpa kusebut namanya untuk menghormatinya, dia mengetuk embun. Membuka tirai basah karena matahari Senin belum muncul. Tepatnya pukul 04.30 WIB dia datang.

Melepas sandal dengan terburu-buru, kemudian mengganggu mimpiku yang bisa dibilang cukup menyenangkan. Hmm, dia mau curhat. 

Hatinya bergemuruh, barangkali dia tengah bersedih. Dugaanku benar. Tubuhnya layu di pinggir keranjang kamar. Berkali-kali meremas-remas tangannya sendiri.

Kupinta dia untuk tarik napas hingga merasa rileks dan lebih rileks dari sebelumnya. Dia melakukan itu hingga lima kali. Oke. Setelah tarikan kelima, dia mulai membuka pintu kemuramannya.

“Aku sudah menikah selama seminggu.  Belum sekalipun suamiku menggauli. Aku tidak tahu mengapa, padahal kami kenal sudah lama. Pernikahan dua keluarga juga baik-baik saja,” curhatnya.
Aku langsung terbangun. Maksudku tersadar lebih sadar dari sebelumnya. Sebelumnya, aku masih malas ditambah kesal karena mimpi indahku kandas.

Pagi itu dia banyak cerita, sementara aku bertindak sebagai pendengar saja. Setelah ba bi bu, dia menarik napas, kemudian menepuk pundakku.

“Astaga...!”, “Itu pernyataan apa?” aku tergagap, kemudian melepas selimut. Ternyata itu bagian dari mimpiku.

Pengaruh pikiran
Bukan aku memikirkan, bahkan membayangkan pernikahan yang rumit, hubungan suami-istri yang kurang berasa. Komunikasi adalah kunci utama dalam pernikahan. Bukan pula, aku memikirkan siapa yang kelak akan menjadi pendamping. Namun, aku rasa secara umum itu manusiawi. Barangkali, terlintas di suatu waktu.

Tiba-tiba, saya merasa sedih, begitu mendengar teman curhat. Padahal itu hanya mimpi.

Beruntunglah rasa sedih itu tidak mengganggu aktifitas di hari Senin. Aku tetap semangat menyiapkan makanan, membersihkan rumah, mengetik, dan mengurus kebun—menyirami sayuran yang sudah tumbuh sekitar 10 sentimeter. Tapi, hatiku merasa sedih.

Sedih, tentu kita pernah mengalami hal semacam itu. Mengapa orang merasa sedih. Setelah buka-buka buku psikologi, rasa sedih itu akan berlabuh pada semua manusia, ingat tanpa kecuali. Itu bagian gejala bipolar. Sebuah perasaan yang amat aneh. Terkadang kita bisa sekali waktu amat sangat bahagia, dan sebaliknya. 

Tidak perlu khawatir, kajian psikologi mengungkap sedih terjadi karena: (1) keinginan yang tidak terwujud, (2) kehilangan sesuatu, (3) kecemasan tidak jelas (mendekati depresi), (4) ingat memori buruk, masa lalu, bisa jadi trauma, dan masih banyak lagi.

Siapa aku? Mengapa bisa memengaruhi emosional diri sehingga merasa sedih?

Butuh kesadaran, lalu memahami gejala kejiwaan diri. Sedih timbul bisa karena diri sendiri dan pengaruh orang lain. Contoh sederhananya, ketika kita melihat atau menyaksikan tontonan yang menayangkan adegan perpisahan. 

Tanpa sadar, otot-otot mata menegang, kemudian mata kita berembun. Mengapa itu terjadi, karena kita hanyut—masuk dan terbawa apa tontonan itu. Atau kaitanya dengan pengalaman diri, kita pernah mengalami momen yang sama. Momen itu terpanggil ulang, walhasil merasa sedih.

Beberapa hari ini aku membaca majalah Matra. Adalah majalah pria. Sekali lagi, Matra adalah majalah pria. Namun, anehnya bersampul wanita. Wanita cantik, dengan gaya yang sensual. Berpakaian kurang bahan, bening, dan terkesan menampakkan keindahan tubuhnya.

Majalah ini banyak mengungkap tentang persoalan seks yang dialami pria, respon seks pada wanita dari usia remaja hingga lanjut usia. Di masyarakat kita, hingga detik ini memandang seks adalah suatu yang tabu untuk dibahas. Sementara, secara terang-terangan mereka melakukan hal-hal yang berkaitan dengan seks. Padahal seks itu perlu, penting untuk diketahui dan dijelaskan. Bukan untuk mengajarkan keseronohan, bukan. Dengan belajar seks, kita bisa tahu perubahan diri. Kita tidak buta, bisa mengenali gejala diri.

Bukan sesumbar, soal seks semua butuh. Hanya kadar seseorang saja yang berbeda. Buktinya, ada suatu tempat yang disebut-sebut dengan kompleks. Itu ekstrimnya. Nyatanya, kita sudah berdamai dengan cara menerima. Ups, atau barangkali kita sebagian dari mereka yang turut meramaikan.

Berbeda dengan majalah Femina, Kartini, Wanita Indonesia, Perempuan, dan masih banyak lagi. Majalah-majalah itu ya membahas tentang wanita. Dari masalah paling kecil hingga masalah paling rumit sekalipun.

Sekali lagi, Matra adalah majalah pria, tapi banyak membahas tentang wanita. Wanita memang asyik untuk diperbincangkan.

Apa yang dibahas, 75% berkaitan dengan seks. Banyak hal yang kuketahui, kemudian timbul ribuan pertanyaan. Beruntunglah, melalui bahasanya yang luwes, lugas, dan komunikatif aku bisa memahami sendiri, tanpa terjemah.

Pertanyaannya, mengapa aku membaca majalah ini? Semua bermula karena Bapak yang membaca, lalu menceritakan sebuah kasus. Setelah itu timbul rasa penasaran. Sekarang darurat kan, jadi tahu. Masuk ke alam bawah sadar, sampai terbawa mimpi.

Kembali pada rasa sedih, dalam kajian psikologi sedih termasuk ke dalam klasifikasi bentuk emosi menurut Decrates. Bentuk emosi lainnya ada hasrat, sedih/duka, heran, cinta, dan kegembiraan. Sementara Watson, memandang bentuk emosi lebih sederhana ada tiga. Di antaranya ketakutan, kemarahan, dan cinta. Emosi memang ada yang positif dan negatif. Itu dampak dari kondisi dalam diri maupun luar diri. 

Itu wajar. Tersebab, seringkali kita mengalami pergolakan diri. sepakat dengan Goleman dalam buku Kecerdasan Emosi, bahwa emosi ialah setiap kegiatan atau pergolakan perasaan, pikiran, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. 

Emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dari serangkaian kecenderungan individu untuk bertindak.

Kesimpulannya, mengapa rasa sedih itu muncul. Penting memahami diri, memutar waktu mengingat ulang kejadian apa atau sesuatu yang berkaitan dengan rasa sedih. Halnya yang aku rasakan adalah itu terjadi setelah beberapa hari membaca tulisan tentang problem kehidupan masa kini. Sedih, ya bodohnya terlalu hanyut. Itulah dorongan sedih dari luar diri karena bacaan.

Bolehlah, sekali waktu kita merasakan apa yang dirasakan orang lain. Pesan terbaik, asal bisa kontrol diri. Sebab, ini bisa berdampak luar biasa. Sebutlah trauma untuk, untuk, dan untuk sehingga tidak mau dan akan melakukan sesuatu, sesuatu, dan sesuatu itu.

Kalau coba-coba, siapkan kontrol diri. Mari bersiap. Niatkan untuk belajar sebagai penambah pengetahuan dan wawasan. Tidak ada yang salah, semua benar.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...