Hidup, hakikatnya berkutat pada hukum kausalitas. Kita tidak dapat mengelak dengan berbagai alasan. Renungkan, pahamkan, maknakan hidup sebagai perbuatan baik untuk masa datang.
Hukum kausalitas, senantiasa mengajarkan untuk berpikir secara kritis. Sebabnya apa, akibatnya bagaimana, atau akibatnya seperti ini, sebabnya dari apa. Kita perlu sadar tentang hal ini.
Mengapa saya begini? Mengapa kamu begitu? Mengapa kalian demikian? Itu hukum kausalitas.
Hukum kausalitas akan menjadi cerita bagi kita. Sarana dan prasarana di bumi menjadi saksi, perantara atas apa yang kita perbuat dan lakukan.
Saya menulis miliki sebab-akibat. Semua tidak berjalan begitu saja. Pikiran dan tindakan menulis juga tidak muncul dengan sendirinya. Ada sebab yang mengiringi, sehingga saya harus menulis.
Tugas, bisa jadi itu kalau kaitannya di sekolah.
Kewajiban, semua tidak bisa dipaksakan untuk mengikuti aturan.
Emosional, ya itu jawaban yang saya rasa ada benar.
Emosional, hasrat, nafsu, birahi adalah perasaan yang timbul dalam diri setiap manusia. Saya mengalaminya, dan saya yakin kita pernah merasakan itu.
Halnya, perasaan sedih dan bahagia, kita pernah mengalami fase itu.
Putus cinta, bagi remaja adalah gejolak kecil yang menjadi besar. Emosional remaja, memang dengan mudah berkontraksi begitu perasaan itu muncul. Arswendo Atmowiloto, pernah putus cinta, ehh tepatnya ditolak oleh seorang wanita. Apa yang ia lakukan sebagai alternatif mengobati perasaannya itu. Arswendo memilih menuliss. Dia menulis cerpen, yang kemudian termuat di sebuah media. Cerpen itu kemudian dikirimkan ke seorang gadis yang dicintainya.
Pelarian yang baik. Menulis bisa menjadi katarsis jiwa. Membersihkan apa yang terjadi dan dialami oleh diri manusia, yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Menulis itu meluapkan emosi. Naning Pranoto, menjadikan menulis sebagai terapi--luka hati, luka jiwa, luka cinta.
Selain kedua orang itu, orang-orang besar di dunia menjadikan menulis sebagai alat. Ia bisa bercerita dengan amat luas, memaki-maki seseorang tanpa membuat orang itu sedih. Karenanya, menulis hakikatnya melepaskan semua perasaan dan kejiwaan manusia.
Menulis. Saya seperti Arswendo, yang karena cinta saya harus menulis. Bagi saya, menulis adalah sebuah aktifitas mengeluarkan semua kotoran yang ada di pikiran. Membersihkan, menguras, menyikat, dan kemudian menyiramkan dengan gelontoran air.
Saya jadi berpikir, apa yang terjadi pada diri saat itu apabila tidak bertemu dengan dunia mendebarkan ini. Bunuh diri, hmm terlalu konyol untuk sebuah cinta. Memaki-makinya, kalau bisa cukup dalam hati saja. Kesalahan, melakukan hal salah bagi seorang manusia adalah manusiwi. Bukankah kesempurnaan hanyalah Allah semata? Saya memilih menulis untuk mengobati luka.
Dalam hal ini,untuk kalian, saya tidak menyarankan untuk mengikuti cara yang sama. Kebebasan adalah milik kita--bagaimana kalian bisa mengobati diri dengan caramu sendiri, tanpa menyakiti diri dan terlebih orang lain.
Namun, bagi saya menulis adalah pilihan yang saya ambil. Lewatnya saya bisa meluapkan emosional diri hingga batin terasa puas, dan fisik tidak lagi merasa sakit. Hmm, ingat sakit hati yang berlebihan bisa berdampak pada sakitnya fisik. Untuk itu, jangan sampai terjadi.
Lupakan dan lakukan yang terbaik untuk masa depanmu. Hidup memiliki banyak persoalan, salah satunya masalah dengan perasaan.
Hukum kausalitas, senantiasa mengajarkan untuk berpikir secara kritis. Sebabnya apa, akibatnya bagaimana, atau akibatnya seperti ini, sebabnya dari apa. Kita perlu sadar tentang hal ini.
Mengapa saya begini? Mengapa kamu begitu? Mengapa kalian demikian? Itu hukum kausalitas.
Hukum kausalitas akan menjadi cerita bagi kita. Sarana dan prasarana di bumi menjadi saksi, perantara atas apa yang kita perbuat dan lakukan.
Saya menulis miliki sebab-akibat. Semua tidak berjalan begitu saja. Pikiran dan tindakan menulis juga tidak muncul dengan sendirinya. Ada sebab yang mengiringi, sehingga saya harus menulis.
Tugas, bisa jadi itu kalau kaitannya di sekolah.
Kewajiban, semua tidak bisa dipaksakan untuk mengikuti aturan.
Emosional, ya itu jawaban yang saya rasa ada benar.
Emosional, hasrat, nafsu, birahi adalah perasaan yang timbul dalam diri setiap manusia. Saya mengalaminya, dan saya yakin kita pernah merasakan itu.
Halnya, perasaan sedih dan bahagia, kita pernah mengalami fase itu.
Putus cinta, bagi remaja adalah gejolak kecil yang menjadi besar. Emosional remaja, memang dengan mudah berkontraksi begitu perasaan itu muncul. Arswendo Atmowiloto, pernah putus cinta, ehh tepatnya ditolak oleh seorang wanita. Apa yang ia lakukan sebagai alternatif mengobati perasaannya itu. Arswendo memilih menuliss. Dia menulis cerpen, yang kemudian termuat di sebuah media. Cerpen itu kemudian dikirimkan ke seorang gadis yang dicintainya.
Pelarian yang baik. Menulis bisa menjadi katarsis jiwa. Membersihkan apa yang terjadi dan dialami oleh diri manusia, yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Menulis itu meluapkan emosi. Naning Pranoto, menjadikan menulis sebagai terapi--luka hati, luka jiwa, luka cinta.
Selain kedua orang itu, orang-orang besar di dunia menjadikan menulis sebagai alat. Ia bisa bercerita dengan amat luas, memaki-maki seseorang tanpa membuat orang itu sedih. Karenanya, menulis hakikatnya melepaskan semua perasaan dan kejiwaan manusia.
Menulis. Saya seperti Arswendo, yang karena cinta saya harus menulis. Bagi saya, menulis adalah sebuah aktifitas mengeluarkan semua kotoran yang ada di pikiran. Membersihkan, menguras, menyikat, dan kemudian menyiramkan dengan gelontoran air.
Saya jadi berpikir, apa yang terjadi pada diri saat itu apabila tidak bertemu dengan dunia mendebarkan ini. Bunuh diri, hmm terlalu konyol untuk sebuah cinta. Memaki-makinya, kalau bisa cukup dalam hati saja. Kesalahan, melakukan hal salah bagi seorang manusia adalah manusiwi. Bukankah kesempurnaan hanyalah Allah semata? Saya memilih menulis untuk mengobati luka.
Dalam hal ini,untuk kalian, saya tidak menyarankan untuk mengikuti cara yang sama. Kebebasan adalah milik kita--bagaimana kalian bisa mengobati diri dengan caramu sendiri, tanpa menyakiti diri dan terlebih orang lain.
Namun, bagi saya menulis adalah pilihan yang saya ambil. Lewatnya saya bisa meluapkan emosional diri hingga batin terasa puas, dan fisik tidak lagi merasa sakit. Hmm, ingat sakit hati yang berlebihan bisa berdampak pada sakitnya fisik. Untuk itu, jangan sampai terjadi.
Lupakan dan lakukan yang terbaik untuk masa depanmu. Hidup memiliki banyak persoalan, salah satunya masalah dengan perasaan.
Komentar
Posting Komentar