Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (16)


Lebaran tinggal menghitung hari. Minggu terakhir Ramadhan terasa panas, meski di luar hujan. Pancaroba akan kita nikmati bersama. Kadang panas, pula tiba-tiba hujan tidak menentu. Di Kotaku, Ponorogo, dua ramalan cuaca itu berjalan beriringan.

Terpenting tetap jaga kesehatan di musim Covid-19. Kita  perlu sesering mungkin memerhatikan lingkungan apabila terdapat genangan air. Bak mandi harus rajin dikuras supaya tidak dijadikan tempat perkembangbiakan nyamuk. Ingat 3M!

Malam di tempat tinggalku, sering para nyamuk meronda. Mereka mencari makanan darah dari manusia. Kalau mereka nyamuk biasa ya tidak papa. Aku khawatir satu di antaranya ada nyamuk menciptakan lara.

Informasi dari desa, di tanah kelahiranku Sawoo sana, banyak orang terkena DBD. Semoga kita tidak terkena. Hus, hus, nyamuk kamu boleh gigit, tapi jangan meninggalkan sakit.

Seperti kita ketahui, demam berdarah menjadi penyakit yang merebak dengan tingkat kematian tinggi juga di Indonesia. Sepanjang 1 Januari-27 April 2020, terdapat 49.563 kasus demam berdarah dengan kematian sebanyak 310 orang. 

Sementara, sejak didapati pada 3 Maret hingga 19 Mei 2020, terdapat 18. 496 kasus positif Covid-19 dengan angka kematian sebanyak 1.221 kasus.

Ya, kalau dibanding Covid-19, DBD tidak begitu dengan cepat mematikan orang. Meski begitu kita tetap harus waspada dan mengantisipasi diri. Doa bersama, terhindar dari Covid-19, DBD, dan penyakit mematikan lainnya.   
Mas Fendik membahagia, apakah yang kamu rasakan hari ini, ketika kau membaca suratku? aku cukup baik untuk saat ini, ketika menulis.

Maaf, beberapa hari surat untukmu tak kunjung datang. Kesibukan membuat diri harus segera istirahat. Sebenarnya ada sesuatu yang harus kutulis pada hari-hari itu. Ya sekadar untuk mengungkapkan, meluapkan, melampiaskan, ehh apaan sih, ya katarsis begitulah. Pastinya kan dalam sehari kita dapat informasi banyak.

Mas, apakah kamu suka anak kecil.

Saudaraku, tanggal 12 Mei kemarin melahirkan anak pertamanya. Lucu deh Mas. Laki-laki sepertimu. Aku jadi ingin deh segera punya anak. Hehehe, nikah saja belum, kok tiba-tiba mau punya anak.

Jadi Ibu, sulit ya. Jadi Ayah, juga. Jadi Ibu, rumit ya. Harus mengandung, melahirkan, menyusui, lalu membesarkan dengan kasih sayang dan penuh perhatian. Ayah juga, ya utamanya memberi nafkah.

Jadi Ayah, berarti siap menghidupi dua nyawa, bisa juga tiga atau empat, atau tiga belas nyawa. Itu nyawa yang dua: Ayah dan Ibu. Nyawa yang sebelas anak anak. Hehehe.

Eitss, ingat KB lo ya. Jangan mentang-mentang membuatnya enak, terus gaspol.

Memang, unen-unen Jawa, banyak anak banyak rezeki. Ya itu benar. Tapi untuk era sekarang pemerintah menyarankan “dua anak cukup” dimintalah KB.

Mengapa itu berlaku? Jawaban teratas adalah jumlah penduduk di Indonesia sudah terlalu banyak. Kemudian, perekonomian di Indonesia tidak stabil. Ya, rupiah semakin menurun.
Itu baru alat untuk tukar. Belum lagi bahan pokok sehari-hari semakin mahal dan jumlahnya sedikit. Mengapa? Ya karena lahan untuk bertani, katakanlah dijadikan kawasan perumahan, pabrik, hotel, jalan, dan masih banyak lagi.

Coba, kalau habitat mereka tidak dijamah. Pasti ekonomi kita semakin baik. Sudah baik sebenarnya. Orang, kebanyakan masyarakat kita bertani dan nelayan. Namun, ironinya mengapa untuk kebutuhan sehari-hari masih saja kurang. Sebutlah sebagai bukti kasus busung lapar.

Ya Allah, semoga ke depan saudara-saudara kita yang kekurangan bisa tercukupi ya Mas. Aamiin.

Mas Fendik tercinta,
Aku rindu senja di mana kita saling menatap alam dengan satu titik fokus. Aku rindu aroma senja, harapan dan doa ketika senja sirna. Mungkin, surat ini akan seperti senja—segera menghilang.

Maaf, disurat kali ini aku tidak banyak cakap. Hemat energi. Hehehe. Tidak kok. Rasanya lelah, ingin rebahan saja. Kakiku ngilu, seperti kehidupan. 
Semoga semua segera usai ya Mas. Rindu senja dengan nikmat kedamaian, ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan hidup. Allah, Allah, Allah.

Nikmat mana lagi yang akan kau dustakan?

Suci Ayu Latifah
19.05.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...