Langsung ke konten utama

Kebosanan yang Menjadi

Oktober yang lelah. 

Sesiang ini, aku merasa leleh. Bangun tidur, kepala terasa pening. Oke, aku tetap bangun karena waktu menunggu. Seperti biasa, dan inilah yang sering kali membuat ku bosan. Bosan, sungguh amat bosan, membosankan.

Laiknya emak-emak, pagi kusiapkan hidangan ikan goreng, dilengkapi dengan lalapan kemangi dan mentimun. Kemudian, nasi hangat sebakul. Pendamping ikan goreng, kubuatkan sambal kecap yang cabainya aku potong tipis-tipis.

Aku sarapan, tepat di pukul 07.35 tanpa ada rasa semangat. Rasanya, malas sekali mau makan. Dengan kata lain, sudah enek. Mau bikin teh hangat, ahh ya malas. Makan saja, sedikit, kasihan perut tidak diberi makanan ditambah sejak kemarin sore mual-mual. Hehehe, gejala hamil muda saja.

Usai sarapan, aku mandi. Membasuh tubuh. Kutuntun wajahku pada sajadah untuk kemudian salat dhuha. Dan, bekerja sebagai ghost writers.

Kali ini, kedua kalinya mengerjakan penelitian. Hmm, penelitian kedua amat berat. Pertama, dari teori yang digunakan adalah baru bagiku. Kedua, topik pembahasan yang di maknanya dalam, tidak sekadar makna pengertian. Ketiga, aku mencari ada filosofis apa di balik representasi sosial yang muncul. Di sini, benar aku mengarang berteori, berfilsafat.

Sungguhan, kata Bapak ini pekerjaan orang S3. Kalau aku bisa lolos, berarti gelar doktor kumiliki. Ya, doktor-doktoran.  

Keempat, suasana hati yang sedang dalam kondisi penantian--tentang jodoh dan karier. Di awal mulai mengerjakan penelitian, aku dihadapkan pada seleksi PNS. Di tengah perjalanan, diujikan tentang jodoh--rahasia ya. Dan, tampaknya di akhir-akhir ini persoalan kedua masih sisa, dan penantian pekerjaan semakin membara.

Tuhan, kuserahkan padamu. Beri terbaik untuk hari ini, esok, dan lusa.

Hari Sabtu, terasa amat panas. Kemungkinan, lantaran hujan sebelum subuh tadi pagi. Hujan yang menyisakan bau tanah, dan hawa yang tidak enak. Panas, sungguh panas. Dalam bahasa Jawa, diistilahkan dengan ungkep.

Tidak terasa, fokus pada penelitian membuat lena waktu. Siang menyapa dengan kebingungan. Mau masak apa? Tau lah. Inilah yang membuat bosan, jengkel, dan kesal. Sudah mikir masak, mikir lagi tentang apa, Hai praktik, tinggal praktik. Kok masih teori.

Akhirnya, siang masak sayur bobor, tempe goreng, dan sambal bawang. Sudah selesai, dan aku belum makan siang ketika menulis ini. Mengapa? karena rasanya tambah panas kalau tidak segera diluapkan.

Sedikit demi sedikit yang ada di sini kukeluarkan perlahan. Ditemani senandung lagu instrumen piano. Syukurlah, udara perlahan bersahabat sehingga dapat menuliskan ini. Tentang hari ini, aktifitas, perasaan, dan semuanya.

Terima kasih padamu kata-kata yang mau kumaki dan kucaci. Kebaikanmu dan keikhlasanmu adalah caramu memuliakan hati suci.

Selamat, sampai jumpa kali waktu dalam keadaan dan situasi lain.

Make your day beautiful, please!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...