Langsung ke konten utama

Ruang Mistik Cinta

Begitu benarkah cinta itu?
“Cinta adalah kekuatan yang telah disabda Tuhan, sehingga gunung-gunung tinggi akan merendah karena-NYA. Sedangkan jurang yang curam akan tampil kepermukaan, karena kalah bercinta. Maka ia pun akan terusir dari hatinya.” (Serat Joko Lodhang -1845)
Siapa yang tak mengenal cinta? Cinta itu memiliki makna yang dalam, arti yang luas pula indah. Tiada satu kata pun yang mampu melukiskan keindahan cinta. Cinta adalah jembatan penghubung antarjiwa manusia yang timbul perasaan (feeling) dan prasangka lain terhadap lawannya. Dalam jembatan tersebut hubungan antarmanusia tidak akan berarti apa-apa tanpa dilandasi rasa cinta. Karena itu, cinta membuat “Aku” dan “Kamu” menjadi “Kita” dan “Kami.”

Dengan cinta, sesuatu yang sebelumnya biasa-biasa saja terasa begitu luar biasa—istimewa. Kehidupan yang semula hambar menjadi penuh bermakna dan berarti. Demikian pula dengan kegelisahan. Cintalah yang akan menghapusnya menjadi kenyamaan, ketentraman, dan kebahagiaan diri. Dahsyatnya kekuatan sebuah cinta, yang telah disabda Tuhan tak dapat diungguli karena cinta sesungguhnya berasal dari-Nya.

Sungguh indah suatu kehidupan yang dilandasi cinta. Entah cinta kepada Sang Khalik, cinta kepada orang tua, cinta kepada saudara, cinta kepada rekan atau sahabat, cinta kepada hewan atau tumbuhan, dan cinta kepada lainnya. Karena alasan cinta, seorang remaja misalnya, akan timbul semangat dalam diri. Semasa remaja jatuh cinta pada lawan jenisnya.Seperti kisah asmara yang pernah diceritakan oleh sahabat saya. 

Ketika dia jatuh cinta terhadap kakak angkatan. Sewaktu itu, bersemilah benih-benih cinta tumbuh dalam hati, yang menjadikannya bunga-bunga bermekaran bebas, pada taman dari mata-mata hatinya.  Ceritanya bermula, mereka berada dalam satu lingkup atau ruang sebuah organisasi intra-sekolah yaitu OSIS. Mungkin tidak mungkin, iya atau tidak, bisa tidak bisa organisasi tersebut sudah dipastikan sering mengadakan pertemuan. Entah untuk membahas suatu agenda, atau sekadar pertemuan biasa setiap minggunya. 

Mereka mulai saling memiliki rasa kagum dengan saling memuji. Bemula dari sebuah pertemuaan, musyawarah, diskusi, mengobrol hingga suatu keadaan yang kebetulan keduanya dalam satu tugas. Sedari itulah, benih-benih itu tumbuh dan menjalar menuju relung hati menguasai pikiran. Seperti pepatah Jawa mengatakan,”Witing tresno jalaran songko kulino.” Arti dalam bahasa Indonesia adalah awalnya cinta disebabkan karena suatu kebiasaan.

Cinta karena Allah
Betapa bahagianya pertemuan dua insan yang saling mencinta dan merindu atas asma Allah, karna Allah. Saya berpikir cinta itu memberi dan menerima, ternyata salah. Bahkan  fatalnya, jika cinta itu hiburan, keinginan, bahkan permainan. 

Hakikatnya cinta tidak dapat ditemukan selain dengan segenap cinta yang mendalam. Cinta adalah menjaga. Artinya menjaga pasangan hidupnya mencangkup keseluruhan, baik lahir maupun batin.

Cinta bukan semata-mata permainan belaka. Karena cinta yang dianugerahkan dari sang Khalik adalah sebuah amanat. Seperti halnya,”Ya Allah, sekiranya aku jatuh cinta. Maka jatuhkanlah cintaku pada seseorang yang melabuhkan cintanya padamu agar bertambah kekuatanku untuk mencintaimu.”

Dari kutipan di atas jelas mengungkapkan, cinta karena Allah akan berdampak luar biasa. Oleh karenanya, sudah sepantasnya kita mencari pasangan yang ideal. Pasangan yang dapat mengajarkan kita kekuatan cinta seperti cintanya kepada sang Khalik.

Cinta dan air mata
Seperti yang sudah diungkapkan di awal. Cinta itu indah. Cinta itu agung. Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah cinta akan selalu baik-baik saja? Bagaimana dengan air mata dalam cinta? 

Sama seperti buah kehidupan. Cinta juga ada suka dan duka. Mustahil jika suka saja mengalir bak air pada pelepahan. Hal tersebut mengingatkan saya terhadap cinta kedua orang tua saya, terlebih Ibu (seseorang pembawa surga di telapak kakinya). 

Kecintaan ibu dan saya terhadapnya tidak dapat diukur maupun diungkapkan. Bagi saya ibu adalah nyawa. Tiada  seorang pun yang mampu memberikan energi dalam relung jiwa saya. Kasih sayangnya, perhatiannya, pengorbanannya dalam merawat serta membimbing saya sehingga menjadi manusia. Hal tersebut baru saya rasakan ketika saya jarak yang memisahkan saya denganibu karena alasan perekonomian. Ibu merantau ke Surabaya, sedangkan saya tetap bersemedi di tanah merah.

Setiap kali mendengar cerita maupun lagu yang beraroma ibu, kolam surga saya terasa ingin pecah ke daratan. Satu, dua, tiga tetas mengalir deras pada palung kehidupan. Alangkah besar cinta saya. Sebesar bumi, seluas jagat raya, dan sejauh sang surya. Seketika itu pula, saya selalu memanfaatkan momen-momen terindah saat kami berkumpul. Tertawa, bercerita, dan menangis bersama karna cinta segalanya menjadi berarti. Semua karna cinta.

Karena itu sangatlah cocok seperti cuplikan lagu Rhoma Irama yang berbunyi: “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga.” Maksud dari isi lagu itu adalah seluas apapun taman (hati) apabila di situ tidak tumbuh bunga (cinta), maka taman itu tidak ada artinya apa-apa. Sebab bunga itu melambangkan keindahan. Oleh karena itu, cinta itu primer. 

Sejatinya cinta itu telah mengakar pada setiap diri manusia yang dianugerahkan sang Khalik. Dengan cinta kita dapat memaknai kehidupan. Karna cinta akan menjadikan gunung-gunung tinggiakan merendah, sedang jurang yang curam akan kepermukaan. Salam cinta untuk kita semua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...