Asu gedhe menang kerahe. Barangkali,
peribahasa Jawa tersebut cocok untuk mewakili intisari novel Kawin Matin di Negeri Anjing. Novel tersebut
merupakan juara II sayembara menulis novel nasional Basabasi. Tanpa meragu
tentang cerita novel, penulis Arafat Nur kembali menyuguhkan cerita berlatar
Aceh.
Kawin
Matin di Negeri Anjing, sesungguhnya
setema dengan novel-novel sebelumnya. Novelis seolah tiada habis bercerita
tentang Aceh dengan segala pergolakannya. Mulai dari aspek sosial, budaya,
politik, hukum, ekonomi, dan lain sebagainya.
Setelah membaca novel tersebut, saya teringat akan peribahasa Jawa asu gedhe menang kerahe. Artinya, orang yang berpangkat tinggi, pasti lebih menang dalam berpekara. Menilik dari peribahasa Jawa tersebut tampak jelas, novel ini meruang persoalan kritik sosial. Novelis menggiring pembaca pada fenomena sosial yang sering kali memanfaatkan jabatan. Tampaknya, inilah yang terjadi pada bangsa kita hari ini.
Setelah membaca novel tersebut, saya teringat akan peribahasa Jawa asu gedhe menang kerahe. Artinya, orang yang berpangkat tinggi, pasti lebih menang dalam berpekara. Menilik dari peribahasa Jawa tersebut tampak jelas, novel ini meruang persoalan kritik sosial. Novelis menggiring pembaca pada fenomena sosial yang sering kali memanfaatkan jabatan. Tampaknya, inilah yang terjadi pada bangsa kita hari ini.
Darwis, si anak kepala kampung Kareung
patut diberi hukuman atas perbuatannya. Pertama, ia telah membuat celaka—melakukan
kekerasan fisik pada Kawi, dan kedua ia telah memerkosa Neng Peung, adik Kawi. Darwis
patut dipenjara, harusnya ia berada dalam tahanan untuk kedua kalinya. Namun,
itu tidak terjadi. Mencari keadilan hanya akan membuang-buang waktu bagi rakyat kelas bawah. Kesalahan, justru bisa berbalik dengan seribu alasan.
Keadilan dan kesejahteraan hanyalah
mimpi bagi rakyat kelas bawah. Asu cilik hanya akan menjadi korban dari asu
gedhe. Seberapa gencar menuntut keadilan, gonggongan asu cilik tidak berarti
apa-apa. Kecuali, asu kecil berani mengumpulkan kekuatan untuk meroyok asu
gedhe. Namun, kenyataan ini akan berbalik ketika kasus yang menimpa asu cilik. Dengan
mudah, asu-asu gedhe itu membusungkan dada memperkarakannya. Sederhananya, persoalan mempertanyakan ulang tentang hak-hak yang harus diterima.
Inilah Indonesia. Keadilan macam apa untuk asu cilik yang digema-gemakan pemerintah? Haruskah ataukah perlukah tsunami berkekuatan 10 skala richter mengguncang demokratisasi kita?
Komentar
Posting Komentar