Pepatah Jawa mengungkapkan, sopo wonge sing nandur, bakalan panen. Pepatah filosofis itu mengingatkan saya tentang banyak hal. Tentang sebuah usaha yang saya lakukan dengan sungguh-sungguh, ulet, dan gigih. Orang-orang bijak bilang, seseorang yang mau berusaha, ia pasti akan mendapatkan hasil dari apa yang diusahakan. Sebesar atau sekecil usaha itu. Pada saatnya. Alam turut bertasbih.
Kemarin (26/08/2020), saya telah berbagi ilmu kepada teman-teman mahasiswa yang sedang melaksanakan ujian skripsi. Pesan saya kepada mereka adalah, bahwa menulis itu bukan menyalin. Seseorang harus berusaha, dan bersabar dalam merangkai kata-kata. Kata-kata itu seni, seni itu indah, maka berikan keindahan itu pada tulisan. Selagi masih muda, lebarkan jangkar pikiran, jangan bangga dengan gelar karena mencontek. Istilahnya plagiasi. Apa yang kamu dapat, tidak lebih dari penyesalan hidup. Bukankah seseorang selalu ingin dilihat berbeda? Maka lakukanlah pada tulisanmu.
Ujian adalah momen kita mempertanggungjawabkan tulisan. Hari itu, teman-teman menyangsikan. Ujian yang tampak unik dan beda. Saya jadi teringat bagaimana suasana saat melangsungkan ujian skripsi. Waktu itu, tepatnya satu tahun yang lalu, saya melaksanakan ujian di ruang kampus dengan suasana kampus ya pada umumnya. Sementara, teman-teman ini melangsungkan ujian di sebuah kebun. Kebun milik Bapak. Saya dapat merasakan aroma nyaman, santai, rileks, dan ceria dari raut wajah mereka. Berbeda dengan teman-teman yang melakukan di kampus.
Di kebun, dengan suasana sejuk nan segar, rasa deg-degan itu mendadak hilang, saya bisa merasakan itu. Tidak ada lagi rasa tegang, hati mereka tersentuh oleh suntikan positif dari kebun. Saya rasa, ini cara terbaik manusia untuk bersahabat dengan alam.
Alam adalah tempat kita berpijak. Kita melangkah di tanahnya. Menitihkan sebuah harapan di atas impian-impian hidup. Saya percaya, ketika manusia mau bergerak di alam ini, akan menuai hasil dari apa yang diimpikan. Impian, pada saatnya akan terwujud, entah kapan tibanya.
Pepatah Jawa sopo wonge sing nandur, bakalan panen, mengingatkan kita agar senantiasa berjuang mencapai impian. Impian jangan hanya dimimpikan, mustahil rasanya. Jemput ia, jangan ditunggu. Saya ingat, pada mulanya kekosongan ilmu. Berkat belajar, perlahan saya menjadi tahu. Tentang ilmu, mengapa seseorang harus menuntut ilmu, dan bagaimana meuntut ilmu, serta bagaimana memanfaatkan ilmu tersebut di kehidupan sehari-hari.
Terus belajar. Bapak bilang, saya tergolong orang yang memiliki tekad tinggi. Istilahnya, ambisius. Itu baik kata Bapak, namun ada kalanya perlu melihat kemampuan diri. Banyak orang stress karena perjalanan hidupnya ironi. Aku percaya, kemampuan itu bisa dilatih. Toh, perlahan beberapa kemampuan yang hanya dalam pikiran satu persatu dapat terwujud. Ingat menulis bukanlah bakat, ialah keterampilan yang bisa dimiliki semua orang. Keterampilan sama halnya kemampuan, keduanya bisa ada karena usaha yang menyertai.
Tidak sekalipun, ada gambaran tentang diri saya bisa menulis hingga di berbagai media cetak maupun online. Sekalipun tidak pernah terbesit pikiran itu. Kala itu yang saya pikirkan adalah bagaimana memanfaatkan kelancaran dalam berbicara untuk hidup. Sebab, itulah salah seorang guru menyarankan saya untuk menjadi seorang penyiar radio. Saya turuti, iya. Menjadi penyiar radio saya lakoni saat SMP. Pekerjaan itu saya lakukan sepulang sekolah. Saya tekuni, telateni, dan akhirnya saya pamit karena persiapan ujian nasional. Setelah itu, tidak ada kelanjutan siaran radio.
Waktu berjalan dengan cepat. Kenyataan berbicara lain. Saya lebih dikenal sebagai praktisi menulis, Kelihaian dalam berbicara hempas begitu saja karena tidak dilatih. Semenjak meruang di dunia menulis, saya banyak bicara di tulisan. Saya lebih enjoy berbicara, bercerita melalui bahasa tulis. Orang-orang menilai lebih menyukai bahasa saya di tulisan dibandingkan bahasa lisan.
Syukur, aku bertemu dengan seseorang yang memiliki kegilaan sama, yaitu membaca dan menulis. Di situ saya belajar membaca, memburu pengetahuan, dan belajar menulis mengungkapkan pengetahuan, menciptakan pemikiran untuk peradaban lebih baik. Seseorang berkata, dunia menulis adalah dunia yang sepi, tidak terlihat langsung, namun dampaknya panjang. Sebab, tulisan adalah sejarah. Tulisan senantiasa berbicara, abadi dalam sejarah pemikiran.
Bapak bilang, menulis butuh pembiasaan. Menulis pula harus didukung habituasi. Maksudnya, orang yang ingin bisa dan sukses dari menulis harus bersama, berkumpul, dan bergaul dengan sesama menulis. Mengapa, karena lingkunganmu menuntun dirimu, dan pergaulanmu menentukan siapa dirimu.
Sopo wonge sing nandur, bakalan panen. Alhamdulillah, saya memanen dari skill menulis. Banyak hal yang saya dapatkan dari menulis. Seperti (1) banyak teman (komunitas), (2) bisa dikenal orang, (3) lebih terbuka pikiran, (4) kepekaan terhadap segala hal, (5) kedamaian dalam hidup, (6) lebih kritis, (7) cepat tanggap dan rasa ingin tahu tinggi, (8) penghargaan atas diri, (9) kepercayaan dari orang lain, (10) keberkahan hidup karena berbagai pengetahuan dan pengalaman, dan masih banyak lainnya.
Terima kasih atas keberadaan ini. Saya percaya, dan memang harus memercayai pepatah itu benar adanya. Pesan saya kepada diri saya adalah konsisten dan istiqomah. Jangan merasa cukup karena dapat menghentikan rasa ingin tahu terhadap segala hidup. Hidup itu panjang, ilmu itu luas. Belajarlah sepanjang hidupmu karena semakin kamu belajar, semakin kamu merasa kecil.
27/08/2020.
Kemarin (26/08/2020), saya telah berbagi ilmu kepada teman-teman mahasiswa yang sedang melaksanakan ujian skripsi. Pesan saya kepada mereka adalah, bahwa menulis itu bukan menyalin. Seseorang harus berusaha, dan bersabar dalam merangkai kata-kata. Kata-kata itu seni, seni itu indah, maka berikan keindahan itu pada tulisan. Selagi masih muda, lebarkan jangkar pikiran, jangan bangga dengan gelar karena mencontek. Istilahnya plagiasi. Apa yang kamu dapat, tidak lebih dari penyesalan hidup. Bukankah seseorang selalu ingin dilihat berbeda? Maka lakukanlah pada tulisanmu.
Ujian adalah momen kita mempertanggungjawabkan tulisan. Hari itu, teman-teman menyangsikan. Ujian yang tampak unik dan beda. Saya jadi teringat bagaimana suasana saat melangsungkan ujian skripsi. Waktu itu, tepatnya satu tahun yang lalu, saya melaksanakan ujian di ruang kampus dengan suasana kampus ya pada umumnya. Sementara, teman-teman ini melangsungkan ujian di sebuah kebun. Kebun milik Bapak. Saya dapat merasakan aroma nyaman, santai, rileks, dan ceria dari raut wajah mereka. Berbeda dengan teman-teman yang melakukan di kampus.
Di kebun, dengan suasana sejuk nan segar, rasa deg-degan itu mendadak hilang, saya bisa merasakan itu. Tidak ada lagi rasa tegang, hati mereka tersentuh oleh suntikan positif dari kebun. Saya rasa, ini cara terbaik manusia untuk bersahabat dengan alam.
Alam adalah tempat kita berpijak. Kita melangkah di tanahnya. Menitihkan sebuah harapan di atas impian-impian hidup. Saya percaya, ketika manusia mau bergerak di alam ini, akan menuai hasil dari apa yang diimpikan. Impian, pada saatnya akan terwujud, entah kapan tibanya.
Pepatah Jawa sopo wonge sing nandur, bakalan panen, mengingatkan kita agar senantiasa berjuang mencapai impian. Impian jangan hanya dimimpikan, mustahil rasanya. Jemput ia, jangan ditunggu. Saya ingat, pada mulanya kekosongan ilmu. Berkat belajar, perlahan saya menjadi tahu. Tentang ilmu, mengapa seseorang harus menuntut ilmu, dan bagaimana meuntut ilmu, serta bagaimana memanfaatkan ilmu tersebut di kehidupan sehari-hari.
Terus belajar. Bapak bilang, saya tergolong orang yang memiliki tekad tinggi. Istilahnya, ambisius. Itu baik kata Bapak, namun ada kalanya perlu melihat kemampuan diri. Banyak orang stress karena perjalanan hidupnya ironi. Aku percaya, kemampuan itu bisa dilatih. Toh, perlahan beberapa kemampuan yang hanya dalam pikiran satu persatu dapat terwujud. Ingat menulis bukanlah bakat, ialah keterampilan yang bisa dimiliki semua orang. Keterampilan sama halnya kemampuan, keduanya bisa ada karena usaha yang menyertai.
Tidak sekalipun, ada gambaran tentang diri saya bisa menulis hingga di berbagai media cetak maupun online. Sekalipun tidak pernah terbesit pikiran itu. Kala itu yang saya pikirkan adalah bagaimana memanfaatkan kelancaran dalam berbicara untuk hidup. Sebab, itulah salah seorang guru menyarankan saya untuk menjadi seorang penyiar radio. Saya turuti, iya. Menjadi penyiar radio saya lakoni saat SMP. Pekerjaan itu saya lakukan sepulang sekolah. Saya tekuni, telateni, dan akhirnya saya pamit karena persiapan ujian nasional. Setelah itu, tidak ada kelanjutan siaran radio.
Waktu berjalan dengan cepat. Kenyataan berbicara lain. Saya lebih dikenal sebagai praktisi menulis, Kelihaian dalam berbicara hempas begitu saja karena tidak dilatih. Semenjak meruang di dunia menulis, saya banyak bicara di tulisan. Saya lebih enjoy berbicara, bercerita melalui bahasa tulis. Orang-orang menilai lebih menyukai bahasa saya di tulisan dibandingkan bahasa lisan.
Syukur, aku bertemu dengan seseorang yang memiliki kegilaan sama, yaitu membaca dan menulis. Di situ saya belajar membaca, memburu pengetahuan, dan belajar menulis mengungkapkan pengetahuan, menciptakan pemikiran untuk peradaban lebih baik. Seseorang berkata, dunia menulis adalah dunia yang sepi, tidak terlihat langsung, namun dampaknya panjang. Sebab, tulisan adalah sejarah. Tulisan senantiasa berbicara, abadi dalam sejarah pemikiran.
Bapak bilang, menulis butuh pembiasaan. Menulis pula harus didukung habituasi. Maksudnya, orang yang ingin bisa dan sukses dari menulis harus bersama, berkumpul, dan bergaul dengan sesama menulis. Mengapa, karena lingkunganmu menuntun dirimu, dan pergaulanmu menentukan siapa dirimu.
Sopo wonge sing nandur, bakalan panen. Alhamdulillah, saya memanen dari skill menulis. Banyak hal yang saya dapatkan dari menulis. Seperti (1) banyak teman (komunitas), (2) bisa dikenal orang, (3) lebih terbuka pikiran, (4) kepekaan terhadap segala hal, (5) kedamaian dalam hidup, (6) lebih kritis, (7) cepat tanggap dan rasa ingin tahu tinggi, (8) penghargaan atas diri, (9) kepercayaan dari orang lain, (10) keberkahan hidup karena berbagai pengetahuan dan pengalaman, dan masih banyak lainnya.
Terima kasih atas keberadaan ini. Saya percaya, dan memang harus memercayai pepatah itu benar adanya. Pesan saya kepada diri saya adalah konsisten dan istiqomah. Jangan merasa cukup karena dapat menghentikan rasa ingin tahu terhadap segala hidup. Hidup itu panjang, ilmu itu luas. Belajarlah sepanjang hidupmu karena semakin kamu belajar, semakin kamu merasa kecil.
27/08/2020.
Komentar
Posting Komentar