Langsung ke konten utama

Sinopsis Novel Tanah Surga Merah Karya Arafat Nur


 “Konflik politik di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) buka sekadar latar novel ini, tetapi juga inti cerita. Meski menjadikan gejolak politik lokal sebagai pokok cerita, naskah ini tidak terperangkap pada reportase jurnalistik. Ia menghadirkan seorang mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pulang ke kampungnya dan menemukan kenyataan-kenyataan yang tidak sepenuhnya bisa ia terima. Ada harapan yang tidak terpenuhi tetapi juga ada keajaiban yang datang tanpa diminta. Disampaikan dengan gaya reportase yang tidak kering, novel ini dengan sabar membangun peristiwa demi peristiwa tentang tema-tema lokal yang sangat politis. Pengalaman romantis yang membayang samar di akhir naskah ini adalah sejumput harapan di tengah segala yang begitu mengekang. Benturan antara banyak kepentingan dan kerakter, dengan amunisi konflik politik lokal, bukan hanya membuat naskah ini sebagai naskah novel politis tetapi juga memberi humor yang baik...” (Dewan juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016)

Novel pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 karya Arafat Nur mengisahkan seorang mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bernama Murad yang berlatar gejolak politik di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) pasca perjanjian damai GAM dan pemerintah Indonesia. Murad, setelah lima tahun berada di tempat persembunyian akhirnya memberanikan diri pulang ke kampung halaman pada Minggu, 9 Februari 2014 tepat ketika dua bulan lagi hendak dilaksanakan pemilihan umum dewan. Agar tak gampang dikenali, dia mengubah penampilannya. Tapi nyatanya dia masih dikenali dan diburu. Bahkan ketika berada di dekat kedai Terminal Lamlhok, Saifud bersama komplotannya yang merupakan anak buah Suardin dari Partai Merah yang kini menjadi walikota mencurigainya sebagai Murad. Orang-orang buduk itu mengejar dan mengeroyok Murad. Namun akhirnya Murad dilepaskan setelah dirasa dia tidak mirip dengan Murad.

Sebagai mantan anggota Partai Merah dan pernah menembak Jumadil, salah seorang anggota lain demi membeli kehormatan Fitri—gadis Bulloh salah satu kerabat wanitanya—Murad tak bisa hidup dengan tenang. Dia dianggap sebagai pembunuh keji, penjahat, dituduh sebagai bandar narkoba hingga dianggap akan mendirikan partai baru untuk mengalahkan Partai Merah. Hal itu membuatnya terus diburu oleh Partai Merah. Setelah pengeroyokan di dekat kedai terminal Lamlhok, Murad menyusup ke jalan Pusong. Masuk ke sebuah masjid untuk membersihkan tubuh dan pakaiannya yang kotor. Lantas kembali meneruskan perjalanan untuk menemui Abduh, kawan yang lima tahun lalu membantu melarikan dirinya. Sesampainya di rumah Abduh, Murad tidak langsung dikenali sebab penampilannya yang berubah. Butuh beberapa waktu dan beberapa pertanyaan untuk Abduh bisa mengenali Murad. Ketika Abduh sudah mengenali Murad, Abduh menyadari kondisi Murad yang terancam. Seketika Abduh memegang tangan Murad dan menariknya masuk ke rumah, seolah Murad ini benda terlarang yang harus segera disembunyikan.

Abduh adalah kawan masa sekolah Murad yang kini menjadi seorang guru sejarah. Menikah dengan perempuan bernama Husna yang juga seorang guru dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Kisti. Abduh juga mempunyai Bambang, kucing lucu yang gemar membaca. Selepas magrib, mereka makan malam sembari membincangkan soal kondisi negeri Aceh. Soal sikap orang-orang Partai Merah yang berkuasa makin menjadi-jadi, menekan kaum sendiri, menjadi pengisap juga bandar dan agen pengedar sabu dan ganja. Perbincangan mereka beralih pada keadaan siswa-siswa tempat Abduh dan istrinya mengajar. Hampir semua siswa dungu-dungu, tidak tahu apa-apa, hanya memikirkan bermain, jajan dan pacaran, nakal dan bandel, berani melawan dan menentang guru, bahkan isap ganja dan hirup sabu. Paradoksnya, guru justru menganjurkan siswa pacaran dengan alasan meningkatkan minat belajar. Tak seorang pun siswa yang suka membaca buku, generasi Aceh adalah generasi bodoh yang semakin menengelamkan Aceh pada kemunduran dan kegelapan. Maka Abduh memiliki gagasan tembak mati di tempat bagi siapa saja yang tidak membaca buku agar Aceh menjadi bangsa maju. Namun tampaknya gagasan itu tidak akan berlaku sebab orang-orang pemerintah sendiri justru membenci dan memusuhi buku.

Ketika terbangun di pagi hari, tubuh Murad terasa pegal dan keju. Murad menutupi pengeroyokan yang dialaminya pada Abduh dan Husna. Selanjutnya, lazimnya pegawai pemerintah, Abduh dan Husna tampak sibuk, memakai seragam kerja, menitipkan Kisti pada tetangga lantas berangkat kerja. Sementara Murad, berencana untuk menemui Mukhtar, teman seperjuangannya. Lama Mukhtar tak mengenali Murad, tetapi ketika menyebut nama Dun Mimi, Mukhtar terkejut dan mengenali Murad. Mukhtar menganggap Murad seolah hantu. Mukhtar berkata bahwa situasi saat ini semakin memanas dan sebentar lagi akan muncul lidah api.

Rumah Mukhtar dekat sungai, Murad mendapati hidup kawannya itu begitu miris. Kehidupan sederhana menjadi penangkap ikan untuk menghidupi istri dan kedua anaknya. Hidup yang diinginkan Mukhtar, meski sederhana tetapi tenang. Murad hendak mengajak Mukhtar untuk kembali angkat senjata, tetapi Mukhtar menolaknya. Kemudian mereka membicarakan orang-orang Partai Merah yang berkuasa dan lupa diri sebab dimabuk harta dan tahta. Faisal, mantan anggota dewan yang kini menjadi kaya dengan memasok sabu. Faisal kebal hukum, sebab polisi pun justru ikut terlibat. Ada pula Dun Mimi yang membelot dari Partai Merah. Hadi Kriet, teman mereka yang seorang teungku dan anggota dewan Partai Merah yang pelit, lupa diri dan lupa kawan sendiri. Hingga Mukhtar menyebut bahwa kursi dewan itu sebuah kutukan Tuhan.

Dalam perjalanan pulang dari rumah Muktar, Murad memikirkan sahabatnya yang terpuruk itu juga nasib negeri ini. Penduduk semakin merana dibawah kendali Partai Merah—partai lokal yang memenangkan pemilu dan menduduki tempat-tempat penting pemerintahan. Penduduk terlalu percaya pada Partai Merah sebab seringkali mereka berpolitik dengan membawa agama. Selain itu, meski pada pemilu April 2012 kepercayaan rakyat menurun, mereka tetap mendulang suara terbanyaksebab kerja mesin politik, berikut ancaman, tekanan dan teror. Di jalan, Murad menjumpai hal-hal tak terduga. Tiga pemuda yang berada di kantor Partai Merah yang tampak bodoh dan sibuk dengan telepon genggam. Tiga remaja di dekat Murad istirahat yang berbincang simpang-siur soal politik, gadis, uang jajan dan rasa benci pada guru, teungku dan orang tua. Juga kelakuan pengunjung kedai di pantai yang berkencan dengan bebas dan berbuat mesum. Paradoknya, kejadian itu terjadi di negeri Aceh yang tengah gencar menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dulu, perbuatan semacam itu harus dihukum cambuk. Tetapi sekarang tidak lagi, sebab meskipun dicambuk hubungan terlarang seperti itu terus terulang. Lagi pula hukuman cambuk hanya berlaku untuk rakyat jelata. Pejabat yang berzina bebas dari hukuman ini bahkan mereka yang korupsi akan segera bebas setelah menyuap hakim. Kota ini adalah milik para penguasa, saudagar, pejabat, penjahat, bandit dan preman.

Matahari belum seutuhnya tenggelam ketika Murad sampai di rumah Abduh. Dia disambut oleh Bambang, kucing jantan putih milik Abduh. Tak berapa lama Murad mandi dan berpakaian kemudian mengajak Kisti keluar ke pekarangan. Di sana, Murad mendapati seorang gadis yang tengah menghardik kucing yang sedang kawin. Gadis itu bernama Nanda—tetangga Abduh. Mereka berbincang-bincang sebentar lalu datanglah Abduh sehingga Murad undur diri. Murad dan Abduh kembali berbincang-bincang. Abduh membicarakan naskah drama berjudul Bacalah Buku Sbelum Tuhan Mencabut Nyawamu. Ketika Murad membaca naskah drama itu, Bambang seolah-olah ikut membaca. Abduh juga berkata bahwa riwayat kucing itu juga ia masukkan dalam novelnya. Murad pun sedikit tercengan, mendapati kelakuan Abduh dan kucingnya yang aneh.

Tiga hari berturur-turut, ternyata banyak baju kotor. Maka Murad mencuci dan menjemurnya di belakang rumah. Sementara Abduh dan Husna sibuk mempersiapkan pementasan drama. Selesai menjemur dan kembali berbincang sebentar dengan Nanda, Murad menanak nasi di dapur. Kemudian datanglah Nanda mengantar gulai kangkung. Murad berkata akan mengajak Nanda jalan-jalan. Tapi tampaknya gurauan sederhana itu menimbulkan masalah serius karena Murad tak punya uang.

Selepas Ashar, Murad dan Abduh berangkat ke lapangan kota untuk menyaksikan pertunjukan drama. Drama karya Abduh berjudul Bacalah Buku Sebelum Tuhan Mncabut Nyawamu diawali dengan petikan delapan ayat surat Al-Alaq. Drama itu merupakan drama menyingung situasi kini dan pendidikan. Menyindir orang Aceh dan Indonesai yang tidak suka membaca buku sehingga tidak menjadi bangsa maju. Bagi Murad, pertunjukan drama itu aneh. Tiba-tiba perasaan Murad tidak enak dan benar saja, ada orang yang sedang menguntitnya. Mereka adalah Saifut dan komplotannya Murad berusaha bersembunyi memasuki jalan diapit rumah, namun mereka menemukannya dan langsung menyerang. Murad kalap, marah dan nekat balik menyerang dengan menyepak telur Saifud. Ketika Saifud kesakitan dan dibantu berdiri oleh kedua anak buahnya, Murad menjauh dan menyusup ke lorong kecil.

  Matahari sore hanya tersisa sepenggal lagi begitu Murad sampai di rumah. Husna dan Nanda yang mengetahui kondisi Murad lalu memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. Murad menjelaskan apa yang menimpanya. Nanda membantu mengobati luka Murad. Tak lama kemudian datanglah Abduh yang disambut Husna dengan pertanyaan apakah terjadi sesuatu dengan pertunjukan dramanya. Abduh mengatakan aman-aman saja. Di lain kesempatan, selagi makan malam, Abduh mengatakan bahwa sebenarnya pertunjukan dramanya menimbulkan masalah serius. Polisi datang menghentikan pertunjukkan, memeriksa dan menahan kartu penduduk Abduh serta membawa pistol mainan sebagai barang bukti. Peristiwa ini sepertinya akan menjadi sejarah pertama pencekalan terhadap pertunjukan drama di Aceh; sesutu yang berbeda seringkali sulit diterima orang-orang anti ilmu pengetahuan.

Esok paginya, Murad memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Abduh mengantarkan Murad ke rumah Hadi Kriet—teman seperjuangan yang kini jadi anggota dewan Partai Merah. Setelah menjadi anggota dewan, Hadi Kriet diselimuti kekayaan tetapi justru membuat dirinya lupa diri. Hal inilah yang memicu kemuakan Murad pada kawannya ini. Perdebatan sengit sempat mewarnai pertemuan mereka. Setelahnya, Hadi Kriet mengantarkan Murad ke kampung halamannya di Nisam menaiki mobil mewah. Dalam perjalanan, ketika mereka berhenti di depan kios surat kabar, Murad menemukan sebuah berita berjudul: Murad, Si Pembunuh Kejam Sedang Berkeliaran di Lamlhok. Sebelum sampai tujuan, Hadi Kriet menurunkan Murad di jalan sebab khawatir mobilnya akan dikenali.

Lima belas menit Murad harus berjalan kaki untuk sampai kampung halaman yang ia rindukan dan sayangi. Kampung halaman seperti surga menawan yang menenagkan dan memberikan berjuta harapan dan impian tetapi telah banyak darah yang tumpak di sini sehingga menjadi tanah surga merah. Sesampainya di rumah, Murad mendapati ibunya yang telah rabun dan kakak perempuannya, Aminah. Setelah menjelaskan kondisinya, Murad menyerahkan beberapa uang tek terduga dalam jaket yang dipinjamnya dari Hadi Kriet. Lantas meminta, Imran—suami Aminah yang tuna rungu—untuk mengantarnya ke Sowang. Tampaknya, takdir lain telah menunggu Murad di ujung jalan sana.

Di Sowang, Murad menemui Imran, seorang kawan penyimpan pistolnya yang mendukung terbentuknya Partai Jingga—partai yang digagas Murad melalui artikel-artikelnya di surat kabar. Imran mengatakan bahwa Partai Jingga yang telah terbentuk terus mendapat tekanan dari Partai Merah sehingga menyulitkan pergerakan. Partai Merah memang partai yang sangat berkuasa, partai terkaya, orang-orangnya menduduki tempat penting dengan banyak pengikut dan pendukung. Untuk menyambut pemilu, Partai Merah genjar berkampanye bahkan sebelum kampanye resmi dijadwalkan. Mereka kerap menggunakan senjata dan bom untuk menakuti partai lain. Partai Merah memang partai orang-orang yang rusak parah.

Seusai Magrib, Murad dan Imran menelusuri jalan utama menuju tempat kampanye Partai Merah. Dalam kampanye itu, Partai Merah membawa agama sebagai topeng untuk menarik dukungan masa. Mereka menyebut diri sebagai partai Tuhan, peduli agama, menegakkan syariat Islam, memperjuangkan penderitaan rakyat. Mereka juga menakuti bila Partai Merah kalah, Tuhan akan murka. Maka malam itu juga, Partai Merah mengambil sumpah berikan suara untuk partai Tuhan kepada orang-orang dalam kampanye itu.

Kamis pagi, Murad dan Imran membongkar dan memindahkan jerami untuk mengambil pistol FN kaliber 5,7 mm buatan Belgia yang tertanam dalam tanah. Tak berapa lama setelahnya, Murad mendapati sebuah berita berjudul Murad Mulai Beraksi, Membakar Kantor Partai Merah. Berita hoax yang semakin memojokkan Murad.  Di bawahnya ada berita pemeriksaan terhadap Abduh dengan judul, Polisi Periksa Guru Sejarah yang Mementaskan Drama Aneh. Namun dikatakan bahwa akhirnya Abdu dibebaskan sebab tidak ada bukti kuat. Ketika matahari sudah berat condongnya, Murad pergi ke pasar Sowang untuk membeli beberapa pakaian dan celana dalam. Di pasar, ada seorang teungku bernama Jabbar Salam yang dulunya imam masjid dan tersingkir karena ceramahnya keras. Kini teungku itu berceramah di pasar-pasar dan beberapa orang melempar uang koin ke arahnya. Ceramah teungku Jabbar Salam menyindir kelakuan manusia zaman sekarang yang lupa diri, membandingkan dengan binatang babi dan anjing hingga menyebut bahwa setan bukan hanya dari golongan jin tetapi juga dari golongan manusia. Ketika hari mulai gelap, Murad beranjak ke utara tetapi ternyata ada orang-orang yang menguntitnya.

Murad telah kembali dan menyadari di balik pinggangnya ada sepucuk pistol maka dia berhenti dan membalikkan badan ke arah penguntit. Murad heran, mengapa orang yang sengaja dia temui seperti Abduh, Muktar, Hadi Kriet, dan Imran tidak segera mengenalinya tetapi orang-orang Partai Merah yang dihindari langsung mencurigai dan mengenalinya. Para penguntit itu menyerang, memukul dan menginjak kaki Murad yang rasanya seperti patah. Mengetahui nyawanya terancam, Murad menjabut pistol dan membuka kunci pelatuk. Tembakan yang menggema tak lapa selepas ucapan “Aminn” jamaah di masjit itu mengenai pangkal paha penguntit gemuk. Setelahnya, sekuat tenaga Murad bangit, meninggalkan tempat itu dan terus melangkah dalam kesenyapan. Beberapa waktu, sampailah Murad di sebuah rumah papan. Peghuni rumah menanyai Murad dan akhirnya mengetahui bahwa ia masih kerabat Imran. Tak berapa lama Imran datang dan membonceng Murad ke tempat tukang urut bernama Usman. Sementara itu, orang-orang Parati Merah menganggap Murad sebagai penyusup yang membuat kekacauan.

Jumat keesokan harinya, keadaan Murad sudah agak membaik. Usman dan istrinya—Salamah—merawat Murad dengan baik. Mereka adalah pasangan suami istri yang tidak terlalu peduli dengan urusan politik karena kekecewaan pada Partai Merah. Saat petang hari, Murad kembali memikirkan Imran yang tak junjung datang. Lalu, tengah malam, Imran datang dengan membawa kabar situasi semakin runyam. Orang-orang Partai Merah memeriksa rumah Imran tetapi tidak mendapati apa-apa. Di mana-mana terjadi penembakan, sementara Murad-lah yang dituduh sebagai dalang semua peristiwa itu. Imran berkata bahwa tidak sejengkalpun tanah ini aman lagi bagi Murad. Maka dia perlu masuk lagi ke hutan.

Hari Sabtu, Usman merasakan firasat tidak baik. Maka dia meminta Murad untuk bersembunyi di timbunan besar jerama. Benar saja, tak berapa lama terdengar bunyi kereta orang-orang Partai Merah mencari Murad. Tetapi mereka tidak mendapati Murad karena yang telah bersembunyi. Seharian Murad bersembunyi dalam tumpukan jerami itu. Tengah malam, datang lagi orang-orang yang mencari Murad tetapi kembali tak menjumpainya di rumah Usman. Mengetahui hal itu, Imran mengutus Dahli untuk menjemput murad di tengah malam. Menyuruhnya menyamar sebagai teungku (Teungku Gafar Sabi) dan membawanya ke suatu tempat yang aman.

Seorang teungku tiba di Klekklok setelah menempuh perjalanan panjang. Kampun Klekklok adalah kampung terpencil di tengah hutan yang sering dilanda bencana. Warganya berkeyakinan bahwa bencana itu karena tidak adanya rahmat dari teungku. Maka kedatangan Murad sebagai teungku begitu dihormati hingga mereka berebut untuk mencium tangan Murad. Juga berebut untuk menampung Murad—sang teungku—di rumah. Akhirnya, Murad memilih untuk tinggal di rumah janda bernama Buleun yang tinggal bersama anaknya, Jamil.

Murad merasa terperangkap bingung di kampung Jin. Tempat itu begitu aneh baginya. Berada jauh di tengah hutan, warganya terbelakang, tak ada listrik di sini. Sewaktu Jamil mengantarkan makanan ke bilik Murad, dia bercerita bahwa dahulu ada seorang teungku bernama Teungku Ballah yang menjadi panutan, mengajarkan sholat dan mengaji juga mengobati orang sakit. Tetapi suatu ketika ada seorang tukang sihir bernama Ben Ahmed yang membencinya. Dia menguna-guna Teungku Ballah. Tak lama setelahnya Teungku Ballah sakit dan dibawa ke luar kampung. Teungku Ballah tak pernah kembali. Dan sejak itu, tanpa adanya seorang teungku, kampung Klekklok dilanda banyak bencana.

Warga kampung Klekkok mengira semua teungku sama, punya keahlian khusus melihat benda hilang, mengobati orang kerasukan, kena saput hantu, melawan jampi-jampi, sampai menangani orang yang terserang panas dalam. Seolah semua teungku memiliki kelebihan hebat dan serbabisa menangani semua masalah. Lalu datanglah seorang lelaki bernama Gamal yang mengadu pada Murad bahwa sepedahnya telah hilang dan mertuanya marah besar. Ingin Murad menyemburkan sumpah serapah, tetapi tak ada gunanya. Maka, dia mengatakan bahwa sepedah itu belum hilang dan menyuruh Gamal pulang.

Selepas Magrib seusai makan, terdengar Buleun mengetuk pintu dan mengabarkan bahwa ada orang yang hendak menemui Murad. Tetapi Murad menolak menerima tamu itu. Keesokan paginya, seorang perempuan berusia tiga puluh datang mengadu bahwa kaki anaknya patah. Anak itu mencuri sepeda. Sang ibu tidak lapor pada Ampon—kepala kampung—sebab tidak berani berbuat apa-apa menghadapi kerumunan orang yang menyesaki pekarangan. Maka datanglah Murad ke rumah perempuan itu. Murad tak memperbolehkan seorang pun memukul anak itu. Dia masuk ke dalam rumah dan mendapati seorang lelaki (Dullah) tengah memegangi kaki anaknya yang berdarah dan ketakutan. Murad akhirnya menyuruh Dullah untuk datang ke biliknya, mengambil obat untuk anaknya. Kemudian Murad memberi ganti rugi pada Gamal. Orang-orang yang ada di sana beranggapan bahwa teungku yang dikirim pemerintah itu aneh, garang tetapi baik hati dan pemurah.

Hari berganti hari dan sepertinya akan ada masalah lain yang harus dihadapi Murad sebagai seorang teungku. Keinginan Murad mendapat tempat persembunyian yang damai untuk memikirkan masalah bangsa harus pupus karena keberadaannya di kampung Klekkok selalu diusik oleh warga. Saat Murad menyerahkan ramuan untuk obat kaki anak Dullah, tiba-tiba datanglah seorang perempuan bernama Ramlah yang meminta Murad untuk mengobati anaknya. Anak Ramlah sudah lama sakit, tak seorang dukun pun mampu mengobatinya. Ramlah memohon dengan iba, menawarkan janji-janji tetapi Murad menolaknya dengan kesal. Untuk meredakan kekesalannya, Murad mengajak Jamil jalan-jalan. Di jalan kampung, Murad bertemu jemala, gadis cantik seperti bidadari berusia enam belas tahun yang mahir berburu, cerdas dan suka membaca. Murad terpesona padanya dan seraya mengingatkan pada Nanda. Sang gadis menyapa Murad dengan lembut dan sopan. Setelah Jemala berlalu, Murad dan Jamil mendatangi masjid kampung yang tak terurus dan bahkan hampir roboh karena sejak Teungku Ballah pergi, tak ada yang solat dan mengaji lagi. Tanpa berkata, Murad pulang dengan terburu-buru. Setiba di rumah, Ramlah kembali menyongsong Murad dengan permohonan agar dia mau mengobati anaknya. Murad tetap menolaknya dengan ancaman akan pergi dari kampung jika terus dipaksa. Akhirnya, ramlah pulang dengan kecewa. Murad masuk dalam bilik, tertidur sesaat dan terbangun untuk sholat Magrib. Selesai mengucap salam, tampak belasan laki-laki dan perempuan mengantarkan anaknya pada Murad untuk diajarkan membaca Quran. Murad menjelaskan dengan jengkel bahwa dia datang ke kempung Klekkolk bukan untuk mengajar mengaji melainkan memastika mereka tidak menyembah berhala. Kemudian Murad berlalu pergi tanpa memedulikan mereka.

Paginya, tersiar kabar mengguncang bahwa Murad akan meninggalkan Klekkok. Warga menyalahkan Ramlah karena dia terus memaksa Murad mengobati anaknya. Warga pun berinisiatif mencarikan istri untuk Murad agar dia tidak pergi. Ketika mulai hening tak ada suara perbincangan warga, datanglah Ramlah kembali untuk meminta maaf dan tetap memohon agar Murad mengobati anaknya. Akhirnya, karena sudah tak tahu harus bagaimana, dengan pasrah Murad menuruti permintaan Ramlah. Sesampainya di rumah Ramlah, alangkah terkejutnya Murad mendapati seorang gadis tergeletak tak berdaya, tubuh kurus kering, mata cekung, dan rambut rontok layaknya mayat hidup. Melihat kondisi gadis itu, Murad merasa iba, meneteskan air mata lalu menangkupkan tangan kanan di kepala gadis sambil membacakan ayat-ayat surat pendek dan menghembuskan ke tubuh si sakit. Setelahnya, Murad membacakan doa dalam hati dengan khusyuk. Tanpa menunggu lama, Murad keluar dan pulang dengan mata sembab. Petangnya, Murad berjalan-jalan di jembatan. Datanglah Dahli dengan kereta engkolnya. Murad begitu kesal padanya, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa dan harus tetap tinggal di kampung ini. Dahli membawa sepucuk surat dari Abduh. Dalam surat itu, Abduh mengabarkan soal Nanda yang terus menanyakan Murad juga kabar kematian Bambang. Berita kamatian kucing itu benar-benar membuat hati Murad sedih.

Belum lagi Magrib usai, pintu bilik Murad diketuk-ketuk. Ternyata kembali ada dua lelaki dan tiga perempuan membawa anaknya untuk belajar mengaji. Melihat situasi ini, Murad akhirnya memanggil kepala kampung dan memerintah agar warga memperbaiki masjid untuk tempat belajar mengaji anak-anak. Ampon, kepala kampung mengangguk-angguk. Merasa memiliki kesempatan, Murad mencoba menjelaskan dan mempengaruhi warga tentang kebusukan pemerintah sekarang yang semakin manjadi-jadi, tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat. Dengan diwarnai nada humor, selagi orang-orang tertawa Murad masuk dalam biliknya dan teringat bayangan Jemala yang elok. Keesokan harinya, saat matahari terbit, Murad tengah berada di halaman kedai. Datanglah Dullah membawa sekarung barang sebagai ucapan terima kasih karena berkat Murad, kaki anaknya yang patah mulai sembuh. Di saat yang sama, datang pula Ramlah yang mengabarkan bahwa anak gadisnya sudah bisa duduk dan bangkit sendiri. Kejadian-kejadian yang tidak masuk akal itu semakin membuat Murad dianggap sebagai teungku keramat yang semua orang berebut mencium tangannya.

Murad berpikir Tuhan sedang becanda dengannya. Berbagai kejadian yang dialaminya begitu ganjil dan mistik. Selepas Murad buang hajat, mandi dan mencuci jubah putih di sungai, muncul Kamil denagan tergesa dan semangat meminta Murad melakukan ritual peusijuk untuk kelahiran anak sapinya. Dia mempercayai bahwa bila tidak di-peusijuk anak sapi itu akan mati. Melakukan kegilaan jangan setengah-tengah Murad menuruti permohonan Kamil untuk melakukan ritual adat yang amat ganjil baginya. Dia mem-peusijuk anak sapi itu dan memberinya nama Suardin—nama walikota Lamlhok seperti yang dilontarkan seorang gadis misterius dalam kerumunan orang yang menyaksikan ritual itu. Selepas menolak uang dari Kamil untuk ucapan terima kasih, Murad kembali ke biliknya, tak berapa lama datang Jemala. Murad mempersilakannya masuk dalam bilik. Mereke berbincang-bincang. Ternyata Jemala mengetahui siapa Murad sebenarnya dari pamannya, Dahli. Murad terkejut tetapi Jemala berjanji akan menyimpan baik rahasia ini seperti permintaan Dahli.

Seperti kemarin, pagi ini pun ada seorang yang datang meminta Murad melakukan ritual peusijuk pada anak lembu yang baru lahir. Ada dua anak lembu yang lahir bersamaan. Satu lembu milik Katibin diberi nama Sakir—nama wakil gubernur—sementara satu lembu lainnya bernama Sakir—nama gubernur. Sebelum sempat Marad membacakan doa, tiba-tiba muncul seseorang yang langsung mencengkeram tangan Murad dan membawanya lari. Orang itu ternyata Jemala. Katanya, Murad harus segera meninggalkan kampung. Murad paham bahwa ada bahaya yang sedang memburu. Mereka terus berlari menuju tenggara, memasuki hutan, menapaki jalan di bawah rerimbunan pohon dan sesekali menyusuri sungai. Mereka menuju sebuah kampung tengah hutan yang aman. Gerakan Jemala begitu lincah dan gesit membuat Murad terkagum-kagum padanya. Berpegangan tangan bersama Jemala membuat hati Murad damai. Dia tidak pernah menyangka akan dilarikan oleh seorang gadis belia. Setelah perjalanan hampir seharian penuh, sampailah mereka di pinggiran hutan dengan pemandangan menakjubkan. Dari tempat agak tinggi, mereka menebarkan pandangan pada tanaman setinggi dada yang terhampar luas. Tak jauh dari situ, terlihat sekumpulan rumah beratap daun, menandakan adanya penduduk di sini. Kampung yang dimaksud Jemala. Akhir dari perjalanan Murad adalah pelarian bersama Jemala. Menemukan sepetak surga di tengah rimba yang membuat mereka terpana ketika matahari mulai tenggelam dengan langit kesumba.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...