Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (14)


Bagaimana kabarmu, Mas? Alhamdulillah ya, tidak terasa kita berjalan di minggu ketiga di bulan Suci ini. 

Selamat menjalankan ibadah puasa di ruang keabadianmu. 

Semoga, ketakberaturan hidup semakin berkurang ya Mas. Aku merindu kehidupan yang damai, tentram, dan penuh martabat. Cita-cita di dunia tentu melanggengkan kehidupan baik—saling berbagi dan mendoakan sesama.

Mas Fendik terkasih, selepas membaca balasan surat darimu. Diri ini tidak mampu berkata-kata. Menulis kalimat pun tak mampu.

Aku berusaha menyusunnya, satu dua kalimat, hingga satu paragraf. Kemudian, tombol merah itu muncul. Skak, semua terhenti, termasuk kata-kataku. 

Biasanya aku cukup mengalir menuliskan surat-surat untukmu. Mulai dari surat edisi pertama hingga ke-13. Saking lancarnya hingga berhalaman-halaman. Namun, entah mengapa di surat ke-14 ini tanganku amat berat untuk menyentuh berisan keybord.

Mas Fendik tercinta, maaf ya, semalam aku dingin. Sebab, aku telah menemukan kegiatan mengisi malam dengan tadarus buku. Ehh, bukan telah sih, kan sudah lama kupraktikkan setiap waktu. Hanya saja tetiba rasa malam menyergap, wah tidak bisa ditolerir deh. Dalihku pun berhamburan. Hehehe.

Semalam, dalam keadaan setengah tidak enak badan, aku hibur diri dengan membaca novel Kinanthi karya Tasaro GK. Hmm, aku telah menempati janji. Bahwa buku ini pasti kubaca, entah kapan mulainya. Semalam, aku mulai menjelajahinya.

Tentang buku ini, bakalan kuceritakan padamu Mas nanti. Bocoran sih kehidupan berlatar cerita Gunung Kidul. Sebuah keluarga penjudi dan ahli agama. Anak mereka bersahabat, tapi tidak cukup baik. Orang tualah yang membatasi persahabatan mereka. Takut anak ahli agama tertular jadi penjudi kelak ketika dewasa.

Novel itu, dikemas juga dalam bingkai roman. Ya, tokoh Ajuj kelihatannya menyukai Kinanthi sejak mereka remaja. Kelanjutannya sabar ya, aku belum selesai baca. 

Ada yang mengganjal, ketika Ayah Ajuj marah, Ajuj kabur dari rumah. Ia tinggal bersama seseorang. Duh, lupa namanya. Semenjak itu, Ajuj lebih sering bertemu Kinanthi, sekadar bercakap-cakap, mengerjakan pekerjaan rumah, jalan-jalan, dan masih banyak lagi. 

Kok bisa, Ajuj berani sekali dengan orang tuanya, sampai acara kabur dari rumah? Kalau soal ini, menurutku kurang edukasi.

Sejauh membaca, kumenemukan sesuatu yang mengingatkan tentang masa lalu. Hm, bukan masalah cinta kok. Akan tetapi, perihal kegiatan di bidang seni. 

Saat SMA, tiga tahun berturut-turut aku mengikuti latihan untuk lomba karawitan dalam rangka Grebeg Suro Ponorogo. Aku bertindak sebagai backing vokal. Ada vokal tunggal dan pengiring. Maklum, aku tidak terlalu mahir bernyanyi Jawa kalau disandingkan dengan para sinden. Ya bisa, kalau dinilai paling ya cukup. 

Ingatanku melalangbuana, bagaimana saat aku menyanyikan lagu-lagu tembang macapat. Oh ya, saat SD dulu, aku pernah, tepatnya hampir diajukan untuk lomba tembang macapat Kinanthi dan Dhandanggula. Kira-kira aku duduk di kelas 4.

Dari teman sekelas, dipilihlah aku. Kemudian dilombakan dengan kelas atas 5 dan 6. Di sinilah aku gugur. Kakak kelasku ada yang lebih pandai melantunkan tembang itu.

Semenjak itu Mas, aku sering diberi job menyanyikan lagu Jawa. Pernah tuh di acara agustusan, halal bihalal, dan ulang tahun seseorang. Aku sih oke saja waktu itu, karena suka. Mas tahukan sesuatu yang dilakukan karena memang dasarnya suka, hobi, pasti hati pun tampil maksimal. Ya paling tidak bisa menghibur.

Berjalan maju, setelah SD, saat SMP kelas 2 kalau tidak salah, juga ada lomba serupa. Aku dipilih tapi cukup antarkelas. Ya ceritanya sama, ada yang lebih dariku. Tidak papa, menjadi terbaik di kelas itu sudah sesuatu yang luar biasa. 

Untuk tampil, doaku barulah terkabulkan saat SMA. Aku melanggengkan sinden dan bermain karawitan. Tapi, lebih fokus di sinden sih. Setiap lomba, aku selalu mendokumentasikan. Foto-foto itu masih. Kalau aku rindu tentang kenangan itu tengoklah kembali.

Seni, aku suka seni. Seni apa saja, kecuali menggambar. Soal ini, aku suka bertindak sebagai penikmat. Tidak terlalu pandai menggambar, apalagi pakai teknik yang macam-macam itu.

Seni tari, hmm suka sekali. Sejak kecil aku suka menari. Hingga aku mendapat julukan peri ngebor semasa kecil. Hehehe, menari dan menyanyi suka hingga sekarang. Sayangnya untuk menari sudah kuliburkan semenjak kuliah.

Sedih, ya sedih, tapi cukup terhibur dan berbangga diri begitu mengundur ingatan. Setidaknya dulu pernah tampil di panggung besar Ponorogo, acara perpisahan di sekolah, acara halal bihalal, acara agustusan, acara pernikahan, dan acara-acara lain.

Oh ya, kamu juga pecinta seni kan? Aku masih menyimpan gambar batikmu lo. Maaf, sudah sedikit lusuh gambarannya. 

Apakah kamu di sana masih suka membuat karya-karya terbaru motif batik? Hmm, batik Indonesia sangat terkenal lo Mas. Beberapa wisatawan negeri meliriknya, hingga sampai akan diklaim. 

Batik terus hidup hingga saat ini Mas. Meski perabadan pop amat popular, keberadaan batik tidak tersingkirkan. Buktinya, masih banyak orang mengenakan baju batik. Bahkan, motif serupa batik kembali hidup di baju-baju ala sekarang. Hanya saja modelnya agak kekinian. Semoga batik bisa hidup hingga akhir zaman, Mas.

Nanti di tanggal 2 Oktober kita rayakan bersama. Kalau bisa di hari Batik itu kamu kembali menelurkan motif batik baru. Sungguhan ya.

Mas Fendik terkasih, aku berharap di hari itu pula, kita bisa mengenakan batik bersama. Bersama kita tunjukkan kita cinta seni. Seni hidup dan menyatu dengan darah dan daging kita. 

Kita cinta batik, cinta Indonesia dengan menggunakan dan mempromosikan kepada dunia.
Panjangkan umurku Tuhan untuk senantiasa menjaga anugerah yang kau titipkan di bumi. Sungguhan, sekuat dan semampuku untuk kehidupan adalah perbuatan bukan orasi buatan.

Oh ya, tentang buku tadi selain seni aku juga menemukan sesuatu yang menarik lain. Nanti deh akan aku sampaikan di surat selanjutnya. Sekarang cukup kita berbesar hati atas kebaktian batik kita.

Begitu.

Suci Ayu Latifah

14.05.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...