Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (13)


Teruntuk Mas Fendik yang membahana.

Kusampaikan terima kasih padamu telah membalas sebagian suratku. Senang bisa menyelami dan menikmati rangkaian kata, meski terkesan kaku. Hehehe, rupanya jiwa disertasimu masih terbawa hingga pada surat ini.

Terima kasih, aku tambah percaya bahwa kehidupan zaman orde baru kurang lebih tipis-tipis dari beberapa novel yang kubaca. Ngeri juga ya Mas. Aku bersyukur tidak hidup di zaman itu. 

Dan, aku beruntung masih bisa menikmati jiwamu hingga terbitnya surat ini. Apakah kau sudah melihat surga seperti yang terceritakan dalam kitab Suci kita? Apakah di ruang keabadian tubuhmu masih sakit seperti dulu, Mas?

Semoga, keadaanmu membaik di sana. Paling tidak dalam kesendirianmu di jendela surga kau menghirup kedamaian yang sebenarnya tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa apapun.

Penjelasanmu sesuai apa yang kuterima. Sekalipun novel itu fiktif, pengarang memiliki tempat untuk merefleksikan potret kehidupan. Pengarang bergerak, bermain-main dengan dunianya bersama tokoh dalam cerita. Pengarang membangun dan menghidupkan, serta menggerakkan cerita berkat mereka.

Pandainya, mereka juga menyelipkan sisi kejiwaan manusia sehingga pembaca terbawa pada suatu kondisi sedih, atau marah, atau, bahagia begitu membaca.

Hmm, kiranya, aku pernah mengalami ini. Tepatnya sih sering. Hehehe. 

Salah satunya, seketika membaca catatan jurnalistik Chik Rini Mas, Sebuah Kegilaan di Simpang Krarf, rasanya pening hingga berhari-hari. Pori-pori tubuhku spontan berdiri—turut merasakan sakit, tangis, rintihan orang-orang di Simpang Kraft. Hebat sekali Rini, mampu menghipnotik pembaca ke dalam tulisannya. 

Itu, namanya tulisan berasa. Namun, bodohnya aku terlalu terbawa suasana cerita. Harusnya, aku lebih santai membaca karena sekadar tambahan referensi penelitian, dan membandingkan satu informasi atau data dengan sumber lainnya. Ya, bonus deh, atau musibah.

Kelemahanku memang terlalu terbawa perasaan. Membaca langsung berdampak pada psikologi seseorang. Katakanlah nih ya, hehehe kita yang belum sekalipun berpacaran, saat membaca roman bakalan terbawa. Membayangkan keindahan cinta, kemahriban bersama, dan kelengkapan memiliki.

Wah, cinta memang menggerakkan ya Mas. Terlebih cinta hakiki, bakalan hidup dan tahan lama. Cinta, cinta lo ya, bukan nafsu.

Ya, tentang karya adalah potret kehidupan, aku cukup tahu. Setidaknya aku pernah memelajari di bangku kuliah. Bahwa sejatinya apa yang ditulis oleh para pengarang, sastrawan, novelis kita adalah refleksi sosial. Mereka secara langsung mengungkap sesuatu dari apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami. 

Seperti novelis Arafat Nur dan Seno, mengapa bisa langgeng bercerita tantang kekerasan, pembantaian, pembunuhan, dan lainnya. Tersebab, mereka menyaksikan langsung, turut merasakan berada dalam kondisi mencekam semacam itu.

Kaitannya dengan ini, aku mengenal segitiga Abrams yang terdiri dari mimetis, objektif, pragmatik, dan ekspresif. Dalam segitiga itu, mimetis berada di puncak. Mengapa, hm pasti kamu lebih paham tentang ini Mas. Pastinya ya karena mimetis merupakan salah satu teori sastra yang secara langsung memotret kehidupan sebagai refleksi sosial.

Sementara, objektif lebih menekankan pada unsur-unsur yang dibangun pengarang. Pragmatif, berkenaan dengan penyampaian nilai, manfaat, dan pesan secara tersurat maupun tersurat kepada pembaca. Dalam hal ini, lebih fokus pada nilai. Bagaimana nilai itu ditafsirkan dan dikaji untuk memberikan makna atau arti. 

Dalam analisis pragmatik ini, asyik lo. Kita bisa bermain-main dengan simbol yang berkenaan dengan semantik, hermeutika, maupun interaksi simbolik. Hehehe. Dipenelitian yang baru saja aku selesaikan aku membongkar simbol menggunakan aplikasi interaksi simbolik. 

Makanya, aku bisa tahu tentang kebenaran dirimu Mas. Senyummu, gerak tubuhmu, ekspresimu, bahasa lisanmu, dan semua tentang dirimu. Hingga saat ini, yang belum kutahu adalah, apakah kamu benar mencintaiku? Maaf, aku selalu menanyakan itu.

Terakhir Mas, kalau ekspresif itu lebih pada bagaimana pembaca dapat menghubungkan karya sastra yang tercipta dengan pengarangnya. Ya, teori ini bisa didukung dengan sosiologi karya sastra dan sosiologi pengarang.

Mas Fendik terkasih, gegara aku banyak belajar dan membaca sastra, kadang timbul keambigiutas hidup. Jujur, kadang itu seakan hidup sekadar menjalankan drama di bumi. Kehidupan yang sebenarnya ya di ruang keabadian.

Aku juga berpikir, bahwa Tuhan itu seumpama pengarang, sastrawan, dan skenario. Sekarang ini kita sedang bermain peran. Dunia seumpama sinetron di televisi-televisi, dan lucunya kita juga bermain sinetron di atas permainan hidup ini. Dosa tidak sih aku berpikiran begitu, Mas. 

Tentang gaya penceritaan tukang sastra memiliki kekhasan masing-masing. Iya tidak ada karya yang tidak bagus. Semua karya bagus. Justru ketidakbagusan itu terletak pada jiwa kreatif manusia yang tidak mau berkarya.

“Saatnya praktik, bukan berteori!”

Oh ya, mengapa kamu dulu tidak mau disebut sastrawan Mas. Padahal karya-karyamu kan juga fenomenal. Apakah kamu berpikiran sama denganku, bahwa itu hanya gelar saja. Terpenting adalah karya.

Sastrawan, penulis, jurnalis, atau apalah itu tidak amat berpengaruh. Lagi pula, sebagian masyakat kita teramat asing dengan istilah itu. Beda katakanlah dengan guru, dokter, polisi, atau jabatan kepemerintahan.

Jadi ingat kata-kata Pram, bahwa yang kekal adalah karya. Meski, pengarangnya bermukim di bawah tanah karya tetap abadi di ruang baca dunia. Semoga karya-karya kita dikenang dan dibaca, bermanfaat untuk orang lain ya. Begitu.

Mari berlayar pada dunia imaji, Mas. Berkarya membuka sejarah baru—untuk hari ini dan esok.

Suci Ayu Latifah
12.05.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...