Langsung ke konten utama

Surat untuk Mas Fendik (10)



Mau disebut fiksi boleh, mau dianggap fakta terserah—ini cuma sebuah roman metropolitan. Sebuah kutipan dari tulisan Seno Gumira Ajidarma yang terdapat di balik sampul buku Jazz, Parfum, dan Insiden. 

Buku menarik—catatan dari Timor-Timor ini kutemukan di rak buku. Satu baris dengan beberapa buku kumpulan cerpen Kompas sejak tahun 1992-2016. Buku setebal 200 halaman ini adalah cetakan pertama tahun 1996 oleh penerbit Bentang.

Buku ini telah kuhabisi hingga epilog surat untuk seseorang—Alina. Itu surat ditulis saat Seno berlama-lama menikmati cahaya senja keemasan. Di saat semacam itu, ada ribuan kenangan yang melingkar di kepalanya—tentang seorang wanita, pembantaian, pembunuhan, wanita dengan parfum di tubuhnya, orang-orang gay dan lesbian, dan seabrek kenangan.

Tulisannya dikemas dengan bahasa puitis, diksinya manis, larik tulisannya liris. Pokoknya menggoda abis. Sudah berulang kali kubaca surat itu tidak jemu. Seolah, aku adalah Alina sedang dimabukkan oleh ribuan kenangan, keinginan, dan kenyataan. 

Kata Seno, “...Waktu memang tak akan pernah cukup Alina, tak akan pernah cukup untuk sebuah keinginan yang memang tidak mungkin terpenuhi, seperti begitu banyak cita-cita tersembunyi kita, yang barangkali akan tetap tinggal tersembunyi selama-lamanya...”

Pada dasarnya, Seno adalah pencinta keindahan—ia akan berlama-lama menatap senja yang indah. Hingga di suatu kali, datanglah seorang gadis yang cantik, tubuhnya mulus. Gadis itu memakai blazer, dengan roknya sedengkul. Gadis itu amat menggoda untuk seorang lelaki. Namun, tak semenggoda senja bagi seorang Seno.

Senja adalah kenangan. Warna emasnya adalah harapan yang berjarak—antara kenyataan dan keinginan.

Buku ini adalah ajang kebebasan ekspresi Seno atas ketidakpuasan pemberitaan tentang Timor-Timor. Akhirnya, tentang Timor-Timor dibuatlah tulisan gaya fiksi, berupa novel yang tak lepas dari cerita pembantaian dan pembunuhan di Timor-Timor, sekaligus cerita tentang wanita berparfum yang hidup, tinggal, dan sekadar mampir di hidup Seno.

Ya, itu tadi sedikit cerita dari buku yang usai aku baca, Mas. Bagaimana kabarmu hari ini?
Apakah kau lebih baik dari seekor bekicot yang dengan rakus dimakan oleh manusia? hehehe, kasihan tahu. Ternyata nasib binatang kecil berlendir ini serupa laron, belalang, ulat, dan binatang lainnya. 

Manusia dengan lahap akan memakannya tanpa ampun. Binatang-binatang itu mulanya akan disiksa dengan panasnya penggorengan, sedih pedihnya bumbu masakan. Kemudian, akan dihancurkan oleh gigi-gigi raksasa. 

Tentang binatang bekicot, Seno sempat mewawancarai bekicot di alam mimpinya. Di buku itu, ditulislah dialog-dialog komunikatif, satire, dan humor dengan bahasa komutatif.

Aku jadi berpikir, mengapa manusia bisa serakus itu ya. Sayur dimakan, buah-buahan digasak, karbohidrat disantap, beberapa binatang dijadikan lauk. Bekicot, laron, burung, dan beberapa binatang tak sebaik nasib kambing turut dihabisi. 

Memangnya, lembu atau kerbau itu tak bernasib baik? Hmm, jangan salah. Itu binatang baik yang karena teramat baik dijadikan alat untuk bekerja. Tentu kamu pernah lihatkan, bagaimana perasaan lembu ketika bekerja di sawah. Terik matahari membuat tubuhnya gosong. 

Dulu itu, Si Lembu tidak sehitam itu. Dia itu menyenangkan—tubuhnya yang gemuk dan segar. Lembu juga tidak suka kawin dibandingkan kambing atau hewan lainnya. Ia hanya bisa menghasilkan keturunan kalau disuntik. Berbedakan dengan kambing. Gila, kambing itu Mas bisa kawin dengan kambing mana saja. Mau saja sih kambing betina ini. Coba saja, kalau kambing-kambing itu bersekolah, pasti perilakunya tidak demikian. Upss, hehehe.

Kok jadi cerita tentang binatang ya? Kalau boleh tahu, apa binatang paling kamu sukai? Kucing si binatang lucu, atau tikus si binatang imut, atau singa di binatang jantan, atau ular si binatang pandai berbisa itu.

Kalau Rasulullah, binatang paling disukai adalah kucing. Ngomongin tentang kucing Rasulullah, beliau miliki kucing yang diberi nama Mueeza. Namanya hampir sama dengan kucingku loh. Ehh, almarhumah kucingku. Karena si Mouza telah pergi diracun seseorang. Semoga kamu tenang di alammu yang baru ya Mouza. 

Tentang kucing Rasulullah, aku membaca sekilas dari sebuah artikel. Bahwa artikel itu mengupas habis tentang pandangan kucing dari sudut pandang Islam. Kucing bukanlah binatang yang najis. Mengapa demikian, ada banyak alasan. Salah satu yang menguatkan adalah air bekas minum kucing boleh digunakan untuk berwudhu. 

Pertama, kulit pada kucing memiliki daya menolak telur bakteri. Kedua, kucing tidak mengandung mikroba dan kuman. Air liurnya bersih dan membersihkan. Alasan ini didukung oleh sebuah penelitian yang berhasil mengungkap bahwa di anggota tubuh kucing diberi percobaan dengan ditempel atau ditanami sebuah kuman. Hasil memberikan negatif. Baiknya, menurut dokter hewan Sa’id Rafah mengungkapkan bahwa kucing memiliki perangkat pembersih yang bernama lysozyme.

Selanjutnya, menurut Dr. George Maqshud, ketua laboratorium di Rumah Sakit Hewan Baitharah, jarang sekali ditemukan adanya kuman pada lidah kucing. Jika kuman itu ada, maka kucing itu akan sakit. Hal itu terjadi karena kucing tidak menyukai tempat berair atau lembab. Di tempat itu kuman atau bakteri dengan mudah bergerak. Kucing pula senantiasa menjaga kehangatan tubuhnya.
Kemudian, ada alasan lagi, bahwa pada zamannya kucing dijadikan terapi. Seseorang yang memberikan sentuhan lembut padanya dapat mengurangi stress dalam diri. 

Waah, beruntung sekali Mas aku perlihara kucing. Sudah hewan kesayangan nabi, kucing pun tidak berbahaya bagi manusia. Fakta mengejutkan kucing itu lebih bersih dibandingkan manusia loh. Keren juga ya. 

Jadi rindu dengan Mouza. Sungguhan, dia kucing yang baik, senantiasa menjaga kebersihan tubuhnya. Dia pula, binatang penyayang untuk anak-anaknya. Oh ya, nasibmu lebih baik dari saudaramu, Mouza. Beruntunglah ketika kamu terkena scabies dulu segera diberi penanganan medis. Lima saudaramu terlambat. Dari keenam saudara, kamu yang paling kuat dan bisa bertahan. Mouza, aku mencintai binatang sepertimu.

Ngomongin tentang kucing Mas, semoga setelah membaca surat ini jadi suka kucing ya. Nanti kita pelihara bersama. Kita didik kucing-kucing kita dengan bekal ke-Islaman. Ya, sebagaimana kucing patani yang aku tonton di youtube.

Hmm, kiranya surat kali ini sudah dulu ya. Kita perlu istirahat. Betapa penting sekadar mengistirahatkan tubuh, khususnya pikiran. Jangan biarkan pikiran terus mengembara, melalangbuana, mencakar-cakar tidak menentu. Istirahatkan. Buatlah ia nol supaya ketika bangun menjadi segar. Begitu.

Segera, mari beristirahat. Salam sayang untuk kamu diangan.

Suci Ayu Latifah
05.05.2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...