Hai Mas Fendik, apakah kelak Indonesia membutuhkanku?
Ketahuilah, untuk saat ini aku merasa Indonesia tidak membutuhkan orang yang pandai, melainkan orang-orang yang cerdas. Menjadi Indonesia maju, tidak cukup unggul dalam pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan. Indonesia maju butuh kerja keras yang sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan. Karenanya, Indonesia butuh skill anak bangsa, yang tidak takut mencoba hal baru.
Thomas Alva Edison, bukanlah sosok yang pandai. Justru ia disebut gurunya sebagai siswa yang bodoh. Nilainya tidak pernah memuaskan. Namun, siapa yang sangka keberaniannya mencoba membuat kita tahu akan lampu, telepon, dan temuan-temuan lain darinya. Kita penting belajar dari semangat kegagalannya bereksperimen. Barangkali, apabila Thomas menyerah dipercobaan ke-999, dunia tidak akan mengenal lampu.
Begitupula dengan Einstein, tampak serupa dengan Thomas. Einstein bukanlah orang yang pandai dalam intelektual. Tapi, ia cukup gigih berpikir untuk menciptakan sesuatu.
Aku rasa, kita perlu bersyukur atas kehadiran kedua tokoh besar itu. Di antara mereka, sungguh masih banyak lainnya. Sejatinya, dari mereka kita dapat belajar menjadi anak bangsa yang unggul, mandiri, dan kreatif.
"Mas Fendik, apakah kelak Indonesia membutuhkanku?" pertanyaan itu mengganggu pekerjaanku beberapa hari ini. Aku, bukan dan tidak mendapat kesempatan laiknya teman-teman masa SD, SMP, dan SMA.
Sering sekali, guru-guru di kelas, atau di ruang guru, bahkan di sebuah pertemuan wali murid menceritakan dengan semangat, anak ini, anak itu yang pandai dengan nilai memuaskan. Ujian selalu mendapat nilai bagus. Ia senantiasa menempati peringkat teratas di antara teman-temannya.
Aku tertawa saja mendengar celotehan semacam itu. Sebab, tidak banyak anak pandai yang pandai pula dalam bersosial. Kemudian, daripada anak-anak yang pandai tidak banyak didapat dari hasil yang jujur dan mandiri. AKu lebih suka mendapat nilai 6 dari hasil kerja sendiri, dibandingkan nilai 9 yang didapat dari mencontek.
Barangkali, inilah menjadi fenomena paradoks pendidikan di negara kita. Guru lebih memberikan apresiasi kepada siswa yang mendapat nilai 100 dari hasil mencontek dibandingkan anak mendapat nilai 50 dari hasil mandiri. Tentu, fenomena ini sama halnya guru mencetak generasi bohong untuk Indonesia. Tidak heran, kalau korupsi contohnya tumbuh dengan baik. Sebab, praktik korupsi dimulai dari kebohongan-kebohongan kecil.
Sungguh, aku tidak pernah mendapat peringkat di kelas. Namun, aku perlu bersyukur bisa berada di kelompok 10 besar. Di antara teman-teman, aku sedang-sedang. Bahkan, tidak sekalipun guru-guruku memujiku, "Kamu pandai!" rasanya memang ada rasa iri. Tapi aku kekini sadar, kepandaian bukanlah tolak ukur kebermanfaatan seseorang bagi kehidupan. Banyak orang pandai intelektual, tapi sosialnya gagal. Ia terkesan individualis. Aku tahu, Indonesia tidak cukup miliki orang-orang yang individualis. Demikian itu, hanya akan menciptakan generasi yang buta sosial.
Aku memang terlahir bukan menjadi seseorang yang pandai, melainkan anak cerdas-terampil. Aku mengamati perkembangan diri dewasa ini. Bukan kepandaian yang kumiliku, melainkan kecerdasan, keterampilan. Semoga, daripada keterampilan yang kumiliki dapat mengangkat diri, utamanya.
Masyarakat baru mengenal ketika TK mewakili lomba menari. Masyarakat pula, baru mengenalku ketika SD mewakili lomba tembang macapat, dan masyarakat pula baru tahu ketika aku menjadi seorang penyiar radio, dan sekarang menjadi perangkai kata-kata. Orang-orang baru tahu aku ketika aku ada di koran. Bukan sebagai korban atau tersangka, melainkan sebagai pemikir.
Dan, orang-orang baru menyadari kelebihan dari diriku. Sekarang, aku tidak cukup tersenyum, melainkan tertawa. Bukan untuk menyombongkan diri. Akan tetapi, lebih pada menertawai keterlambatan mereka yang memandang kecerdasan. Secara mandiri, kecerdasan akan melahirkan kepandaian yang berlipat. Berbeda dengan kepandaian, yang senantiasa patuh kepada rumus-rumus yang dikuasai. Perlu diketahui, Indonesia tidak butuh rumus yang tetap.
Baru-baru ini, polemik di Indonesia lumayan beragam. Butuh rumusan yang beragam untuk menyelesaikan itu. Dari polemik yang berada di lingkup pendidikan, hukum, sosial, hingga yang paling panas politik. Mereka saing berlomba-lomba menempati kedudukan atau status menjadi pemimpin. Apakah tidak cukup berat menjadi seorang pemimpin, pikirku. Sudahkah, mereka yang gencar ingin menjadi pemimpin cukup menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Hmm, ini yang penting direnungkan.
Aku melihat dan mengamati Bapak yang tegas dan bijak dalam segala hal. Dialah pemimpin keluarga. Masalah dalam keluarga cukup rapi olehnya. Aku, sungguh tidak cukup tahu tentang masalah keluarga. Bukan berarti aku tidak peduli, namun masalah memang tidak tampak. Bapak dan Ibu cukup cerdas menyimpan hingga menyelesaikan masalah. Bapak bilang, "Anak adalah masa tumbuh. Jangan bebani ia dengan masalah yang berdampak pada pertumbuhannya. Ada saatnya, ia tahu masalah, dan menyelesaikan masalah, kelak ketika ia dewasa."
Rasa-rasanya, menjadi pemimpin di keluarga amat berat. Pemimpin dituntut untuk kuat dalam segala hal. Kedua pundaknya terasa sangat berat, dan lebih berat. Aku memetaforakan, pemimpin adalah supir. Supir mengendalikan laju, supir pula penentu jalan mana yang harus dilewati. Tentunya, ia cukup cerdas memilih jalan yang bercabang. Dengan segala keraguan, kebimbangan, dan kepastian, kemudian memilih jalan untuk dilalui. Hmm, menjadi supir teramat berat. Nyawa penumpang ada pada dirinya.
Hai Mas Fendik, apakah kelak Indonesia membutuhkanku pada suasana-suasana sekarang ini?
Namun, sebelum pertanyaan itu terselesaikan, bisakah, aku wanita menjadi seseorang yang lihai menemani pemimpin dalam segala warna-warni kehidupan? Bisakah, pada saatnya kau menjawab dengan caramu menjadi pemerhati segala apa yang aku lakukan. Tentu, aku butuh seorang pengkritik, bukan pemuji.
Komentar
Posting Komentar