Langsung ke konten utama

Aku Malu Jadi Manusia

“Sekalipun anjing berasal dari ludah iblis, ia sangat setia kepada manusia. Kesetiaan anjing tidak sebanding dengan kesetiaan manusia....”  (hal.188).

Demikian itu secuil kisah dari novel Arafat Nur, Lolong Anjing di Bulan yang berhasil menculik perhatian saya. Anjing adalah anjing. Anjing adalah kelompok binatang. Dia bukan manusia.

Nama-nama binatang sering dijumpai dalam novel, cerita pendek, puisi, dan genre sastra Indonesia. Seperti anjing, kucing, babi, singa, harimau, kuda, siput, elang, tikus, dan lain sebagainya. Binatang-bintang tersebut ditempelkan sebagai warna cerita. Bahkan, bisa saja dialah tokoh yang produktif. Seakan binatang andil peran laiknya manusia. Katakanlah, novel Dataran Tortilla (1977) karya John Steinbeck. Steinbeck dengan fasih bercerita tentang tokoh Pilon dan ayam. Pilon adalah pembunuh ayam yang ditemukan di pinggir hutan pinus sebagai santapan makan malam. Ayam dalam novel tersebut dijadikan kemenangan tokoh dalam membunuh dan menyantap ayam.

Keberadaan novel, sesungguhnya bermaksud menyampaikan sesuatu (sejarah) yang tidak seratus persen murni sesuai realita. Sastra bersifat metaempiris. Pengarang memiliki ruang-ruang kosong, yang satu di antaranya adalah ruang imajinasi. Karenanya, mungkin saja ketika binatang dijadikan tokoh cerita memungkinkan membentuk sejarah baru.

Catatan nama-nama binatang dalam bingkai sastra Indonesia diberikan nama dan karakter. Menggelitiknya, seringkali karakter pada manusia oleh pengarang disejajarkan binatang. Inilah bahan menarik untuk dikaji—apakah binatang menyerupai manusia atau manusia hakikatnya adalah binatang. Tentu, ini akan menjadi sindiran keras perihal karakter manusia.

Perihal karakter manusia dan binatang, indahnya mari berselancar pada beberapa karya Arafat Nur. Novelis asal Aceh ini dengan lihai seolah-olah membelalakkan pembaca tentang karakter manusia dan binatang. Seolah dengan berkesadaran pengarang hendak menyindir karakter manusia abad XXI. Mulai dari Lampuki (2011), Tanah Surga Merah (2017), Lolong Anjing di Bulan (2018), dan Bayang Suram Pelangi (2018). Tokoh binatang oleh pemenang KLA dan DKJ ini mendapat nama dari pengarang. Nono adalah nama anjing di novel Lolong Anjing di Bulan, berikut dengan Manis adalah nama kucing. Bambang nama kucing di novel Tanah Surga Merah, berikut dengan Suardin adalah nama sapi.

Manusia dan binatang sesungguhnya dua makhluk yang berbeda berdasarkan asal muasal ciptaan. Secara karakter, keduanya juga berbeda. Manusia berkarakter mencerminkan nilai kemanusiaan. Halnya pada binatang mencerminkan kebinatangan. Pertanyaannya, bagaimana apabila karakter binatang dalam novel dikisahkan seperti manusia atau sebaliknya?

Mari berselancar pada novel Lolong Anjing di Bulan. Novel apik kias dari sejarah kehidupan pengarang dan Aceh ini telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Blood Moon Over Aceh. Novel disuguhkan ke pembaca adalah laki-laki dewasa yang bercerita tentang Aceh pada masa ia kecil hingga dewasa. Novel setebal 366 ini bermaksud mengajak pembaca untuk mengetahui sejarah kelam Aceh yang tertindas dan ratusan penduduk mati mengenaskan.

Kemenarikkan novel merupakan pemberian tokoh binatang yang memiliki karakter seperti manusia. Suka menolong, tanggung jawab, peka, cinta dan sayang, patuh, peduli, dan lain sebagainya. Diceritakan dalam segmen cerita, Nono bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan juragannya. Ia harus menjaga ladang dan kebun karena tempat itu sering dijadikan penyusup binatang pemakan tumbuhan, seperti tikus, musang, babi, dan lainnya.

Setiap hari Nono berjaga di ladang bersama juragannya. Malam harinya berjaga di kebun rumah karena sering didatangi musang. Kehadiran Nono, begitu membantu juragannya. Nono dalam kacamata Islam dipandang sebagai anjing Ashabul Kahfi adalah hewan penjaga. Anjing ini rela menjaga rumah, bertempur dengan orang atau hewan yang sengaja mengganggu, dan siap dipekerjakan seperti berburu dan bercocok tanam.

Sementara, kecintaan dan kesetiaan terhadap juragan, Nono setia menungggui pusara juragannya. Anjing itulah yang menemukan jasad juragannya. Kecintaan dan kesetiaan inilah pembeda dengan nilai kemanusiaan dalam novel. Bagaimana manusia hendaknya saling memberi cinta, peduli sosial, dan perasaan damai. Justru manusia yang namanya tentara bagi masyarakat Aceh adalah iblis terkutuk. Orang-orang yang tak tega menghardik kucing yang mencuri ikan tiba-tiba terbukti sanggup membunuh manusia (hal.33).

Novel bercerita kekerasan TNI terhadap GAM menuntun pembaca pada nilai kemanusiaan. Manusia yang semestinya memiliki rasa kemanusiaan tak lebih setia seekor anjing. Di khasanah kesusasteraan, novel Lolong Anjing di Bulan ini menjadi pengajaran dan refleksi kepada manusia. Di satu sisi manusia penting belajar dari binatang perihal tanggung jawab, kepedulian terhadap sesama, dan rasa saling menyayangi. Di sisi lain, acuan manusia Indonesia abad 21 supaya menyirami kekeringan nilai kemanusiaan.

Selanjutnya, pindah pada novel Tanah Surga Merah. Bambang memiliki karakter suka membaca. Pengarang mendeskripsikan Bambang suka tidur di tumpukan buku. Setiap kali ada buku terbuka, pengarang menggambarkan seolah ia sedang membaca. Begitu ketika ada tokoh sedang membaca buku, Bambang ikut.

Sementara, tokoh-rokoh dalam novel terceritakan tidak suka baca. Mereka suka hidup bersenang-senang—minum kopi di warung, bermain, bergosip ria, dan lain sebagainya. Sampai pemerintah membuat aturan siapa saja yang tidak suka membaca akan ditembak mati di tempat. Karakter demikian sungguh menggelitik, sekaligus tamparan bagi manusia. Kucing senang bergulat bersama buku, sedang manusia senang bergulat buku maya, media sosial.

Karakter suka membaca merupakan bentuk sindiran. Pasalnya realita yang ada, masyarakat belum suka membaca. Atau, paling tidak sekadar bergulat di dunia buku. Penelitian lapangan mengatakan seseorang berkunjung ke perpustakaan karena mendapat tugas. Di antara mereka yang bermaksud membaca karena gemar membaca hanyalah sedikit.

Di situlah, penempelan karakter binatang yang semestinya dimiliki manusia. Pengarang bersama novel-novelnya menggiring manusia untuk sadar atas diri. Pengarang mengundang manusia untuk sejenak berenung. Dua novel itu mengingatkan bahwa karakter binatang lebih baik daripada manusia, meskipun tidak selalu hadir setiap halaman. Pengarang sekali lagi, bersama novelnya mengajak manusia bersikap dan berperilaku lebih dari binatang. Sebab, manusia miliki kemenangan akal.

 

Suci Ayu Latifah, Komunitas Sutejo Spectrum Center (SSC) Ponorogo. Alumni STKIP PGRI Ponorogo.

 

*Tulisan di atas pernah termuat di Radar Madiun, edisi 9 Agustus 2020. 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...