Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (12)


Mas Fendik terkasih.

Teriring doa Senin yang mendung kukirimkan surat ini sebagai pembuka minggu bahagia. Meskipun, beberapa orang beranggapan Minggulah pembuka hari. Biarlah anggapan itu berlalu, untuk apa pula memikirkannya. Bukankah setiap orang memiliki kesempatan untuk melihat sesuatu dari sudut pandangnya?

Kata guruku, kondisikan Senin sebagai pendobrak semangat. Buatlah perapian di tanah lapang jiwamu, kumpulkan seperangai kekuatan untuk membakar otot. Ada sesuatu yang perlu kamu tunggu, untuk sekadar bersabar mendapatkannya, energi. Sejenis aliran listrik dalam tubuh yang siap mengedarkan energi-energi positif di jiwamu. Seketika, maksimalkan energi  itu hingga akhir pekan nanti, di hari Minggu. 

Mas Fendik yang membahagia.

Dua hari lalu, ada seseorang yang menanyakan kabarmu. Bukan perempuan, bukan. Bakalan cemburu apabila memang ada. Dia sesamamu. Umurnya ya hampir sebaya denganku, kelahiran 1994.

Aku sampaikan, kamu dalam keadaan baik-baik saja. Hanya saja jiwamu yang abstrak tidak dapat dilihat oleh siapapun. Hanya aku yang mampu merasakan keberadaanmu. Apakah kamu dalam keadaan baik, sendu, sedih, atau sakit.

Seseorang itu, amat menyukai surat-suratku untukmu, Mas. Kami mengobrol cukup lama, video call mampu menjangkau lintas pulau. Kami berbagi tentang pengalaman menulis, kehidupan, masa kuliah, hingga adat yang sama-sama kami yakini. Katanya, aku satu di antara orang yang memotivasinya menulis. Alhamdulillah, hidupku mampu memengaruhi orang untuk berbuat.

Kamu tidak perlu cemburu, perkenalan ini baru sebentar, sekitar 2 tahun lalu. Sempat terpisah karena waktu, dan kami membuka komunikasi ulang. Tenang, dia yang menghubungiku. Tidak banyak teman lelaki di hidupku. Bukan aku tidak suka, hanya saja memberi jarak.

Saat ini dia tinggal di Batam. Bukan, tanah kelahirannya. Dia asli NTT. 

Oh ya, aku jadi ingat ada teman kuliah dari NTT. Namanya Ida. Dia manis, kulitnya lumayan hitam, rambutnya keriting. Dia juga baik seperti temanku. Meski berbeda agama, kami membaur. Bukannya perbedaan itu indah? Kita bisa saling memahami satu sama lain, melatih diri untuk menghormati dan menghargai sesama. Ya, istilahnya bhinneka tunggal ika.

Hamka, namanya. Dia teman yang baik. Suka diskusi, bercakap-cakap. Dalam obrolan malam itu, banyak informasi tentang pondok dan ke-Islaman yang kudapat. Suatu hari nanti, aku ingin mempertemukan kalian. Siapa tahu, bisa bertukar ilmu ke-Islaman. 

Semoga kamu di sana memiliki teman baik sepertinya ya. Dia juga bercerita tentang kehidupannya saat di pondok. Ya, aku senang saja. Sebab, dulu aku ingin masuk pondok tapi belum kesampaian.

Ghosob. Aku mengenal istilah itu darinya. Begitu aku tanya, ternyata sebuah reka adegan dengan memakai sandal teman pondok tanpa meminta izin terlebih dahulu. 

Spontan aku tertawa. Tidak saja di pondok, di luar pondok juga demikian. Hanya saja istilahnya apa aku tidak tahu. Katanya, tidak saja sandal, secara umum ya barang. Aku jadi ingat adikku, Mas. 

Adikku empat tahun sekolah pondok di salah satu pesantren di Ponorogo. Namanya Pondok Pesantren Al-Mawaddah. Baru seminggu di pondok, sudah kehilangan rok dan celana dalam. Rasanya, ya aku tidak percaya kok bisa hilang. 

Ceritalah kemudian Adik, kalau ada suatu kebiasaan seperti itu di pondok. Mengapa, tanyaku. Jawabnya mungkin karena mau membeli tidak punya uang, atau barangnya juga hilang diambil orang lain. Hehehe. Pantasan saja, barang-barang milik Adik diberi nama. Itupun, kadang masih juga hilang. 

Oh ya, ngomongin dunia pondok, aku jadi ingat temanku yang sekarang mengajar di Batam itu, ya Hamka pernah menawarkan kerja sama. Dia merangkak hendak membuat buku tentang dunia pondok. 

Menarik sekali. Aku sih oke saja. Sebelumnya dia sudah terbitkan tiga buku puisi, kalau tidak salah. Janjinya, satu di antaranya mau dikirimkan ke Jawa. Semoga segera tiba. 

Aku senang, tentu akan mendukung orang di sekitarku yang terjun di dunia menulis. Terlebih gagahnya mau menerbitkan buku. Sungguh, pikiran yang melompat. Aku percaya, itu keputusasaan yang paling tepat dalam merefleksikan diri. 

Menulis menjadi sebuah ajang katarsis jiwa. Adalah cara melepaskan segala unek-unek perasaan dan pikiran dalam tulisan. Itu salah satunya, Mas. Katarsis juga bisa dalam bentuk lisan, seperti berbicara. Apa yang bisa dilakukan seseorang adalah mengajak teman mengobrol untuk membicarakan masalah dalam dirinya. Ini ajang diskusi. 

Dia memintaku untuk memberikan kata pengantar di buku terbarunya. Wah ini menarik, tapi tak cukup nyali untuk mengiyakan. Kuputuskan deh, kerja sama dilainnya. Mintalah ia untuk membantu menyelaraskan bahasa sekaligus testimoni. 

Mas Fendik terkasih.

Apakah saat ini kau sedang membaca buku? Jika ia, apa buku yang kamu baca, Mas. Bolehlah tahu isinya. Barangkali, bisa menambah referensi di tulisanku. Jangan lupa membuat catatan kecil ya setelah membaca buku.

Kalau aku, kini sedang membaca buku Tasaro GK berjudul Kinanti. Itu buku roman. Tasaro ini orang hebat Mas. Masih muda, tulisannya sejenis tulisan Seno. Puitis, detail dan enak dibaca. Kelihatannya penggila keindahan.

Lulusan pondok. Buku-bukunya banyak beraroma ke-Islaman. Dia bercerita hingga tiga seri tentang Muhammad. Hmm, aku sudah baca sedikit di seri kedua.

Tentang Kinanti, sebenarnya sudah lama aku hendak membaca buku itu. Baru seminggu lalu, buku itu aku sentuh. Sayang, juga belum mulai-mulai aku baca.

Kinanti menjadi teman di kasur. Kusejajarkan dengan bantal. Kadang, ketika kau bekerja kusanding dia. Tapi tak kunjung aku baca. Ya aku suka, tapi niat untuk menjelajahinya belum. Hehehe, lucu juga ya aku ini.

Kesukaan baru semenjak bergulat di dunia buku. Tidur bersama buku. Tidak pun dibaca yang penting didekati dulu. Istilah popularnya membersamai. Hehehe. Pasti nanti juga kebaca, sudah seperti hukum alam.

Oh ya, aku jadi ingat cerita seorang wartawan. Bahwa ada seorang anak yang pergi ke toko buku. Dia bingung mau beli buku apa. Akhirnya, belilah dia buku diambilnya secara acak.

Sampailah di rumah, buku itu diletakkan di meja ruang tamu. Hingga hari ke berapa begitu, buku itu belum tersentuh. Maklum, masyarakat kita tidak begitu mencintai bacaan. Entah tiba di hari ke berapa, akhirnya buku itu tersentuh, kemudian dibaca oleh seseorang.

Komentarnya, “Lo buku apik (Lo buku bagus).” Setelah itu, terbacalah buku itu hingga selesai. Lalu, diceritakan kesemua anggota keluarganya. Satu per satu dari mereka penasaran dan ingin membaca buku itu.

Semenjak itu Mas, semua anggota keluarga suka membaca. Kalau berkunjung ke toko buku, boronglah buku sebanyak-banyaknya. Lalu, sampai rumah mereka membaca bersama-sama. Ada yang di depan televisi, halaman rumah, kamar, ruang garasi, dan beberapa tempat lain.

Virus membaca di keluarga itu berdampak bagus Mas. Hmm, aku jadi membayangkan keluarga kita nanti memiliki budaya membaca. Kita membuat ruangan khusus di mana buku-buku itu bisa berkumpul. Nanti kita beri mana yang menggugah semangat membaca.

Buku-buku itu, kita peruntukkan secara umum. Siapa yang mau membaca bebas pinjam, asal kembali. Wah, aku membayangkan sebuah kehidupan yang literat Mas. Semoga Tuhan mendengar niat baik indah ini. Aamiin.

Mas Fendik terkasih.

Harap, berharap tiba hari baik ya. Jangan lupa senantiasa beribadah di sana—bertafakkur dan tadabbur.

Suci Ayu Latifah
11.05.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...