Teruntuk Mas
Fendik yang membahana.
Kusampaikan
terima kasih padamu telah membalas sebagian suratku. Senang bisa menyelami dan menikmati
rangkaian kata, meski terkesan kaku. Hehehe, rupanya jiwa disertasimu masih
terbawa hingga pada surat ini.
Terima kasih,
aku tambah percaya bahwa kehidupan zaman orde baru kurang lebih tipis-tipis
dari beberapa novel yang kubaca. Ngeri juga ya Mas. Aku bersyukur tidak hidup
di zaman itu.
Dan, aku
beruntung masih bisa menikmati jiwamu hingga terbitnya surat ini. Apakah kau
sudah melihat surga seperti yang terceritakan dalam kitab Suci kita? Apakah di
ruang keabadian tubuhmu masih sakit seperti dulu, Mas?
Semoga,
keadaanmu membaik di sana. Paling tidak dalam kesendirianmu di jendela surga
kau menghirup kedamaian yang sebenarnya tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa
apapun.
Penjelasanmu sesuai
apa yang kuterima. Sekalipun novel itu fiktif, pengarang memiliki tempat untuk
merefleksikan potret kehidupan. Pengarang bergerak, bermain-main dengan
dunianya bersama tokoh dalam cerita. Pengarang membangun dan menghidupkan,
serta menggerakkan cerita berkat mereka.
Pandainya,
mereka juga menyelipkan sisi kejiwaan manusia sehingga pembaca terbawa pada
suatu kondisi sedih, atau marah, atau, bahagia begitu membaca.
Hmm, kiranya,
aku pernah mengalami ini. Tepatnya sih sering. Hehehe.
Salah satunya,
seketika membaca catatan jurnalistik Chik Rini Mas, Sebuah Kegilaan di Simpang Krarf, rasanya pening hingga
berhari-hari. Pori-pori tubuhku spontan berdiri—turut merasakan sakit, tangis,
rintihan orang-orang di Simpang Kraft. Hebat sekali Rini, mampu menghipnotik
pembaca ke dalam tulisannya.
Itu, namanya
tulisan berasa. Namun, bodohnya aku terlalu terbawa suasana cerita. Harusnya,
aku lebih santai membaca karena sekadar tambahan referensi penelitian, dan
membandingkan satu informasi atau data dengan sumber lainnya. Ya, bonus deh,
atau musibah.
Kelemahanku memang
terlalu terbawa perasaan. Membaca langsung berdampak pada psikologi seseorang. Katakanlah
nih ya, hehehe kita yang belum sekalipun berpacaran, saat membaca roman bakalan
terbawa. Membayangkan keindahan cinta, kemahriban bersama, dan kelengkapan
memiliki.
Wah, cinta
memang menggerakkan ya Mas. Terlebih cinta hakiki, bakalan hidup dan tahan
lama. Cinta, cinta lo ya, bukan nafsu.
Ya, tentang karya
adalah potret kehidupan, aku cukup tahu. Setidaknya aku pernah memelajari di
bangku kuliah. Bahwa sejatinya apa yang ditulis oleh para pengarang, sastrawan,
novelis kita adalah refleksi sosial. Mereka secara langsung mengungkap sesuatu
dari apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami.
Seperti novelis
Arafat Nur dan Seno, mengapa bisa langgeng bercerita tantang kekerasan,
pembantaian, pembunuhan, dan lainnya. Tersebab, mereka menyaksikan langsung,
turut merasakan berada dalam kondisi mencekam semacam itu.
Kaitannya
dengan ini, aku mengenal segitiga Abrams yang terdiri dari mimetis, objektif,
pragmatik, dan ekspresif. Dalam segitiga itu, mimetis berada di puncak. Mengapa,
hm pasti kamu lebih paham tentang ini Mas. Pastinya ya karena mimetis merupakan
salah satu teori sastra yang secara langsung memotret kehidupan sebagai
refleksi sosial.
Sementara,
objektif lebih menekankan pada unsur-unsur yang dibangun pengarang. Pragmatif,
berkenaan dengan penyampaian nilai, manfaat, dan pesan secara tersurat maupun
tersurat kepada pembaca. Dalam hal ini, lebih fokus pada nilai. Bagaimana nilai
itu ditafsirkan dan dikaji untuk memberikan makna atau arti.
Dalam analisis
pragmatik ini, asyik lo. Kita bisa bermain-main dengan simbol yang berkenaan
dengan semantik, hermeutika, maupun interaksi simbolik. Hehehe. Dipenelitian yang
baru saja aku selesaikan aku membongkar simbol menggunakan aplikasi interaksi
simbolik.
Makanya, aku
bisa tahu tentang kebenaran dirimu Mas. Senyummu, gerak tubuhmu, ekspresimu,
bahasa lisanmu, dan semua tentang dirimu. Hingga saat ini, yang belum kutahu
adalah, apakah kamu benar mencintaiku? Maaf, aku selalu menanyakan itu.
Terakhir Mas,
kalau ekspresif itu lebih pada bagaimana pembaca dapat menghubungkan karya
sastra yang tercipta dengan pengarangnya. Ya, teori ini bisa didukung dengan
sosiologi karya sastra dan sosiologi pengarang.
Mas Fendik
terkasih, gegara aku banyak belajar dan membaca sastra, kadang timbul
keambigiutas hidup. Jujur, kadang itu seakan hidup sekadar menjalankan drama di
bumi. Kehidupan yang sebenarnya ya di ruang keabadian.
Aku juga
berpikir, bahwa Tuhan itu seumpama pengarang, sastrawan, dan skenario. Sekarang
ini kita sedang bermain peran. Dunia seumpama sinetron di televisi-televisi,
dan lucunya kita juga bermain sinetron di atas permainan hidup ini. Dosa tidak
sih aku berpikiran begitu, Mas.
Tentang gaya
penceritaan tukang sastra memiliki kekhasan masing-masing. Iya tidak ada karya
yang tidak bagus. Semua karya bagus. Justru ketidakbagusan itu terletak pada
jiwa kreatif manusia yang tidak mau berkarya.
“Saatnya
praktik, bukan berteori!”
Oh ya, mengapa
kamu dulu tidak mau disebut sastrawan Mas. Padahal karya-karyamu kan juga
fenomenal. Apakah kamu berpikiran sama denganku, bahwa itu hanya gelar saja. Terpenting
adalah karya.
Sastrawan,
penulis, jurnalis, atau apalah itu tidak amat berpengaruh. Lagi pula, sebagian
masyakat kita teramat asing dengan istilah itu. Beda katakanlah dengan guru,
dokter, polisi, atau jabatan kepemerintahan.
Jadi ingat
kata-kata Pram, bahwa yang kekal adalah karya. Meski, pengarangnya bermukim di
bawah tanah karya tetap abadi di ruang baca dunia. Semoga karya-karya kita
dikenang dan dibaca, bermanfaat untuk orang lain ya. Begitu.
Mari berlayar
pada dunia imaji, Mas. Berkarya membuka sejarah baru—untuk hari ini dan esok.
Suci Ayu Latifah
12.05.2020
Komentar
Posting Komentar