Langsung ke konten utama

Surat untuk Kehidupan





Hari ini, aku dan dari kita (beragama Islam) sudah memasuki Ramadhan ke-10. Kita sebentar lagi memasuki pekan kedua untuk berupaya berikhtiar menahan nafsu.
Ramadhan yang berbeda ya. Aku merasakan sesuatu yang amat asing di tahun ini. Bagaimana Ramadhan yang identik dengan lantunan surah Allah di berbagai tempat ibadah, kini amat sepi. Biasanya, dua masjid yang mengapit rumah tidak jemu dengan ayat-ayat Allah. Masyarakat beramai-ramai ke masjid untuk berjamaah, melaksanakan tarawih, sekaligus tadarusan. Hmm, rupanya di ramadhan tahun ini tidak demikian.
Sungguhan, aku merasa berbeda dan jiwa berontakku menolak keras. Utamanya fenomena salat jamaah yang menurut ajaran Islam rapat barisan, shaf lurus. Hmm, kini berjarak lo. Ternyata tidak saja hubungan seseorang yang berjarak. Kini, di pandemi hubungan manusia dengan Allah juga berjarak.
Di jamaah salat tarawih, seringkali aku melihat makhluk kasat mata berlarian di antara orang salat. Mereka bermain zigzag, kelihatannya bergembira. Di antara surah yang dinyanyikan imam, muncul geliak tawa, kegirangan dari makluk itu. Aku jadi tidak khusyuk. Sebab, mereka itu juga nakal kadang menyentuhku. Sebagian mereka, juga usil menabur bubuk. Ahh rasanya pedih di mata. Sebagian dari mereka lagi ada yang bermain melingkar di tengkuk kakiku. Dasar, ingin kuambil mereka lalu kumasukkan ke dalam botol.
Oh iya, di masjid tempatku, jamaah diwajibkan mengenakan masker. Ya, masker apa saja yang terpenting sesuatu yang dapat menutup area hidung dan mulut. Apakah di tempatmu juga ada perlakuan demikian itu?
Itu tadi suasana di tempat ibadah. Kalau di rumah beda lagi. Di rumah, sebagian dari kita menghabiskan waktu dengan malas-malasan; banyak tidur, update status, stalking akun media sosial orang lain, dan apalagi, tentu masih banyak.
Terlalu. Aku tidak habis pikir, suasana di tempat ibadah memang sepi, namun, sesuatu yang menyedihkan di jalanan tidak kunjung sepi. Rupanya, orang-orang yang berseliweran di jalanan itu tidak takut korona. Ehh, bahasaku jangan takut, indahnya abai dengan anjuran pemerintah supaya stay at home.
Apakah di kotamu juga demikian?
Sungguh, di jalanan masih ramai. Ya berkurang tapi sedikit. Buktinya, masih ramai tu orang-orang yang tadarus di angkringan, cafe, dan beberapa tempat lain. Mereka dengan langgeng menumbuhkan empati dan simpati, katanya, tanpa memberi edukasi. Lucu juga ya. Manusia bandel.
Sudahlah, sulit memang memberikan kesadaran kepada mereka, kalau saja diri terkadang merasa ingin lari—sekadar cuci mata. Tahu kan, senyaman dan seamannya di rumah tidak seorang pun betah. Kalaupun hanya sehari, okelah aku juga bisa. Tetapi, hmm ya kita sudah patuh genap dua bulan ini.
Halo, bagaimakah dirimu saat ini?
Sesuatu yang sulit menerima kenyataan bahwa Covid-19 turut mampir di Indonesia. Saat ini aku hanya bisa berdoa semoga semua ini segera berakhir.
Mungkin saja, harapku ada sebuah keajaiban yang datangnya tak terduga. Tetiba virus yang meresahkan itu kabur dari jiwa orang-orang Indonesia. Hahaha, untuk apa dia mampir. Aku tidak tahu ya, mungkin virus itu ingin memberi pelajaran; bagaimana membangun kehidupan yang baik dengan sesama; bagaimana cara menerima keadaan dengan senantiasa bersyukur; bagaimana merendahkan hati untuk berbagi; bagaimana anggota tubuh ini bisa bermanfaat untuk orang lain; bagaimana keindahan saling menghargai dan menghormati bersama; bagaimana mulianya orang berjiwa suci; dan bagaimana-bagaimana kehidupan ini bisa berjalan dengan baik, semua kehidupan saling bergandengan tangan menumbuhkembangkan esensial kehidupan—tentang menerima dan memberi.
Oh iya, bagaimana kabarmu pekan ini? Puasa kamu lancarkan? Tetap jaga imunitas meski menjalankan puasa lo ya.
Kali ini dalam suratku yang bisa dibilang sedikit serius, aku ingin bertanya apakah ada perubahan dalam dirimu. Katakanlah, perubahan dalam hal kebersihan, misalnya.
Di bulan kedua pandemi ini, kamu pasti lebih peduli dan sayang dengan tubuhmu kan. Perubahan ketika mencuci tangan hanya saat hendak makan saja atau usai membersihkan sesuatu. Tentu, setiap kali kamu rajin mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir. Kamu pasti, juga menjaga sajian makanan untuk tubuhmu. Aku merasa, kamu jadi gendutan deh sekarang. Tidak papa kok, yang penting gendut sehat. Hehehe.
Di balik pandemi, banyak hal positif yang bisa kita petik. Pertama, ya cuci tangan itu tadi. Kita jadi lebih sering cuci tangan usai melakukan aktifitas, keluar dari rumah, atau melakukan kegiatan lainnya. Penting lo cuci tangan itu. Aku masih ingat, sewaktu masih TK, guruku menganjurkan cuci tangan setiap waktu. Sebab, di tangan kita yang tampaknya bersih itu ada ribuan kotoran yang menempel. Misalnya, kotoran dari gagang pintu, meja, tembok rumah, perabot rumah, dan semua benda.
Kedua, mengonsumsi makanan bergizi tinggi. Hehehe, kamu pasti jadi suka makan sayur kan. Kamu juga sesekali membuat jamu dari rempah-rempah. Seperti yang kusarankan di awal-awal musim pandemi. Bahwa jahe, batang serai, kunyit, dan temulawak ampuh untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Berkaitan dengan ini, leherku terasa tercekik. Betapa orang-orang dulu yang tidak mau mengonsumsi sejenis minum jamu, kini mau menelannya dengan hidung dan mata ditutup. Ahh, ini terlalu lebay. Pahit, sepahitnya jamu seberapa sih pahitnya. Masih juga pahit kehidupan. Minum jamu pahit, kemudian makan gula sudah beres. Kalau pahitnya kehidupan, bagaimana, ya harus dipelajari diberikan makna—pemanis kehidupan.
Selanjutnya, ketiga adalah sebagian dari kita semua anggota keluarga berkumpul. Alhamdulillah, pandemi ini mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang sudah jauh. Hehehe. Aku merasakan betul kebersamaan di sebagian keluarga sekitar rumah. Rumah-rumah mereka menjadi ramai karena anggotanya berkumpul.
Mereka sering mengerjakan aktifitas rumah bersama-sama. Sungguhan, aku melihatnya langsung. Ada lo di antara mereka yang mulanya anti dapur, jadi ikut berpartisipasi melanggengkan urusan belakang ini. Semangat mencari dan memilih menu untuk ajang mengisi kegiatan di rumah. Baik deh, mereka jadi kreatif dan inovatif.
Namun, di balik itu sebagian mereka terkesan boros. Katakanlah, karena ingin mencoba resep ini, berbelanjalah. Esok hari, ingin mencoba resep lain, berbelanja lagi. Esoknya, dan hingga dua bulan ini hampir saja begitu. Kreatif ya kreatif, dampaknya kantong jadi bernapas bebas kalau diterus-terusin. Saranku sih, kreatif dan ekonomis ya.
Keempat, ehm apa ya. Adalah menggugah hati nurani untuk bekerja sama, saling membantu. Kaitannya dengan ini, aku bisa melihat bagaimana kerja keras pemerintah dan tim kesehatan dalam penanganan Covid-19.
Terima kasih pahlawanku, akan ada balasan yang indah untuk kalian, kelak. Percayalah, langkah baik kalian sudah tercatat secara detail, rindi, dan tertib oleh kedua malaikat di sisimu.
Sebagai orang yang tidak terlalu berkecimpung di dunia medis, aku dapat merasa getar debar mereka di musim pandemi ini. Antara tanggung jawab dan kehatian diri. Aku mendengar jiwa manusiawimu berontak. Kalian hendak melangkah penuh dengan standar prosedur operasional. Alat pelindung diri senantiasa melekat dalam tubuhmu. Sungguhan, apakah kalian nyaman dengan gaya terbaru ketika bekerja? Kemudian, dengan konsepsi-konsepsi yang bertebaran di masyarakat. Serupa robot. Ada penyebutan baru untuk kalian di musim ini.
Maafkan kami, maksud sekadar bercanda, tapi entah jika sampai menyentuh hati kalian.
Kami adalah kita—sama-sama menjaga hati untuk tidak saling menyakiti. Senantiasa memberi dukungan tak terhingga untuk kalian. Kesehatan kalian, jiwa besar kalian, waktu kalian, dan kehidupan kalian.
Kita berduka dengan kawan-kawan kalian yang turut terjangkit virus ini. Semoga kalian (meninggal lebih dulu) menemukan sebuah ruangan kedamaian. Berbahagialah di sana. Semoga pahlawan yang masih bekerja dengan keprofesionalitas dan hati nuraninya kuat menjalani ini.
Ya, semoga semua ini lekas berakhir sebelum prediksi waktu. Begitu.
Dan, semoga semua—bencana alam dan sosial untuk meredam—saling berikhtiar. Aku dan kita tentu merindukan kehidupan yang damai, tentara, aman, dan penuh kasih sayang. Manusiawi kan?
Allah, Allah. Allahu akbar.
Salam kemanusiaan.

Suci Ayu Latifah
03.05.2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...