Langsung ke konten utama

Kopi



Pagi itu, sebuah cangkir tembus pandang mengisi meja dapur. Di sisinya terdapat teko berisikan gula pasir dan bubuk kopi hitam. Adegan membuat kopi akan dimulai. 

Bubuknya yang hitam menyembul ke atas begitu dituangkan air panas. Bubuk itu menimbulkan gelombang kecil. Beruntung tidak tumpah. Si pembuat sudah terlalu lihai dalam hal membuat kopi.
Kopi sudah tersaji di meja makan. Nampak cantik begitu diberi piring kecil tembus padang pula. Namun, tak jarang peminum memanfaatkannya, berbeda dengan beberapa orang yang aku ketahui. Begitu kopi datang, mereka sibuk dengan menciptakan kerusuhan kecil. Rupanya, mereka mengaduk kopi. Pikirku, apakah itu seni meneguk kopi di warung? Usainya, kopi dituang pada piring kecil.

Tentang penikmat, sekaligus pecandu kopi, mereka memiliki gaya tersendiri dalam meneguk kopi. Bapak pernah bercerita, ada seorang teman yang minum kopi dengan meminta dituangkan oleh pembuatnya. Ada lagi yang unik, dan mungkin ini esensinya, minum kopi dengan memangku pembuatnya. Bagaimana rasanya? Katanya berbeda. Beda diharga, barangkali itu.

Aku sendiri pernah menjumpai, penikmat kopi yang nampak merumitkan diri. Suatu hari, aku berkunjung ke rumah teman. Dia memiliki seorang Kakek. Kebetulan, tiba aku di sana Kakeknya minta dibuatkan kopi, setelah itu, dengan terburu-buru si Kakek pergi ke ladang samping rumah. Di tangannya membawa secangkir kopi dan tangan satunya membawa sejenis gorengan, entah apa. Cerita punya cerita, itulah keunikan Kakek—meneguk kopi sambil memandangi tanaman menghijau.

“Bahagia itu sederhana. Bisa minum kopi sambil menikmati aroma ladang yang subur,” katanya.

Kopi, sekali lagi nikmatnya terletak pada pahitnya. Aku bilang, ia laksana kehidupan. Tentang bagaimana cara menikmatinya tergantung masing-masing. Sebagaimana kehidupan, bagaimana bentuk dan rupa kehidupan tergantung pemilik kehidupan itu sendiri. Ada pahit, pula manis. Semua bisa dibuat dan dipesan sesuai selera. 

Kehidupan yang kita jalani saat ini adalah buah dari kita sendiri. Mau seperti apa dan bagaimana ceritanya tergantung kita. Orang lain, hanyalah perantara. Di balik itu, ada Tuhan yang menuliskan jalan cerita kehidupan. Semua hal yang terjadi pada diri, sudah dirangkai di kitab kehidupan. Kita tidak tahu setelah hari ini, esok bagaimana. Katanya, takdir. Pertanyaannya, bisakah takdir itu diubah? Ada dua pendapat, bisa dan tidak. Tentang ini amat rumit, amat berat, amat membuat kelu bila dipikirkan.

Bagaimana hidup, nikmati saja seumpama meneguk kopi. Kebahagiaan dan kesedihan hidup, sejatinya perjalanan indah menapaki kehidupan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...