Langsung ke konten utama

Sinopsis Novel Percikan Darah di Bunga Karya Arafat Nur



Sebuah novel menarik, bagaimana kisah cinta tumbuh di tengah badai kekerasan. Dhira Ayu Laksmita adalah tokoh utama dalam novel Percikan Darah di Bunga karya Arafat Nur. Tumbuh menjadi seorang gadis cantik, berjilbab dengan tubuh proporsional. Dia pernah ditawari Pamannya bekerja menjadi aktris atau model di Jakarta. Namun, hidup-matinya dibaktikan untuk tanah Aceh.  Ia berkeinginan membersamai rakyat Aceh di musim perang politik. Dhira amat membenci tentara yang semena-mena.

Dhira bekerja di salah satu lembaga hukum yang memperjuangkan hak perempuan. Dalam novel, Dhira terlibat pada masalah yang menimpa Meulu. Adalah gadis desa korban pemerkosaan tentara. Terceritakan bahwa di suatu malam selepas Meulu buang hajat ada orang mengetuk rumahnya. Di rumah ia bersama Ibunya. Ayahnya sudah meninggal.

Seketika, tiga tentara mendobrak pintu dengan keras. Mereka menyiksa Ibu Meulu dengan mengikat tangannya, menyumpal mulut dengan kain, dan berkata kasar. Meulu diperkosa secara bergantian di hadapan Ibunya. Ia juga disiksa dengan bukti memar di beberapa bagian tubuh. 

Sebagai sebuah tanggung jawab pekerjaan mengurusi masalah hak perempuan, Dhira bersama dua kawannya: Sulastri dan Aldita membantu masalah Meulu. Hingga memberikan tempat tinggal sementara di rumah Sulastri. Mereka merawat dan mengurus Meulu dan Ibunya secara baik.

Tatkala kejiwaan Meulu mulai membaik, gadis itu kembali ke kampungnya. Untuk mengisi hari-harinya dan melupakan kejadian pahit, ia mengurus tanaman bunga. Halamannya ditumbuhi beragam bunga. Itu ide dari Dhira. Kebetulan, Dhira pecinta bunga.

Ahmadun, lelaki yang disebut sebagai guru mengaji di kampung Meulu. Keberadaan teungku saat itu bisa dibilang bahaya. Sebab, dicurigai kelompok pemberontak. Ia akan ditangkap tentara, lalu disiksa dan dibunuh, seperti pemberontak lain. Kekerasan pada saat itu kental. Tentara dengan perutnya yang lapar akan memangsa orang-orang yang terlibat dengan kelompok pemberontak.

Terceritakan, banyak gadis yang tertarik dengan Ahmadun, termasuk Meulu. Sikapnya yang santun dan cuek membuat gadis-gadis penasaran tentang sosoknya. Ahmadun, saat di kampung termasuk dekat dengan Ibu Meulu. Ternyata, bersamaan kasus Meulu, Dhira terpikat sosok Ahmadun. Namun, ia enggan untuk mengatakannya. Keduanya bertemu saat di rumah sakit. Ahmadun hendak melihat kondisi Meulu dan Ibunya, sedang Dhira mengurus kasus mereka.

Sepeninggal Meulu dari rumah Sulastri, dikabarkan gadis itu meninggal karena disiksa tentara. Bersamaan dengan itu, Ahmadun juga tengah dipenjarakan di markas tentara karena dicurigai kelompok pemberontak. Ahmadun berfirasat dalam mimpi Meula tewas di tangan tentara. Ia kabur dari penjara tentara hendak menemui Meulu. Karena kondisinya yang buruk (lemas karena tidak diberi makanan), Ahmadun dirawat Dhira dan rekannya. Mereka bertemu saat mengurus jenazah Meulu dan Ibunya. 

Dhira merawat—memberikan obat, menyiapkan makanan hingga membukakan jendela kamar setiap paginya. Berawal dari itu mereka jadi dekat. Benih cinta Ahmadun mulai tumbuh. Ahmadun, membuatkan puisi untuk Dhira hingga 99 puisi. Sayang, kisah cinta mereka berakhir di suatu malam usai jalan-jalan. Dhira memutuskan pulang sendiri. Di tengah jalan terjadilah kerusuhan. 

Dhira menjadi salah satu korban tembak. Darahnya tumpah, tubuhnya terkapar di pinggir jalan, bunga dari Ahmadun berserakan. Kecantikan bunga dipenuhi darah Dhira. Ahmadun sangat menyesali kejadian malam itu, seandainya ia bisa menahan Dhira, tidak mungkin akan melihat tubuh gadis itu koyak dengan darah bertebaran. Pupus sudah cinta Ahmadun bersama Meulu dan Dhira.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...