Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (11)



Selamat datang di bulan Ramadhan ke-15, Mas Fendik berkoko. Malam ini bintang menebar jala  di angkasa. Bulan menerka-nerka pada kehidupan fana. Keduanya saling bergumam, pelbagai catatan malaikat dibacanya bersama.

Tetiba, terciptalah sebuah telaga. Telaga yang memancarkan harapan besar bagi kehidupan di dunia. Bersamaan itu, aku sedang menunggu sebuah keputusan, akhir dari sebuah pertemuan mata. Aku tak mungkin lupa, bagaimana pertemuan itu tercipta hingga menjadikan perpisahan tak terduga.


Kamu tahu, ada banyak hal yang tidak dapat ditafsirkan begitu saja. Butuh penerjemah, referensi untuk membaca simbol-simbol kehidupan. Di surat cinta kesebelas ini, aku hendak mengajakmu berbincang-bincang lebih serius.

Penulis buku Gede Prama berkata, “Kematian bukannya lawan kehidupan. Ia adalah mitra makna kehidupan. Hanya dengan menyelami kematian, manusia bisa hidup dengan indah, sekaligus mati dengan indah.” Mas Fendik tercinta, kata-kata itu bertengger pada pembuka sebuah buku Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme karya Komaruddin Hidayat.  Aku usai membacanya, dan kini ingin mengajakmu berenung tentang kematian, supaya kita dapat bersiap ketika pada saat-saat tertentu ia menyapa tanpa sebab.

Sesungguhnya, suatu tantangan membaca buku berat ini, terlebih beraroma kematian. Pada pengantar buku, kujumpai coretan kematian dari Quraish Shihab. Kematian adalah sebuah keniscayaan. Sepintas aku teringat, tertanggal 5 Mei 2020 yang lalu, bersama kita kehilangan pelantun lagu Stasiun Balapan. Kemudian, sebelumnya musisi muda Glenn Fredly dan Ashraf Sinclair, aktris yang tidak banyak mengisi kolom gosip di Indonesia.

Ini petanda apa, Mas. Mengapa Tuhan begitu cepat mengambil orang-orang baik itu, juga para pahlawan yang perang dengan korona. Mengapa Tuhan mengambil mereka?


Kematian, sekali lagi kematian menandakan pentingnya kehidupan, menghidupkan, menghidupi, berkehidupan. Ketika kita sakit, kematian membayangi jiwa, rasa takut membara, menciutkan semangat hidup. Kematian, sungguh mengajarkan nikmatnya hidup. Tentang bagaimana bentuk kehidupan adalah keindahan dunia. Syukur dan menerima, jalan terakhir menikmati hidup.

Apa yang ada di dunia bersifat fana. Apa yang kita miliki bersifat sementara. Kehidupan adalah fatamorgana. Fakta terletak di alam akhirat sana. Sebuah tempat tinggal keabadian.


Bulan Ramadhan, katanya bulan Suci. Ada malam-malam mulia untuk berdzikir--meminta tentang sebuah harapan baik di dunia. Hanya tiga puluh hari saja, Tuhan memberi kesempatan kita untuk kembali. Kembali menelusuri ayat-ayatnya dengan lebih tertib. Tuhan melebarkan sayapnya ketika malam, membuka dan menerima orang-orang yang mau bertamu padanya.


Mas Fendik, sejenak dalam jarak mari kita berserak melakukan remidial untuk perbaikan. Fakta-fakta kehidupan meminta keadilan. Jiwa ini terbelenggu oleh dosa-dosa. Bagaikan bebatuan kerikil tertelan lautan. Kecil-kecil memang, tapi ada dan bisa dirasakan. Demikian itulah gunung kekesalan muasal tercipta.


Di surat kali ini, aku bersaksi atas diriku yang rendah tak lebih baik dari seekor semut. Problem kehidupan enggan surut, serupa hukum alam. Serumpun agama Semitik, Yahudi, Nasrani, dan Islam mengajarkan untuk hijrah (migration, exodus). Hidayat telah menuliskan bahwa pribadi yang mau tumbuh dan kembang kuat akan dihadapkan pada problem dan hambatan. Tujuannya, supaya seseorang dapat menggali dan mengembangkan potensi terpendamnya.


Istilah ini diperjelas dengan adanya pandangan dalam diri seseorang terdapat "the sleeping giant" atau singa yang tidur. Istilah lain "the hiden power", kekuatan yang terpendam. Dalam istilah sufi, dalam diri kita terdapat arasy atau singgasana Tuhan, sehingga kalau seseorang bisa menyerap sifat-sifat Ilahi ke dalam hatinya maka ia akan lebih besar ketimbang bumi dan langit (Hidayat, 2011:23).


Hijrah bagi Hidayat, sebuah proses metamorfosis untuk meraih kualitas hidup lebih tinggi. Aku jadi ingat bagaimana kupu-kupu yang mulanya seekor ulat yang menjijikkan. Banyak orang tidak suka, namun begitu menjadi seekor kupu-kupu yang indah dan cantik,  orang-orang meliriknya. Ya, itu yang dinamakan kualitas hidup.


Di bulan Ramadhan ini, kesungguhan hati dan jiwa menuju kualitas hidup. Bagaimana hidup adalah bagian sejarah terkenang--tentang kebermanfaatan dan kebermaknaan hidup. Hidup adalah sejarah. Kebaikan dan keburukan, tergantung kita memandang kehidupan. Semua kehidupan tentu mendambakan kebaikan. Tidak satupun kita merindu keburukan.


Mari, di bulan ini kita hijrah. Kala malam tiba, perbanyak dialog dengan-Nya. Jangan takut untuk bertanya tentang kehidupan hakiki. Sebuah perjalanan sekali di dunia. Kita akan memungut kebahagian, kedamaian, ketentraman bersama-Nya. Dengan kesungguhan hati, mari kita berserah.

Suci Ayu Latifah
08.05.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...