Perjumpaan denganmu, laksana embun--terbatas waktu.
Di balik tirai love yang baru saja kubeli di sebuah toko, kuintip kenangan itu. Aku menikmati pelan derum hujan musim hujan. Bau tanah merebak, memenuhi ruangan. Aku berusaha menguasai diriku untuk tidak terjebak pada masa, ketika kita ...
Hai Mas Fendik, kukabarkan padamu, musim hujan datang begitu lambat. Sekarang berada di pertengahan bulan Oktober. Mestinya ia hadir di bulan September-Oktober awal. Tampaknya, cuaca memang telah berubah Mas. Sebagaimana aku, harus bangun awal untuk sekadar menghirup aroma embun.Itu yang bisa kulakukan untuk mengingatmu.
Perubahan cuaca mendatangkan embun lebih singkat. Kalau kau tanya, tidak cukup untuk aku menyelesaikan cerita tentang kepingan-kepingan kenangan kita. Akan ada kerumpangan setiap latar peristiwa dan suasana yang kutulis. Tentu, bagaimana pun kenangan itu terjadi maunya utuh dengan sederet cerita dalam bayang.
Oh, Mas Fendik ajariku tentang kerelaan dan keikhlasan.
Jalan mulai basah dengan sedikit tangisan langit pagi ini. Perasaan kesal, bukan menjadi sebuah alasan untuk tidak kembali mengintip kenangan itu. Empat musim, enam, bahkan tujuh musim telah kunikmati dengan kepingan hati layu. Aku lupa cara menyirami hati ini, Mas.
Dari kejauhan, dua anak usai sepuluh tahunan berjalan beriringan. Terjaga payung, mereka jalan sangat hati-hati. Maklum, jalan raya tidak cukup layak. Tubuhnya ada lubang yang dipenuhi air ketika musim hujan tiba. Bahkan, ketika kampung ini diguyur hujan berhari-hari, tidak ada seorang pun melewati jalan itu. Jalan itu milik air. Orang-orang memilih ngrong sembari menciptakan kepulan asap dari bagian belakang rumah.
Hujan di pagi hari, memagari semua aktivitas. Untuk sekadar beranjak dari ranjang, sungguh kira sangat berat. Aku menengok bibir-bibir pintu masih langgeng dengan selimut, bantal, dan gulingnya. Dengan gayanya, aku melihat dan merasakan hujan telah memberikan rasa--melanjutkan mimpi dan impian belaka. Mereka bergelayut pada alamnya yang entah sekarang ada di mana.
Namun, untuk aku Mas, sekali pun hujan tidak berbalas kasih kepada embun, aku percaya di balik hujan ini kali, embun itu ada. Kenangan itu ada. Aku pun percaya kenangan lebih kuat daripada hujan yang hanya datang pada musimnya. Tidak untuk embun, ia selalu ada meski terbatas waktu. Percaya aku, embun tidak berkhianat. Sekali pun waktu amat singkat memberinya kesempatan, aromanya bisa aku, kita nikmati bersama.
Dari jarak berjauhan, kita saling kirimkan napas lewat udara. Embun akan menyampaikan, entah kapan tibanya--embun terbatas waktu, Mas. Kau mengerti kan? Dan, embun, hujan, dan kenang ia menjelma bait yang semoga berbalas.
mengorek kenangan
di balik genangan
hujan tak berbalas, tidak beralas datang
yang aku tahu, ada yang meminta-memberi
menikmati daripada rintiknya,
aromanya, ceritanya tak usai
sebelum benar-benar energi bumi menyapa
salam.
Komentar
Posting Komentar