Bayang Suram Pelangi merupakan novel sejarah berlatar cerita Aceh. Bergaya cerita detail, luwes, dan kronologis mengungkap keadaan sosial pada masa pemerintahan Soeharto, yang kemudian dilanjutkan presiden wanita satu-satunya, Megawati Soekarnoputri.
Dialog dan narasinya yang detail
menggambarkan peristiwa dan suasana di tahun-tahun pembantaian. Sekitar 29
tahun, kota itu dirundung pilu, hingga terjadi kesepakatan damai antara
kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia.
Bayang Suram Pelangi, novel
sejarah beraroma tragikomedi, dapat dijadikan buku pengetahuan, sekaligus hiburan. Pembaca akan
dihadapkan pada momen tertawa kecil hingga sakit perut. Tidak seperti
novel-novel sebelumnya.
Kali ini peraih juara DKJ 2016 ini, tidak
banyak menyuguhkan adegan-adegan mengerikan. Itu,
tergambar pada novel Percikan Darah di Bunga (Basabasi, 2017), Lolong
Ajing di Bulan (2019), Lampuki (Gramedia, 2019), Tanah Surga
Merah (Gramedia, 2019), dan novel lainnya yang mengandung unsur kekerasan.
Penulis Memotret
Cerita bergerak melalui tokoh anak remaja
bernama Saidul. Ia dikenal sebagai pribadi yang unik dan kritis. Dikatakan unik
karena sikap dan tingkah lakunya seperti anak kecil. Padahal usianya sudah
menginjak sekolah menengah pertama kelas II. Anak
Rusli si tukang bangunan itu suka menjahili kucing saat kawin dan menjepret
kelamin pada kucing jantan sampai bengkak.
Saidul pula tokoh yang kritis. Ada banyak hal yang ia kritisi. Termasuk penemuan karet gelang, alat
penjerat burung, dan hal lain yang menurutnya tidak masuk akal. Tokoh ini disukai tentara bernama Tumiren. Saidul anak yang
cerdas dibandingkan temannya Ismail, yang suka tidur dan menjawab asal-asalan
saat ujian. Tak
jarang, tentara berkunjung ke rumahnya. Malah-malah Adiknya, Aini menikah
dengan tentara bernama Muliadi.
“Sesekali, tatkala aku melewati pos,
mereka memanggil dan memberikan aku ransum: berupa biskuit dan ikan kaleng
(hal.223).
Melalui latar cerita di Kampung
Meurawoe, khas tema kekerasan, novel ini memotret keadaan
dan kondisi sosial, serta kejiwaan rakyat Aceh. Dampak dari
penjarahan yang dilakukan tentara dari berbagai aspek, utamanya bidang ekonomi.
Selanjutnya, budaya mistis yang diyakini masyarakat.
Setebal
384 halaman, budaya itu terceritakan tiga dukun sakti
yang memiliki keahlian masing-masing. Mereka bersekutu dan bersekongkol dengan
makhluk halus demi keselamatan diri dan lingkungan. Tak jarang, mereka juga
bertindak demi memenuhi keinginan diri. Dukun-dukun itu Senan, Samsi, dan
Juhun.
Senan terkenal dengan jampi-jampi dan
ilmu perabun. Samsi, kesaktiannya mengangkat pohon kelapa kemudian merintangi
jalan, sedangkan Juhun ahli membuat orang sakit. Kemudian, ada Abdullah Chik,
Kakek Saidul yang lebih dikenal sebagai dukun menyembuhkan sakit menggunakan ramuan
rempah-rempah.
Tidak bisa dimungkiri, pada masa itu
kepercayaan terhadap hal mistis masih kental. Sekalipun, ajaran Islam sudah
masuk di sana. Sebagaian masyarakat masih melanggengkan warisan nenek moyang
sebagai pelangsung hidup. Sebab itulah, agama Islam dan budaya mistis berjalan
beriringan tanpa ada perdebatan.
Novel itu berkisah pula asmara
terhadap lawan jenis. Pelakunya adalah Saidul, tentara, dan pemberontak Aceh.
Tanpa disadari, Saidul jatuh hati pada Zahra, anak keturunan Tiongkok itu. Ia
mencari kesempatan sekadar bertemu dengannya. Ketika malam, ia
membayangkan Zahra, hingga sebuah imaji
hubungan percintaan.
Kisah cinta tentara adalah hubungan
gelap dengan gadis-gadis kampung. Sarah menjadi korban pemerkosaan Jumali.
Kemudian, tokoh gadis kampung lainnya dengan sukarela mendatangi kantor pos
tentara. Hubungan asmara bersama tentara, juga terjalin oleh Zahra
diakhir cerita. Gadis itu akan menikah dengan tentara asal Lhamhok.
Bagaimanapun, Bayang Suram Pelangi adalah
novel dari secuplik sejarah Aceh. Dilihat dari pemaknaan judul secara implisit
menggambarkan sebuah keadaan seindah pelangi. Setelah
bertahun-tahun hidup seperti lembu, kedamaian menjadi cita-cita bersama.
Nyatanya, hanya menjadi bayangan. Sekalipun kondisi tidak mencekam seperti
tahun-tahun sebelumnya, tetap saja yang namanya kekerasan masih ada. Baik itu
kekerasan dalam bentuk batin maupun fisik.
Sebagai sebuah karya sastra novel yang
baik dari penulis penting Indonesia, novel Bayang Suram Pelangi menyimpan
segudang ilmu pengetahuan alam, wawasan sejarah, realitas tragikomedi yang
sarat nilai-nilai kehidupan.
Hal ini mengingatkan pandangan Aristoteles bahwa
sastra merupakan karya yang menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak
bisa disampaikan dengan cara yang lain. Sastra menjadi medium ekspresi yang
khas. Lewat pikiran ekspresi, sastra menjadi pionir menyuarakan orisinalitas.
Sastra pula, sebagai wadah pengajaran
tentang eksistensi kehidupan secara hakiki. Hidup tak sekadar hidup. Namun,
hidup yang saat akan pemahaman, pemaknaan, dan penyadaran. Sebuah tahapan
mengantarkan pada paradigma kebermafaatan hidup.
Judul Buku: Bayang Suram Pelangi
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: Diva Press
Tahun Terbit: April 2018
Tebal Buku: 284 halaman
ISBN: 978-602-391-531-6
Peresensi: Suci Ayu Latifah
Komentar
Posting Komentar