Langsung ke konten utama

Mengkritik Boleh Asal Membangun

Dear Mas Fendik,
Selamat makan siang, semoga di musim pandemi ini kebutuhan dasarmu tercukupi ya. Jangan lupa belajar menyukai buah-buahan supaya pencernaanmu lancar.

Surat berbau tempe ini, kukirim sebagai pelipur fisik yang lelah. Aku baru saja menyelesaikan tugas, eh seakan jadi kewajiban saya ya. Ya, perempuan Jawa harus memasak, menyiapkan makanan.

Udara yang panas, menurutku paling cocok menu makanan yang ringan. Maksudku, tidak bersantan dan berminyak. Lagi pula, aku tidak begitu menyukai sensasi makanan itu. Sayur asam, botok, tempe goreng telah tersaji di meja. Urusan perdapuran sudah selesai, tinggal makan, mandi, dan istirahat.

Rasanya, itulah yang sehari-hari aku lakukan. Ada kalanya aku bosan memasak. Bolehlah dimasakin begitu. Namun, inilah esensi yang aku rasakan. Kepuasan hati, ketika memasak kemudian mendapat pujian, "Masakanmu enak. Pas. Tidak asin, pedas."

Kodrat manusia suka dipuji. Dan, aku suka ketika mendapati pujian semacam itu, ya dalam hal apa saja. Cobalah, kita belajar memuji sesuatu, Mas. Itu bentuk menghargai orang lain. Seperti Bapak, sekalipun tidak pernah mencela masakanku. Bapak selalu bilang masakanku enak. Entah kebenaranya bagaimana, yang jelas, Bapak suka masakanku. Kalau aku pulang selalu diminta masakin.

Memuji, adalah cara sederhana menghargai orang lain. Mengapa itu dilakukan, karena apa yang dilakukan orang lain belum tentu kita bisa melakukan. Sekali lagi, ayo belajar menghargai. Jangan banyak komentar, tanpa memberi masukan. Mengkritik mbok ya, yang membangun.Hehehe, tak banyak orang bersikap demikian itu.

Dasar manusia. Memang mengkritik, mengomentari adalah pekerjaan yang mudah. Semua orang bisa melakukan, tapi tak banyak memberi solusi. Aku jadi ingat puisi Taufik Ismail berjudul Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang.

Mengkritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengkritik
Mengkritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengkritik itu boleh tidak
....

Semoga, kita bukan golongan orang yang banyak mengkritik tanpa memberi solutif.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengirim Karya di Koran Radar Madiun Grup Jawa Pos

Halo sahabat menulis. Sudahkah hari ini kalian menulis? Kalau boleh tahu, apa karya terakhir kamu? Ada kabar menarik lo, di koran Radar Madiun grub Jawa Pos terdapat kolom Litera yang memuat karya-karya beraroma sastra. Seperti cerpen, puisi, esai sastra.  Sebenarnya, kolom ini sudah lama ya, sekitar di tahun 2019 akhir. Bagi sahabat memiliki karya, boleh banget dikirim saja di kolom ini.  Aku sudah tiga empat kali muat di sana. Pertama, karya yang termuat adalah puisi tentang kemarau. Kemudian, tulisan kedua berupa cerpen. Cerpen tersebut berjudul Pertanyaan Kalila, dimuat edisi 19 Januari 2020. Ini adalah cerpen saya, bisa langsung intip di blog ya, https://mbak-suci.blogspot.com/2020/01/cerpen-pertanyaan-kalila.html. Ketiga, sebuah esai menarik atas refleksi dari pembacaan novel-novel Arafat Nur. Esai sastra itu berjudul Novel, Kritik Sosial, dan Tragedi Kemanusiaan. Tulisan termuat pada 2 Februari 2020. Kalau sahabat penasaran, bisa intip tulisan di link ini ya, https://mb...

Sinopsis Novel Lampuki Karya Arafat Nur

  Pertemuan dua bukit itu menyerupai tubuh manusia terlentang dengan kedua sisi kakinya merenggang, terkuak serupa selangkang perempuan, sebab di seluk situ tak ada gumpalan melainkan lubang. Persis di selangkangan bukit itulah rumah-rumah beton mungil bercat kapur menumpuk, saling berdesakan, terkesan seperti sedang berlomba-lomba hendak memasuki liangnya.   Begitu sepenggal paragraf pembuka novel Lampuki karya Arafat Nur. Penggalan paragraf di atas mengilustrasikan kampung Lampuki yang menjadi latar tempat dalam novel tersebut. Novel peraih Khatulistiwa Literary Award 2011 ini, menyuguhkan cerita yang menarik, pedih, dan berani; mengungkit Aceh sebagai luka yang belum sepenuhnya selesai. Dengan gaya penceritaan satire yang cerdas, membincangkan luka negeri sambil tertawa.    Lampuki dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama serba tahu melalui tokoh bernama Muhammad Yusuf. Ia adalah seorang teungku di kampung Lampuki. Sebuah kampung di kawasan kaki bukit de...

Setiap Bepergian, Pulang Bawa Tulisan Jurnalistik

Impian Suci Ayu Latifah menjadi wartawan tidak bisa ditawar. Kemampuan menulis terus diasah demi profesi idamannya sejak SMA itu. Salah satunya menjadi citizen reporter.  Senyum Suci Ayu Latifah mengembang kala diminta naik ke atas panggung. Tepuk tangan lantas mengiringi langkah kaki wisudawati jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo 2018/2019 itu yang meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,88. Nilai itu membuatnya menjadi lulusan terbaik. ‘’Setelah lulus ini, saya ingin jadi reporter,’’ katanya. Wartawan adalah profesi idaman Suci sejak SMA. Bermula dari hobinya mengisi  majalah dinding (mading) dengan karya tulis. Ternyata, karya tersebut diapresiasi teman dan guru-gurunya. Lulus SMA, Suci mengenal Sutejo, pakar literasi Kemendikbud. Ujung pertemuan itu tidak sekadar mengubah pandangan terhadap wartawan. Warga Desa Pangkal, Sawoo, itu juga menjadi anak asuh akademisi yang merupakan ketua STKIP Ponorogo tersebut. ‘’Jadi, awaln...