Perseteruan Aceh dan NKRI menjadi sejarah konflik
terpanjang di Indonesia. Dibandingkan di Timor-Timor, konflik itu selisih 7
tahun. Di Aceh memakan waktu 29 tahun, sedangkan Timor-Timor 23 tahun. Kedua
konflik tersebut menelan ribuan korban. Tidak saja pemimpin perang, melainkan
juga rakyat menjadi sasaran kekerasan.
Kekerasan di kedua daerah di Indonesia itu mengingatkan
kita terhadap ajaran Islam tentang toleransi, persaudaraan, dan perdamaian. Adalah
membangun kehidupan yang harmonis, damai, dan saling gotong-royong
menyelesaikan masalah. Tahu demikian itu, akankah Indonesia beralih negara maju
kalau saja dengan sesama warga sendiri berseteru? Inilah kenyataan pelik tanah
air.
Berbicara tentang sejarah, karya sastra sesungguhnya
ensiklopedia
sejarah. Perjalanan panjang karya sastra hingga detik ini telah merekam ribuan
sejarah di Indonesia. Gaya pengisahan bertutur, bernarasi, dan berdeskripsi
adalah modal terbesar membangun kerajaan dongeng di karya sastra. Berikut
estetika bahasa serupa bandul yang mengayun-ayun imajinasi pembaca. Sebab, karya
telah berwasilah pada kata.
Novel, seperti yang kita tahu merupakan teks cerita yang
panjang dibandingkan lainnya, seperti cerpen, cerita bersambung, bahkan cerita
anak berseri. Novel adalah wadah kebebasan sastrawan untuk mengungkap sejarah.
Novel pula wadah cerita fantasi. Teks sastra selain hadirnya untuk menghibur,
juga mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan. Apapun genrenya, sastra
senantiasa menghadirkan representasi sosial yang laik untuk dideklarasikan.
Perihal kehidupan, kita dihadapkan pada isu-isu sosial
yang tiada henti. Kekerasan misalnya sudah menjadi makanan bagi kehidupan
bangsa kita. Setiap gesekan timbul tubrukan. Sebenarnya, semacam ini bisa saja
tidak terjadi. Permasalahannya, setiap gesekan yang ada berakhir pada
perdebatan panjang, tawuran hebat, dan pembunuhan terang-terangan. Oleh
karenanya, untuk keluar dari kemelut itu, kita hendaknya sesering mungkin
bertanya pada diri, apa yang memicu ekspresi kemarahan atau kekesan itu hingga
menimbulkan kekerasan fisik maupun psikis.
Apabila ditinjau dari ilmu psikologi, seseorang yang
cenderung berpikiran melakukan kekerasan merupakan orang yang mengalami ganguan
obsesif kompulsif (OCD). Itu adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang
mengalami kecemasan atau ketakutan. Gangguan ini dapat dialami oleh siapa saja.
Umumnya, pemicu kekerasan adalah karena sakit
hati, sehingga seseorang tidak mampu
membawa dan mengendalikan dirinya dalam mengelola konflik. Guna mengatasi
masalah kekerasan, penting bagi kita untuk memahami bahwa kejahatan tidaklah
harus dilawan dengan kejahatan. Akan tetapi, dengan kebaikan dan kasih sayang.
Demikian itu adalah ajaran Nabi, “Jika kamu berbuat baik kepada siapa saja yang
ada di bumi, maka yang ada di langit akan berbuat baik kepadamu.” Karenanya,
nilai kemanusiaan tanpa kekerasan penting untuk dideklarasikan.
Nilai tanpa kekerasan, berasumsi pada kehidupan anti
kekerasan—damai. Seseorang menolak kekerasan dalam bentuk apapun. Seseorang itu
pula, berkesadaran untuk tidak berbuat kekerasan kepada siapapun. Meskipun
mendapatkan perlakukan yang tidak enak, misalnya dihina, caci maki, olok-olok,
dan lain sebagainya. Sebisa mungkin menerima dengan lapang dada. Ikhlas dan
berusaha sabar menghadapi cobaan dan ujian tersebut. Perlahan, seseorang yang
berbuat tersebut akan kewalahan sendiri.
Pada sekian sejarah kesusasteraan Indonesia, banyak
pengarang yang merefleksikan kehidupan, merangkum kekerasan. Seno Gumira
Adjidarma melalui Jazz Parfum dan Insiden bercerita tentang kekerasan
yang ada di Eks-Timor-Timor. Adalah perihal pelanggaran HAM pemerintah
Indonesia. Asmaraloka karya Danarto bercerita tentang fatamorgana perang
antarsuku-agama-ras-antargolongan pada saat acara sepak bola.
Selanjutnya, Bak Rambut Dibelah Tujuh karya
Muhammad Mukhdlori bercerita tentang perempuan yang menerima kekerasan dari
seorang laki-laki karena masalah faktor biologis. Novel ini mengungkap
kehidupan dunia sebagai tempat segala kesenangan ditetapkan untuk musnah. Tokoh
perempuan begitu dramatik dan kuat melewati titian kehidupan dengan berbagai
cobaan, yang biasanya membuat manusia terjebak dalam kemaksiatan.
Kemudian, novel Arafat Nur Lolong Anjing di Bulan
(2018), Lampuki, (2-19), Percikan Darah di Bunga (2005), Tanah Surga
Merah (2019), yang juga menceritakan kekerasan. Adalah menguak
sejarah GAM dengan berbagai misi dan visi merebut kebebasan masyarakat Aceh.
Beberapa novel tersebut berlatar cerita di Aceh, yang direfleksikan oleh
penulis Aceh sendiri dengan begitu apik dan sarat nilai kehidupan sebagai wujud
sisi lain dari aksi kekerasan.
Novel-novel karya orang besar di atas merupakan
salah satu dari sekian karya besar sastrawan tanah air tentang kekerasan.
Selanjutnya, mari kita berselancar pada novel Lolong Anjing di Bulan. Novel
apik yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Blood Moon Over Aceh.
Arafat Nur mengisahkan tentang perseteruan GAM dan
NKRI hingga menyebabkan ratusan orang meninggal. Membaca novel tersebut pembaca
seakan dipamerkan pada jasad-jasad yang mati karena disiksa dan ditembak. Tidak
saja rakyatnya, pemimpin Arkam juga meninggal karena lengah. Akhirnya ditangkap
dan dibunuh pada malam hari. Ahmad Kandang, Sang Ahli perakit bom juga
meninggal.
Kekerasan menjadi hantu bagi masyarakat Aceh. Tidak
disangkanya, pemerintahan yang solid kini menjadi musuh yang sangat
membahayakan. Dialah musuh di balik selimut. Kekerasan yang diberikan NKRI pada
Aceh sungguh tidak manusiawi. Bagaimana mungkin, kebencian terhadap kelompok
pemberontak membuat hobi membunuh manusia. Lebih kejinya, sudah dibunuh masih
juga organ tubuh manusia diambil.
Lalu jasadnya dibiarkan di pinggir jalan. Pula, jasad Yasin yang tinggal
tengkorak karena tubuhnya diikat di belakang truk. Kekerasan itulah kekerasan
yang diterima masyarakat Aceh.
Di situ, manusia bernasib buruk di novel-novel
Indonesia. Utamanya, Lolong Anjing di Bulan. Arafat Nur mengisahkan
manusia-manusia mati dengan tidak manusiawi. Manusia adalah korban negara!
Manusia mati belum saatnya dipanggil. Mereka dibunuh paksa atas kekerasan yang
diterima.
Seno Gumira Adjidarma, Danarto, Muhammad Mukhdlori,
dan Arafat Nur mengundang pembaca pada
renungan nasib manusia atas kekerasan. Beruntunglah kita tidak hidup di masa
itu. Kita hanyalah pembaca sejarah konflik tanah air yang berkobaran itu. Dan,
kemudian, belajar dari penyebab konflik yang terjadi untuk tidak mencipta
konflik kesekian kalinya. Begitu, semoga!
Komentar
Posting Komentar