Langsung ke konten utama

Merenungkan Sejarah

Rasanya tidak adil kalau sejarah dihapuskan begitu saja. Pasalnya, isu ini tidak jauh dari kabar penjualan surat nikah-cerai antara Soekarno dan Inggit. Yang disayangkan adalah, bagaimana dengan pengetahuan dan wawasan sejarah generasi kemudian. Bagaimana pula kecakapan sosial mereka ketika tidak bisa lagi membaca sejarah? Apa yang bakalan terjadi pada mereka kelak?

Berkaitan dengan ini, aku teringat akan ungkapan Soekarno 'jas merah' jangan lupakan sejarah. 

Aku merasa jadi sangat prihatin kepada orang-orang besar yang mencipta sebuah keilmuan. Bukankah saat ini kita sedang menerapkan, mengaplikasikan, dan kemudian mengembangkan studi ilmu itu untuk menyelesaikan masalah? Pertanyaannya adalah dari mana asal muasal kehidupan sekarang ini?

Hari ini ada karena kemarin, dan esok tercipta karena hari ini. Ini namanya  sejarah. Masa kini terjadi akibat dari masa lalu, dan masa lalu dijadikan pelajaran kelak--masa kini. Mestinya kita sadar, berutang budi kepada sejarah. Tanpanya, aku tidak tahu hidup ini berwarna apa.

Manusia--kita adalah sejarah. Kalau tidak percaya, kita tidak mungkin tercipta. Karenanya, sangat disayangkan apabila sejarah benar-benar dihapuskan.

Kita tidak akan lagi mengenal perjuangan masa kemerdekaan, bagaimana mau mencipta dan mencetak generasi nasionalis kalau sejarah perjuangan saja tidak kenal.

Kita tidak tahu asal muasal diri, bagaimana mau belajar tentang tahapan proses perjalanan hidup. Rasanya konyol. Bisa saja ini berdampak 'loe' dan 'gue'. Bisa saja kan.

Kita tidak pula tahu cerita-cerita tentang budaya-sosial yang ada di lingkungan kita. Padahal, kearifan lokal dapat dijadikan pelajaran besar kepada hidup. Aku jadi ingat beberapa buku sejarah yang aku baca. Di sana menyimpan seribu wangsit kepada kehidupan. 

Dipoles melalui peristiwa, tokoh-tokoh di dalamnya memberikan suatu gambaran sosial yang kemudian ditarik pelajaran untuk direnungkan dan dipikirkan. Contoh, buku novel Wangsit Siliwangi Harimau di Tengah Bara karya E. Rokajat Asura.

Buku itu bercerita tentang sejarah penyebaran Islam di Cirebon. Berlatar cerita di Cirebon, penulis menggambarkan perjuangan penyebaran Islam yang kental dengan nilai-nilai historis. Islam disebarkan oleh keturunan Maharaja Prabu Siliwangi yaitu Prabu Cakrabuana atau Prabu Anom Walangsungsang dan Syarifah Mudaim atau Nyimas Rarasantang.

Sejarah penyebaran agama Islam yang disebarkan oleh Maulana Syarif Hidayatullah, Putra Syarifah Mudaim -yang kemudian menikah dengan Nyi Ratna Pakungwati,Putri dari Prabu Cakrabuana. Penyebaran agama ini kemudian menyatukan kerajaan- kerajaan kecil di sekitarnya yang kemudian bergabung dengan kerajaan Cirebon, yang akhirnya menyatakan merdeka dan tidak lagi menyerahkan upeti ke Kerajaan Pakuan.

Tentu saja keputusan ini meresahkan Prabu Siliwangi yang tidak lain adalah kakek dari Maulana Syarif Hidayatullah dan Nyi Ratna Pakungwati. Penyerangan menuju Cirebon terhenti, dan Prabu Siliwangi kemudian menyampaikan wangsitnya kepada para pengikutnya, hingga akhirnya ia minta untuk ditinggalkan sendiri dalam pertapaannya. 

Dari sini, tampak nilai-nilai historis itu tercipta. Hal ini mestinya dapat dilihat dari paradigma berpikir sebagai kearifan lokal. Pemikiran yang dekat dengan sejarah, pemahaman sejarah dan persolan yang tidak sekadar mitologis (mitos).

Sejarah, kaitannya dengan suatu kehidupan tidak akan dilupa, dan melupa begitu saja. Sejarah itu perjalanan, proses yang harus dihargai, dihormati, dan dinilai. Sejarah senantiasa memuat nilai heroik yang dapat dijadikan semangat generasi muda. Rasanya malu, kalau kita tidak bisa jadi apa-apa di zaman semacam ini. Mestinya, kita memiliki kesadaran dalam diri, kalau saja mereka yang hidup di zaman itu bisa dan mampu, harusnya kita demikian. Lebih-lebih unggul dari mereka.

Ini loh, eksitensi sejarah. Bisa menggerakkan, menjadikan motivasi untuk bergerak. Ingat, masa kini adalah sebab-akibat masa lalu. Tanpanya, kita tidak akan melewati hari ini. Karenanya, masihkah bersikukuh menghapus sejarah?

Jujurlah dalam diri, bahwa kita berutang budi kepada sejarah yang banyak memberikan ketegaran, kebijakan, dan kabajikan.

Ingat pesan Pram, menulis adalah ruang keabadian--sejarah bagi para penulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...