Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (15)

Menunggu serupa ramalan cuaca. Bisa jadi cerah, mendung, atau hujan.
Menunggu terlalu rumit lebih dari sesuatu yang ku tahu. Pra, saat, dan pasca. Semoga, yang namanya menunggu tidak selalu berakhir kecewa.

Mas Fendik terkasih,
Akhir pekan di Ponorogo timbul cuaca yang cerah. Matahari dengan anggun menyentuh kehidupan di bumi. Aku bersyukur diberi napas hari ini.

Apakah kau sudah tiba di tempat perapianmu, Mas? Semalam aku tidak bisa tidur. Bukan sesuatu yang meresahkan. Sudah terbiasa begadang dan akhirnya tidak bisa tidur.

Di malam 23 bulan Ramadhan, aku beribadah dengan menelusuri dunia gaib. Sungguh, aku benar tidak tahu sejak kapan suka keluyuran di dunia ini.

Dulu saja, keluar ke rumah usai maqrib rasanya getir-getir. Sekarang, untuk berjalan ke toko jam 9 malam, aku berani. Padahal itu sendiri. Di perumahan banyak rumah kosong. Warga usai Isya’ sudah ngrong. Belum lagi rumah dekat lapangan dan tempat pembuangan sampah. Di sampingnya ada pohon bambu yang cukup lebat. Cerita orang yang bisa tembus pandang, di pohon bambu dijadikan tempat persemayaman jaylangkung. Sementara rumah kosong, tak jarang dibuat perkumpulan makhluk gaib.

Di suatu ketika, bertemulah aku pada seseorang, Mas. Semua berawal seseorang itu merasakan keganjalan pada orang sekitarku. Seperti ada orang lain ditubuhnya. Kemudianlah, semua dicek. Hanya tubuhku yang sulit dibaca. Katanya, tubuhku mental untuk dimasuki.

Bertanyalah aku mengapa setan, atau apalah itu tidak bisa masuk ke dalam tubuhku. Dengan hati-hati seseorang itu pun berkata, ada beberapa kemungkinan: (1) di tubuh telah dihuni oleh makhluk yang lebih kuat, bisa baik, bisa jahat. Dominan lebih pada baik, (2) pernah kemasukan dalam arti kerasukan berkepanjangan, (3) jiwanya teraliri ayat Al-Qu’an, dan (4) sugesti besar atas ketidakpercayaan makluk gaib.

Tentang ini, aku tidak tahu persis di poin mana aku berada. Mundur beberapa tahun, aku teringat ketika SMP kelas 2, setiap hari Selasa dan Jumat diri ini tiba-tiba pingsan. Aku tidak sakit, ketika dicek baik-baik saja. Aku juga tidak sedang memikirkan sesuatu yang rumit.

Kemudian, dikaitkanlah dengan sesuatu yang abstrak. Bersamaan itu, memang kelas yang aku tempati dulunya ada siswa yang mati dengan tidak wajar. Lalu, beberapa hari sebelumnya pohon beringin di depan sekolahan di tebang hingga gundul. Katanya Mas, penunggunya marah, terus menyerang. Saat itu, di kelasku ada dua orang yang bernasib sama.

Itu SMP. Kebenerannya, aku tidak tahu. Terpenting, aku sekarang tidak mengalami hal semacam itu. Sekali lagi itu SMP. Ada lagi cerita saat aku SMA.

2015 aku masuk SMA. SMA berada di kelas 1A. Kelas itu berada di ujung utara, dekat dengan ruang komputer, ruang bimbingan konseling, dan ruang TU. Karena di kota, kebanyakan ada aliran air di pinggir jalan besar. Aliran itu tepat di sebelah utara kelasku. Di pinggiran aliran air, tumbuhlah pohon bambu rimbun. Bambu biasa. Samping kiri kelas terdapat sawah menghijau, sementara samping kanan ada lapangan.

Kejadian SMP, kembali berulang. Saat SMA, apabila dikaitkan dengan dunia abstrak, ada yang tinggal dalam tubuhku. Setiap kali hari Senin dan Kamis, tubuh ini dikuasai. Pingsanlah aku seketika. Sebab inilah, selama tiga tahun aku tidak pernah mengikuti upacara bendera.
Pernah suatu ketika, begitu momen berdoa, tubuhku tersungkur ke tanah. Aku tidak tahu mengapa, padahal aku sehat saja, dan pagi ya sarapan.

Kalau sudah seperti itu, bisa berjam-jam aku setengah sadar. Datanglah seseorang menyentuh kakiku. Dia menekan jari-jari kakiku, aku menggeliat kesakitan. Aku tidak tahu ada apa denganku. Cek laboratorium baik-baik saja. Ya kalau riwayat sakit palingan darah rendah, tipus, dan jantung lemah. Itu sih.

Selalu, hingga aku dihakimi beberapa guru, mengapa begitu. Gara-gara itu aku jadi tersudutkan. Sampai timbul celetukkan, “Suci lagi!”, “Paling ya Suci”. Rasanya, sakit  Sampai suatu ketika, aku tidak diperbolehkan ikut kegiatan ekstra pramuka. Takutnya, ya aku sakit begitu.

Oh ya, aku jadi ingat Mas, pada saat aku pingsan di kelas, seseorang teman lelakiku membopong tubuhku ke UKS. Terima kasih ya.

Kejadian itu langgeng tiga tahun, Mas. Terkadang aku lelah menghadapi ini, tepatnya pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Dan itu, selalu begitu. Dan uniknya, jatuhku tidak jauh dari pukul 8-9 pagi. Ya, pas pembelajaran berlangsung.

Memang, dulu itu aku amat penakut. Apa karena ini? Jika iya, beberapa temanku juga ada yang penakut, mengapa mereka tidak mengalami sesuatu yang kurasakan. Ya rahasia kehidupan, mungkin.

Aku tidak tahu, karena itu atau karena lain. Semenjak mengalami hal mengganjal, diri tidak jadi penakut. Terkadang, aku ingin melihat makhluk gaib, hmm ya jangan deh. Gawatnya tidak bisa tidur.

Mas Fendik terkasih, apakah kau bisa menjelaskan apa yang terjadi pada diriku? Setidaknya ada sedikit titik terang dari ini.

Apakah benar, ada sesuatu yang tinggal dalam tubuhku? Bisakah kau membacanya?

Semoga jika pun ada, setia menjagaku dalam segala hal yang tidak aku inginkan. Begitu.

Mas, sudah dulu ya, kelihatanya hari sudah cukup malam. Salam hangat.

Suci Ayu Latifah
16.05.2020




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...