Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (20)

Perjumpaan denganmu, laksana embun--terbatas waktu.

Di balik tirai love yang baru saja kubeli di sebuah toko, kuintip kenangan itu. Aku menikmati pelan derum hujan musim hujan. Bau tanah merebak, memenuhi ruangan. Aku berusaha menguasai diriku untuk tidak terjebak pada masa, ketika kita ...

Hai Mas Fendik, kukabarkan padamu, musim hujan datang begitu lambat. Sekarang berada di  pertengahan bulan Oktober. Mestinya ia hadir di bulan September-Oktober awal. Tampaknya, cuaca memang telah berubah Mas. Sebagaimana aku, harus bangun awal untuk sekadar menghirup aroma embun.Itu yang bisa kulakukan untuk mengingatmu.

Perubahan cuaca mendatangkan embun lebih singkat. Kalau kau tanya, tidak cukup untuk aku menyelesaikan cerita tentang kepingan-kepingan kenangan kita. Akan ada kerumpangan setiap latar peristiwa dan suasana yang kutulis. Tentu, bagaimana pun kenangan itu terjadi maunya utuh dengan sederet cerita dalam bayang.

Oh, Mas Fendik ajariku tentang kerelaan dan keikhlasan.

Jalan mulai basah dengan sedikit tangisan langit pagi ini. Perasaan kesal, bukan menjadi sebuah alasan untuk tidak kembali mengintip kenangan itu. Empat musim, enam, bahkan tujuh musim telah kunikmati dengan kepingan hati layu. Aku lupa cara menyirami hati ini, Mas. 

Dari kejauhan, dua anak usai sepuluh tahunan berjalan beriringan. Terjaga payung, mereka jalan sangat hati-hati. Maklum, jalan raya tidak cukup layak. Tubuhnya ada lubang yang dipenuhi air ketika musim hujan tiba. Bahkan, ketika kampung ini diguyur hujan berhari-hari, tidak ada seorang pun melewati jalan itu. Jalan itu milik air. Orang-orang memilih ngrong sembari menciptakan kepulan asap dari bagian belakang rumah.

Hujan di pagi hari, memagari semua aktivitas. Untuk sekadar beranjak dari ranjang, sungguh kira sangat berat. Aku menengok bibir-bibir pintu masih langgeng dengan selimut, bantal, dan gulingnya. Dengan gayanya, aku melihat dan merasakan hujan telah memberikan rasa--melanjutkan mimpi dan impian belaka. Mereka bergelayut pada alamnya yang entah sekarang ada di mana.

Namun, untuk aku Mas, sekali pun hujan tidak berbalas kasih kepada embun, aku percaya di balik hujan ini kali, embun itu ada. Kenangan itu ada. Aku pun percaya kenangan lebih kuat daripada hujan yang hanya datang pada musimnya. Tidak untuk embun, ia selalu ada meski terbatas waktu. Percaya aku, embun tidak berkhianat. Sekali pun waktu amat singkat memberinya kesempatan, aromanya bisa aku, kita nikmati bersama.

Dari jarak berjauhan, kita saling kirimkan napas lewat udara. Embun akan menyampaikan, entah kapan tibanya--embun terbatas waktu, Mas. Kau mengerti kan? Dan, embun, hujan, dan kenang ia menjelma bait yang semoga berbalas.

mengorek kenangan
di balik genangan
hujan tak berbalas, tidak beralas datang
yang aku tahu, ada yang meminta-memberi
menikmati daripada rintiknya,
aromanya, ceritanya tak usai
sebelum benar-benar energi bumi menyapa

salam.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...