Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (18)

Hai Mas Fendik.

Ketahuilah tidak mudah bagi ia yang pernah sakit hati untuk membuka hati kembali. Ia tahu rasanya sakit--disakiti. Betapa ia menanggung beban itu sendiri, dan kemudian dari beberapa mereka menyakiti dirinya. Bukan suatu yang mudah, bagi kita membuka hati untuk siap menerima rasa sakit itu. Banyak orang yang memilih menutup, sangat menutup untuk tidak kembali menikmati jurang yang menciptakan duka.

Apakah kau tahu, orang yang miliki mata jiwa, benar seolah-olah purna sesaat. Aku dapat melihat dan merasakan orang-orang yang sakit hati itu. Aku pernah merasakan, berada pada posisi itu, dan keputusasaan yang terjadi adalah mengurung di kamar atau tidak makan atau diam saja, dan entah itu cara orang sakit hati menambah rasa sakit pada dirinya.

Namun, beda, sakit hati sejatinya yang sakit ada pada jiwanya. Sedangkan, sakit itu sejatinya yang sakit ada pada raganya.

Sakit raga, mudah diobati. Tinggal disuntik, diberi obat, istirahat cukup, lalu akan sembuh. Beda dengan sakit jiwa obatnya ya harus jiwa. Maksudnya, orang sakit jiwa karena cinta, obatnya hanya satu, ya cinta itu sendiri.

Hai Mas Fendik, dan kau kini tahu. Selepas kepergianmu yang benar-benar, diri ini sakit. Tentu, ketika kau membaca tulisan ini, kau akan tahu apa obatnya.

Bertanyaku padamu, jawabmu pintaku, meminta aku.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...