Selamat datang di bulan Ramadhan ke-15, Mas Fendik berkoko. Malam ini bintang menebar jala di angkasa. Bulan menerka-nerka pada kehidupan fana. Keduanya saling bergumam, pelbagai catatan malaikat dibacanya bersama.
Tetiba, terciptalah sebuah telaga. Telaga yang memancarkan harapan besar bagi kehidupan di dunia. Bersamaan itu, aku sedang menunggu sebuah keputusan, akhir dari sebuah pertemuan mata. Aku tak mungkin lupa, bagaimana pertemuan itu tercipta hingga menjadikan perpisahan tak terduga.
Kamu tahu, ada banyak hal yang tidak dapat ditafsirkan begitu saja. Butuh
penerjemah, referensi untuk membaca simbol-simbol kehidupan. Di surat cinta
kesebelas ini, aku hendak mengajakmu berbincang-bincang lebih serius.
Penulis buku Gede Prama berkata, “Kematian bukannya lawan kehidupan. Ia adalah mitra makna kehidupan. Hanya dengan menyelami kematian, manusia bisa hidup dengan indah, sekaligus mati dengan indah.” Mas Fendik tercinta, kata-kata itu bertengger pada pembuka sebuah buku Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme karya Komaruddin Hidayat. Aku usai membacanya, dan kini ingin mengajakmu berenung tentang kematian, supaya kita dapat bersiap ketika pada saat-saat tertentu ia menyapa tanpa sebab.
Sesungguhnya, suatu tantangan membaca buku berat ini, terlebih beraroma kematian. Pada pengantar buku, kujumpai coretan kematian dari Quraish Shihab. Kematian adalah sebuah keniscayaan. Sepintas aku teringat, tertanggal 5 Mei 2020 yang lalu, bersama kita kehilangan pelantun lagu Stasiun Balapan. Kemudian, sebelumnya musisi muda Glenn Fredly dan Ashraf Sinclair, aktris yang tidak banyak mengisi kolom gosip di Indonesia.
Ini petanda apa, Mas. Mengapa Tuhan begitu cepat mengambil orang-orang baik itu, juga para pahlawan yang perang dengan korona. Mengapa Tuhan mengambil mereka?
Kematian, sekali lagi kematian menandakan pentingnya kehidupan, menghidupkan,
menghidupi, berkehidupan. Ketika kita sakit, kematian membayangi jiwa, rasa
takut membara, menciutkan semangat hidup. Kematian, sungguh mengajarkan
nikmatnya hidup. Tentang bagaimana bentuk kehidupan adalah keindahan dunia.
Syukur dan menerima, jalan terakhir menikmati hidup.
Apa yang ada di dunia bersifat fana. Apa yang kita miliki bersifat sementara. Kehidupan adalah fatamorgana. Fakta terletak di alam akhirat sana. Sebuah tempat tinggal keabadian.
Bulan Ramadhan, katanya bulan Suci. Ada malam-malam mulia untuk
berdzikir--meminta tentang sebuah harapan baik di dunia. Hanya tiga puluh hari saja,
Tuhan memberi kesempatan kita untuk kembali. Kembali menelusuri ayat-ayatnya
dengan lebih tertib. Tuhan melebarkan sayapnya ketika malam, membuka dan
menerima orang-orang yang mau bertamu padanya.
Mas Fendik, sejenak dalam jarak mari kita berserak melakukan remidial untuk
perbaikan. Fakta-fakta kehidupan meminta keadilan. Jiwa ini terbelenggu oleh
dosa-dosa. Bagaikan bebatuan kerikil tertelan lautan. Kecil-kecil memang, tapi
ada dan bisa dirasakan. Demikian itulah gunung kekesalan muasal tercipta.
Di surat kali ini, aku bersaksi atas diriku yang rendah tak lebih baik dari
seekor semut. Problem kehidupan enggan surut, serupa hukum alam. Serumpun agama
Semitik, Yahudi, Nasrani, dan Islam mengajarkan untuk hijrah (migration,
exodus). Hidayat telah menuliskan bahwa pribadi yang mau tumbuh dan kembang
kuat akan dihadapkan pada problem dan hambatan. Tujuannya, supaya seseorang
dapat menggali dan mengembangkan potensi terpendamnya.
Istilah ini diperjelas dengan adanya pandangan dalam diri seseorang terdapat
"the sleeping giant" atau singa yang tidur. Istilah lain "the
hiden power", kekuatan yang terpendam. Dalam istilah sufi, dalam diri kita
terdapat arasy atau singgasana Tuhan, sehingga kalau seseorang bisa
menyerap sifat-sifat Ilahi ke dalam hatinya maka ia akan lebih besar ketimbang
bumi dan langit (Hidayat, 2011:23).
Hijrah bagi Hidayat, sebuah proses metamorfosis untuk meraih kualitas hidup
lebih tinggi. Aku jadi ingat bagaimana kupu-kupu yang mulanya seekor ulat yang
menjijikkan. Banyak orang tidak suka, namun begitu menjadi seekor kupu-kupu
yang indah dan cantik, orang-orang
meliriknya. Ya, itu yang dinamakan kualitas hidup.
Di bulan Ramadhan ini, kesungguhan hati dan jiwa menuju kualitas hidup.
Bagaimana hidup adalah bagian sejarah terkenang--tentang kebermanfaatan dan
kebermaknaan hidup. Hidup adalah sejarah. Kebaikan dan keburukan, tergantung
kita memandang kehidupan. Semua kehidupan tentu mendambakan kebaikan. Tidak satupun
kita merindu keburukan.
Mari, di bulan ini kita hijrah. Kala malam tiba, perbanyak dialog dengan-Nya.
Jangan takut untuk bertanya tentang kehidupan hakiki. Sebuah perjalanan sekali
di dunia. Kita akan memungut kebahagian, kedamaian, ketentraman bersama-Nya.
Dengan kesungguhan hati, mari kita berserah.
Suci Ayu Latifah
08.05.2020
Komentar
Posting Komentar