Tepat di ruang garasi milik Sutejo,
salah seorang dosen Kopertis VII Surabaya yang tinggal di kota Ponorogo terasa begitu
khidmat. Suasana malam Minggu (15/12/16) terasa lain dari malam-malam Minggu
sebelumnya. Ketika sebuah hidangan pisang goreng dengan beberapa cangkir kopi saya
sajikan, menjadi piranti camilan obrolan hangat.
Waktu itu, di belakang mobil
bermerk Agya berwarna putih, saya bersama ketiga sahabat literasi, dan Sutejo,
serta istri dan ketiga anaknya menghabiskan sisa malam Minggu dalam kajian
literasi. Diskusi kecil itu berlangsung hingga larut malam, sekitar pukul dua
dini hari.
Di sebelah saya, tepatnya bersekat seorang
kawan, perempuan berpostur kurus sedikit tinggi sekitar 150 sentimeter itu
bercerita begitu memikat. Beberapa tuturan yang menyentakkan saya di antaranya
berbunyi demikian, pertama setiap orang bisa berkarya walaupun dia adalah
seorang tenaga kerja wanita. Kedua, uang itu cepat habis, kalau
ilmu tidak. Mendengar coleteh itu, lantas saya pun penasaran setengah mati.
Tanpa basa-basi perempuan atas nama Eni Kusuma itu lantas menjelaskan.
Bagi
perempuan berkerudung orange itu, uang setebal ataupun sebanyak apapun yang
dimiliki seseorang tidak bisa menjamin kesuksesaan. Sementara ilmu, meski
sedikit apapun bila seseorang mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari pasti sangat berguna. Metaforanya, ketika seseorang sedang menyeduh
kopi. Meski nampak sederhana, tetapi bila tidak memiliki pengetahuan tentang
takaran gula dan kopi sudah pasti rasa dari minuman itu kurang nikmat.
Menyimpulkan dari beberapa obrolan malam
itu, perempuan kelahiran Banyuwangi yang pernah diliput sebuah media itu bisa
dibilang kurang beruntung. Namun perjalanan hidupnya benar-benar menginspiratif
generasi zaman now. Lahir dari keluarga miskin, hanya mengandalkan penjualan
kerupuk di pasar. Hidup dan tinggal dekat tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
Sejak kecil Eni diajarkan oleh kedua orang tuanya mencari uang. Terbukti sejak
kecil ia banyak menghabiskan waktunya sebagai pemulung, yaitu memunguti
barang-barang di TPA yang bisa ditukarkan dengan uang untuk membantu pemasukan
keluarga. Meski sebenarnya bukan tugas Eni untuk melakukan itu, tapi rasa
empatinya terlalu tinggi—tidak tega melihat kedua orang tuanya bekerja tanpa
mengenal panas dan hujan. Ajaran berburu uang itu berlanjut sampai lulus
sekolah menengah atas. Keterpaksaan keadaan membuat Eni harus melarikan diri ke
luar negeri menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hong Kong sejak tahun 2001-2007.
Kebiasaan unik TKW muda saat itu selalu
memanfaatkan kesehariannya dengan baik. Seperti kebiasaan menulis dan berkumpul
komunitas, belajar qiro, dan lainnya. Di tengah jadwal yang padat mengurus
rumah—menyapu, menyetrika baju, mamandikan anak majikan hingga mengantar ke
sekolah dan les-les-an, tidak membuatnya
lengah dalam memantapkan bidang kepenulisan. Terkadang di sela-sela ia bekerja,
tak lupa secarik kertas dan bolpoin
selalu ia kantongi.
Ceritanya, dua benda itu digunakan untuk
mencatat ketika mendapatkan ide-ide menarik yang kemudian dikembangkan ketika
malam hari. Kebiasaan itu Eni lakukan setiap hari, tanpa sepengetahu
majikannya. Terkadang kertas itu pun diselipkan
di bawah kulkas atau almari agar majikannya tidak tahu. Hal itu
dilakukan supaya ide-ide tulisan tidak menguap begitu saja. Baru usai pekerjaan
selesai atau waktu istirahat cukup, kertas itu kemudian ia ambil lalu disalin
dalam catatannya secara rapi.
Selanjutnya apabila bertemu dengan hari libur ia
menyempatkan diri mengetik di perpustakaan atau tempat belanja yang menyediakan
tempat ketik secara gratis. Terkadang pula, waktu menyalin tulisan dari tulisan
tangan menjadi ketikan itu dilakukan di sela-sela menjemput anak majikannya. Bukan
bermaksud bermain peta umpet, tuturnya, hanya karena takut bila majikannya
marah.
Kemenarikan dari sosok polos dan lugu dari penulis
buku Anda Luar Biasa! itu dari
beberapa catatan kecil yang tergores dalam secarik kertas. Lebih sering ia
salin di malam hari ketika majikannya sudah tidur. Tidak berhenti sampai situ
saja. Dalam cerita Eni, setiap kali pukul 11 malam, semua penerangan dimatikan,
sehingga seorang mantan TKW luar biasa itu biasanya menyalin tulisan di bawah
selimut dengan bantuan penerangan dari handphone.
"Saya masih ingat menulis ide-ide saya
menggunakan kertas dan pulpen ketika jam 11 malam. Saat itu lampu kamar harus
dimatikan, jadi menulisnya di bawah selimut dengan bantuan cahaya dari handphone,"
cerita Eni sesekali tersenyum tipis.
Menurut saya, Eni bukanlah sosok mantan TKW
yang biasa. Bila umumnya, para perempuan TKW selalu menghabiskan waktu untuk
liburan hari Minggu dengan pergi ke pantai, ke tempat belanja, tempat karaoke,
dan lainnya. Bagi penulis di Pembelajar.com,
tempat liburan paling favorit adalah sebuah rumah yang menyimpan segudang ilmu.
Ya, perpustakaanlah tempat menghabiskan masa libur, celetuknya. Sementara itu,
kegiatan lain di hari Minggu ia bergabung dengan komunitas menulis dan aktif
mengikuti beberapa pelatihan
menulis untuk para tenaga kerja wanita di
Hong Kong.
Enam tahun menjadi TKW, Eni pulang ke tanah kelahiran
dengan membawa budaya dan motivasi baru. Tidak saja harta yang tumpah ruah,
tetapi pengalaman hidup yang luar biasa ia tularkan. Di tengah sibuk sebagai
penyandang ibu rumah tangga ia menyempatkan diri membuka jam les secara gratis
bagi anak-anak desa. Di samping itu, juga mengasah bakat menulisnya dan bergaul
dengan komunitas yang lebih luas melalui internet.
Suasana malam Minggu bulan Desember 2016 itu,
mengingatkan saya tentang keyakinan sebuah kesuksesaan. Racikan kesuksesaan
diberikan Eni kepada saya dan beberapa kawan menulis saya. Dalam tuturnya,
sukses itu berawal dari sebuah mimpi (dream).
Semua hambatan pasti dapat ditaklukkan asal seseorang percaya akan potensi
yang dimiliki untuk mewujudkan dream
tersebut.
Seperti ungkapan Booker T. Washington, bahwa sukses
itu tidak diukur oleh posisi yang telah diraih seseorang dalam kehidupan, tapi
hambatan yang telah ia atasi saat berusaha untuk sukses. Hal itu
menjadi titik terang bagi saya, bilamana ketika hambatan itu berhasil kita
taklukkan berarti kesuksesaan yang kita impikan itu ada di depan mata.
Sukses menjadi seorang motivator dan penulis buku
merupakan salah satu dari beberapa rentetan impian Eni waktu itu. Impian
menjadi seorang penulis, sempat menjadi pembully-an saat ia kecil. Biasa,
sebelum ia berangkat ke sebuah surau untuk mengaji ia sering melakukan
aktifitas memotong-motong tulisan yang ada di buku, koran, majalah, dan kartu
motivasi yang berserakan di dekat rumahnya. Karena itulah, ia sempat dijuluki
sampah bacaan. Menariknya, julukan itu tidak membuat Eni sakit hati, justru
membangkitkan kepada teman-teman yang mengoloknya bila ia akan berhasil lewat
sampah-sampah bacaan yang terkumpul itu.
Secara terpisah, ketika Eni diundang menjadi pemateri
di Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo, Minggu (16/12/16) ia dengan
tenang mengeksploitasi pengalaman hidupnya hingga ia berani berbicara di depan
umum. Pengakuannya, dulu ia bisa dibilang gagap bicara dan minder. Sebab, semasa
kecil Eni sempat terkena penyakit kulit sehingga beberapa temannya menjauhinya
dan mengolok-olok. Berangkat dari itulah, Eni memiliki dendam positif bahwa ia
kelak akan membalikkan dunia. Bila saat itu menjadi bahan cibiran sebagai orang
buruk, kelak akan menjadi orang yang dipandang. Ya paling tidak diakui, hehehe
katanya mencairkan suasana.
Beberapa aktualisasi diri yang dilakukan Eni hingga ia
kini diakui orang itulah yang membuat ia bangun. Baiknya, meski saat ini bisa
dibilang orang tersohor tidak membuat wanita yang sering diminta mengisi
sebagai publik speaker itu sombong.
Justru ia begitu senang bisa berbagai suka-duka hidup kepada semua kalangan.
Sebab, keyakinannya seseorang pasti pernah mengalami nasib seburuk-buruk nasib
maupun sebaik-baiknya nasib. Oleh karena itu, motivasi kegagalan dan kesuksesan
itu memang laris bila ditularkan.
Komentar
Posting Komentar