Langsung ke konten utama

Konflik Sosial dan Permainan Politik Aceh


Judul buku      : Kawi Matin di Negeri Anjing
Penulis            : Arafat Nur
Penerbit           : Basabasi
Terbit               : Maret 2020
Tebal buku      : viii+172
ISBN               : 978-623-7290-68-1


Sesungguhnya, tema Kawi Matin di Negeri Anjing hampir sama dengan beberapa novel Arafat lainnya. Termasuk tiga novel yang diterbitkan ulang oleh Gramedia Pustaka Utama: Lampuki, Tanah Surga Merah, dan Tempat Paling Sunyi pada tahun 2019.
Ada pula, novel fenomenal yang diterbitkan dalam bahasa Inggris: Burung Terbang di Kelam Malam dan Lolong Anjing di Bulan. Novel-novel itu bercerita sejarah panjang nan pelik masa pemberontakan Aceh tahun 1976 sampai dengan 2005 dari beberapa sudut pandang penceritaan.
Kemudian, setelah novel Percikan Darah di Bunga diterbitkan ulang oleh Basabasi tahun 2017, lewat novel bergengsi kali ini Arafat berhasil meraih juara II Sayembara Novel Basabasi 2019. Sebuah apresiasi luar biasa dengan diterbitkannya novel Kawi Matin di Negeri Anjing oleh Basabasi.
Arafat Nur adalah penulis sejarah dalam genre fiksi Indonesia. Penulis yang tumbuh dan besar di Aceh ini sekarang tinggal di Ponorogo Jawa Timur. Beberapa novel hasil refleksi atas realitas sosial mengajak pembaca untuk mengembara pada sejarah Gerakan Aceh Merdeka. Kisah tentang  penindasan yang tak manusiawi, kekerasan yang tiada henti, hingga kebusukan pemerintah dan hukum yang ada di Indonesia.
Pada Kawi Matin di Negeri Anjing, penulis dengan lihai memberikan karakter kuat, nilai sarat makna pada setiap peristiwa. Penceritaan yang detail, kronologis, dan ekspresif memporakporandakan jiwa pembaca memasuki lorong-lorong psikologis rakyat. Kehidupan yang tak mujur dan berkah di tanahnya yang subur. Kebahagian menjadi impian usai 29 tahun kota dirundung duka.
Nasib malang tak beruntung diterima rakyat Aceh. Kawi beserta keluarganya adalah  di antara korban ketakadilan politik. Permainan politik membuat siapa saja bisa bertindak semena-mena. Sebutlah, kepala kampung yang semestinya tidak berhak menerima bantuan dari Gubernur.
Suatu ketika, Kawi meyakinkan Gubernur yang kini disebutnya Anjing, bahwa keluarganya perlu dibantu. Terlebih, kesehatan Ibunya yang ditopang oleh obat-obatan. Posko kesehatan pembantu di kampung hanya mampu memberikan obat pereda, bukan mengobati.
“Negeri ini negeri anjing” (hal.170)

Permainan Politik
Kawi Matin merupakan episentrum cerita. Sejak lahir kaki kanannya mulus—tidak memiliki telapak.Sementara Kakaknya, Kadir terlahir sempurna. Kadir memiliki anugerah wajah lebih tampan dibandingkan Kawi. Begitupula Adiknya, Neung Peung, berwajah cantik, rambut pirang, dan kulit terang. Karenanyalah, diberi nama Kawi berarti kuat, dan Matin berarti kukuh. Harap orang tua anak itu bisa tumbuh kuat dan kukuh dalam menghadapi gelombang kehidupan.
Sejarah masa kecil Kawi menjadi bahan olokan dan ejekan oleh beberapa teman di sekolah. Malang, nasib buruk menimpanya usai Kadir, abang satu-satunya meninggal terkena tanduk lembu. Darwis, anak kepala kampung itu dengan leluasa menyakiti sesuka hati. Setiap kali pulang sekolah wajah lebam atau darah kering menghias di wajah Kawi.
Kehidupan Kawi tidaklah sebaik Darwis yang memiliki latar belakang keluarga polisi dan tentara. Sekalipun melakukan kesalahan besar, anak kepala kampung Kareung ini tak lekang mendapat hukuman. Ia pandai membolak-balikkan fakta. Hanya membuang waktu dan tenaga memperkarakan persoalan besar dengannya. Termasuk kelakuan bejatnya memperkosa Neung Peung.
Kawi Matin di Negeri Anjing merupakan buku fiksi yang kental menonjolkan aspek-aspek kehidupan di musim politik pemerintahan Soeharto. Kehidupan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-hukum, dan sosial-politik berkelibatan menguasai alur dan latar cerita. Di balik itu, terselip pesan kehidupan sebagai pengantar paradigma kebaikan di dunia.
Pelajaran besar tentang hidup terlukiskan penuh bagaimana keluarga Kawi menghadapi konflik keluarga. Melalui tokoh Ibu dengan ketabahan atas penyakitnya yang tidak kunjung sembuh. Kemudian, tokoh Kadir yang senantiasa menjaga Kawi dari ejekan teman sekolah. Kerja keras, keteguhan hati, dan kesungguhan dalam menghidupi keluarga adalah pelajaran besar dari tokoh Rahman, ayah Kawi.
Terakhir, pada perjuangan tokoh Kawi menghadapi realita hidup yang diterima. Kaki pincangnya bukan lagi suatu perkara yang dapat dijadikan alasan dalam keadaan bagaimanapun. Kawi mengurus dan merawat ibunya, membayar SPP adiknya, kebutuhan rumah, hingga hutang keluarga. Mencuri adalah keterpaksaan untuk menebus pengobatan ibunya.
Sungguh, buku kali ini menarik untuk direnungkan bagaimana konflik sosial dan permainan politik yang terjadi pada Orba. Bagaimana hukum yang berlaku di kehidupan sosial dan keadilan, serta ketertindihan yang terterima dan dirasakan rakyat Aceh. Penulis, lagi-lagi berhasil merefleksikan sejarah konflik sosial dan kejiwaan rakyat Aceh. Ia bermain-main cerita melalui sudut pandang tokoh anak-anak hingga dewasa.
Penceritaan semacam ini serupa gaya berkisah pada novel Lolong Anjing di Bulan. Hanya saja, di buku Kawi Matin di Negeri Anjing tidak begitu terceritakan cerita bergabungnya tokoh bersama Suman, pemberontak penerus Hasan Tiro. Novel ini, banyak bercerita seputaran kehidupan keluarga dan permainan politik pemerintah.
Sungguh, kelayakan novel tidak diragukan bilamana novel benar menjuarai Sayembera Novel Basabasi. Pasalnya, kemampuan penulis memberikan karakter tokoh teramat kuat dan deskriptif, lengkap dengan aspek psikologis sampai pada pembaca. Selain itu, kedetailan penceritaan dalam melukiskan peristiwa dan suasana cerita. Seolah-olah siapapun yang membaca tanpa sadar akan masuk ke lorong cerita—menyaksikan segala rupa perkara sosial dalam novel.
Buku ini, sekali lagi meski fiksi memuat pelajaran sejarah Indonesia yang tidak terlupa. Sebuah filsafat hidup atas sebuah pemikiran penulis merangkum dan merefleksikan kehidupan. Kaitannya dengan keberadaan dan kedudukan karya sastra merupakan mimetis, yaitu tiruan alam. Sebab, pemberontakan di Aceh bukanlah secuil sejarah. Sejarah tetaplah sejarah yang terkenang oleh pembaca Indonesia.

Peresensi Suci Ayu Latifah, pegiat Sekolah Literasi Gratis Ponorogo.
 
*Tulisan pernah termuat di Majalah Pewara Dinamika, edisi Agustus 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...