Mas Fendik terkasih.
Teriring doa Senin yang mendung kukirimkan surat ini
sebagai pembuka minggu bahagia. Meskipun, beberapa orang beranggapan Minggulah
pembuka hari. Biarlah anggapan itu berlalu, untuk apa pula memikirkannya.
Bukankah setiap orang memiliki kesempatan untuk melihat sesuatu dari sudut
pandangnya?
Kata guruku, kondisikan Senin sebagai pendobrak
semangat. Buatlah perapian di tanah lapang jiwamu, kumpulkan seperangai
kekuatan untuk membakar otot. Ada sesuatu yang perlu kamu tunggu, untuk sekadar
bersabar mendapatkannya, energi. Sejenis aliran listrik dalam tubuh yang siap
mengedarkan energi-energi positif di jiwamu. Seketika, maksimalkan energi itu hingga akhir pekan nanti, di hari Minggu.
Mas Fendik yang membahagia.
Dua hari lalu, ada seseorang yang menanyakan
kabarmu. Bukan perempuan, bukan. Bakalan cemburu apabila memang ada. Dia
sesamamu. Umurnya ya hampir sebaya denganku, kelahiran 1994.
Aku sampaikan, kamu dalam keadaan baik-baik saja.
Hanya saja jiwamu yang abstrak tidak dapat dilihat oleh siapapun. Hanya aku
yang mampu merasakan keberadaanmu. Apakah kamu dalam keadaan baik, sendu,
sedih, atau sakit.
Seseorang itu, amat menyukai surat-suratku untukmu,
Mas. Kami mengobrol cukup lama, video
call mampu menjangkau lintas pulau. Kami berbagi tentang pengalaman
menulis, kehidupan, masa kuliah, hingga adat yang sama-sama kami yakini.
Katanya, aku satu di antara orang yang memotivasinya menulis. Alhamdulillah,
hidupku mampu memengaruhi orang untuk berbuat.
Kamu tidak perlu cemburu, perkenalan ini baru
sebentar, sekitar 2 tahun lalu. Sempat terpisah karena waktu, dan kami membuka
komunikasi ulang. Tenang, dia yang menghubungiku. Tidak banyak teman lelaki di
hidupku. Bukan aku tidak suka, hanya saja memberi jarak.
Saat ini dia tinggal di Batam. Bukan, tanah
kelahirannya. Dia asli NTT.
Oh ya, aku jadi ingat ada teman kuliah dari NTT.
Namanya Ida. Dia manis, kulitnya lumayan hitam, rambutnya keriting. Dia juga
baik seperti temanku. Meski berbeda agama, kami membaur. Bukannya perbedaan itu
indah? Kita bisa saling memahami satu sama lain, melatih diri untuk menghormati
dan menghargai sesama. Ya, istilahnya bhinneka tunggal ika.
Hamka, namanya. Dia teman yang baik. Suka diskusi,
bercakap-cakap. Dalam obrolan malam itu, banyak informasi tentang pondok dan ke-Islaman
yang kudapat. Suatu hari nanti, aku ingin mempertemukan kalian. Siapa tahu,
bisa bertukar ilmu ke-Islaman.
Semoga kamu di sana memiliki teman baik sepertinya
ya. Dia juga bercerita tentang kehidupannya saat di pondok. Ya, aku senang
saja. Sebab, dulu aku ingin masuk pondok tapi belum kesampaian.
Ghosob. Aku mengenal istilah itu darinya. Begitu aku
tanya, ternyata sebuah reka adegan dengan memakai sandal teman pondok tanpa
meminta izin terlebih dahulu.
Spontan aku tertawa. Tidak saja di pondok, di luar
pondok juga demikian. Hanya saja istilahnya apa aku tidak tahu. Katanya, tidak
saja sandal, secara umum ya barang. Aku jadi ingat adikku, Mas.
Adikku empat tahun sekolah pondok di salah satu
pesantren di Ponorogo. Namanya Pondok Pesantren Al-Mawaddah. Baru seminggu di
pondok, sudah kehilangan rok dan celana dalam. Rasanya, ya aku tidak percaya
kok bisa hilang.
Ceritalah kemudian Adik, kalau ada suatu kebiasaan
seperti itu di pondok. Mengapa, tanyaku. Jawabnya mungkin karena mau membeli
tidak punya uang, atau barangnya juga hilang diambil orang lain. Hehehe.
Pantasan saja, barang-barang milik Adik diberi nama. Itupun, kadang masih juga hilang.
Oh ya, ngomongin dunia pondok, aku jadi ingat
temanku yang sekarang mengajar di Batam itu, ya Hamka pernah menawarkan kerja
sama. Dia merangkak hendak membuat buku tentang dunia pondok.
Menarik sekali. Aku sih oke saja. Sebelumnya dia
sudah terbitkan tiga buku puisi, kalau tidak salah. Janjinya, satu di antaranya
mau dikirimkan ke Jawa. Semoga segera tiba.
Aku senang, tentu akan mendukung orang di sekitarku
yang terjun di dunia menulis. Terlebih gagahnya mau menerbitkan buku. Sungguh,
pikiran yang melompat. Aku percaya, itu keputusasaan yang paling tepat dalam
merefleksikan diri.
Menulis menjadi sebuah ajang katarsis jiwa. Adalah
cara melepaskan segala unek-unek perasaan dan pikiran dalam tulisan. Itu salah
satunya, Mas. Katarsis juga bisa dalam bentuk lisan, seperti berbicara. Apa
yang bisa dilakukan seseorang adalah mengajak teman mengobrol untuk membicarakan
masalah dalam dirinya. Ini ajang diskusi.
Dia memintaku untuk memberikan kata pengantar di
buku terbarunya. Wah ini menarik, tapi tak cukup nyali untuk mengiyakan.
Kuputuskan deh, kerja sama dilainnya. Mintalah ia untuk membantu menyelaraskan
bahasa sekaligus testimoni.
Mas Fendik terkasih.
Apakah saat ini kau sedang membaca buku? Jika ia,
apa buku yang kamu baca, Mas. Bolehlah tahu isinya. Barangkali, bisa menambah
referensi di tulisanku. Jangan lupa membuat catatan kecil ya setelah membaca
buku.
Kalau aku, kini sedang membaca buku Tasaro GK
berjudul Kinanti. Itu buku roman. Tasaro ini orang hebat Mas. Masih muda,
tulisannya sejenis tulisan Seno. Puitis, detail dan enak dibaca. Kelihatannya penggila
keindahan.
Lulusan pondok. Buku-bukunya banyak beraroma
ke-Islaman. Dia bercerita hingga tiga seri tentang Muhammad. Hmm, aku sudah
baca sedikit di seri kedua.
Tentang Kinanti, sebenarnya sudah lama aku hendak
membaca buku itu. Baru seminggu lalu, buku itu aku sentuh. Sayang, juga belum
mulai-mulai aku baca.
Kinanti menjadi teman di kasur. Kusejajarkan dengan
bantal. Kadang, ketika kau bekerja kusanding dia. Tapi tak kunjung aku baca. Ya
aku suka, tapi niat untuk menjelajahinya belum. Hehehe, lucu juga ya aku ini.
Kesukaan baru semenjak bergulat di dunia buku. Tidur
bersama buku. Tidak pun dibaca yang penting didekati dulu. Istilah popularnya
membersamai. Hehehe. Pasti nanti juga kebaca, sudah seperti hukum alam.
Oh ya, aku jadi ingat cerita seorang wartawan. Bahwa
ada seorang anak yang pergi ke toko buku. Dia bingung mau beli buku apa.
Akhirnya, belilah dia buku diambilnya secara acak.
Sampailah di rumah, buku itu diletakkan di meja
ruang tamu. Hingga hari ke berapa begitu, buku itu belum tersentuh. Maklum,
masyarakat kita tidak begitu mencintai bacaan. Entah tiba di hari ke berapa,
akhirnya buku itu tersentuh, kemudian dibaca oleh seseorang.
Komentarnya, “Lo buku apik (Lo buku bagus).” Setelah
itu, terbacalah buku itu hingga selesai. Lalu, diceritakan kesemua anggota
keluarganya. Satu per satu dari mereka penasaran dan ingin membaca buku itu.
Semenjak itu Mas, semua anggota keluarga suka
membaca. Kalau berkunjung ke toko buku, boronglah buku sebanyak-banyaknya.
Lalu, sampai rumah mereka membaca bersama-sama. Ada yang di depan televisi,
halaman rumah, kamar, ruang garasi, dan beberapa tempat lain.
Virus membaca di keluarga itu berdampak bagus Mas.
Hmm, aku jadi membayangkan keluarga kita nanti memiliki budaya membaca. Kita
membuat ruangan khusus di mana buku-buku itu bisa berkumpul. Nanti kita beri
mana yang menggugah semangat membaca.
Buku-buku itu, kita peruntukkan secara umum. Siapa
yang mau membaca bebas pinjam, asal kembali. Wah, aku membayangkan sebuah
kehidupan yang literat Mas. Semoga Tuhan mendengar niat baik indah ini. Aamiin.
Mas Fendik terkasih.
Harap, berharap tiba hari baik ya. Jangan lupa
senantiasa beribadah di sana—bertafakkur dan tadabbur.
Suci Ayu Latifah
11.05.2020
Komentar
Posting Komentar